Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sonia, Darah, dan Mata Marahnya

15 Mei 2019   01:00 Diperbarui: 15 Mei 2019   13:33 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pngdownload.id

Sonia tertawa sinis saat menerima gunting dari Tania. Aku tidak tahu bagaimana bisa Tania membawa gunting ke toilet. Aku tidak sempat berpikir lagi karena Sonia menggeram. Matanya seperti mata nenekku sesaat sebelum wafat. Dingin.

Ia terkekeh-kekeh. Gema tawanya mengguncang seluruh penjuru toilet dan membetot jantungku hingga copot dan mencelus di lantai lembap. 

Ia jambak rambutku sambil mendesis, "Lo enggak layak ada di sekolah ini, Anak Haram!"

Telapak tanganku gatal dan panas. Dalam keadaan gugup dan tertekan, telapak tanganku selalu begini. Buru-buru kurogol sarung tangan plastik di saku rokku agar tidak terpapar alergi. Aku sanggup menahan derita disiksa Sonia, tetapi aku selalu kewalahan menahan serangan alergi.

Kurasakan sepasang tangan mendorong leherku hingga aku merunduk. Sepasang tangan lagi memegangi pundakku. Bagian belakang rokku terbelah. Belum habis rasa kecut di hatiku, rambut panjangku kini berserakan di lantai. Suaraku tercekat di kerongkongan. Menjerit pun tak kuasa kulakukan. Kurasakan gunting di tangan Sonia mencacah bajuku. 

Dan, mataku gelap.

/3/

Namaku Mehrin. Aku anak tunggal dari seorang ibu yang dicap istri simpanan lelaki tua kaya raya oleh teman sekelasku. Tetapi, aku tetap mencintai ibuku lebih daripada cintaku kepada diriku sendiri. Aku selalu ingat pesan Ibu, tetapi tadi di toilet sengaja kulupakan pesan itu. Ternyata hatiku merasa lebih senang dan tenang. Ini kali pertama kulawan pesan Ibu.

Setelah setengah jam duduk di kelas, sekolah geger. Toilet di samping kelasku mendadak dikerumuni orang. Ibu Arteria histeris di sana. Aku ikut berlari, menyeruak di sela kerumunan, dan melihat Sonia terbujur kaku di lantai dengan wajah berlumuran darah, baju koyak-koyak, dan rambut tercukur habis.

Tania duduk gemetaran bersandar ke dinding, dan matanya bergerak-gerak serabutan seperti menanggung rasa takut tak terperi. Di tangan kanannya, darah menetes satu-satu dari ujung gunting yang digenggamnya. Dini juga begitu. Matanya membelalak, bergerak liar. Kuku dan jari tangannnya berlumuran darah.

Aku menyelinap di sela orang-orang. Aku ingat pesan Ibu ketika kuraba saku rok dan kurasakan sepasang sarung tangan bersembunyi dengan aman di sana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun