Saya pernah membaca kisah seorang kakek yang menanam pohon mangga di halaman rumahnya. Beliau tidak peduli sekalipun kelak tidak merasakan buah dari pohon yang beliau tanam.
Seseorang bertanya kepada beliau, "Buat apa Kakek menanam pohon yang belum tentu Kakek nikmati buahnya?"Â
Beliau menjawab, "Saya menanam pohon
untuk anak dan cucu atau orang-orang setelah saya."
Saya juga pernah mendengar kisah seorang kakek yang menolak ganti rugi ketika tanahnya terkena perluasan jalan. Ketika seseorang bertanya, beliau menjawab, "Tanah yang saya wakafkan itu kelak akan menjadi sungai tempat pahala mengalir. Dari sungai itulah saya dan anak-cucu saya mereguk pahala hingga akhir zaman."
Kisah dua kakek di atas sering terjadi di sekitar kita. Di luar sana, selalu ada orang baik yang tulus berbagi demi kebaikan bersama--baik bagi si penerima maupun bagi si pemberi manfaat. Pada sisi lain, kebajikan kedua kakek tersebut sejatinya adalah esensi perangai "berbagi tanpa pamrih"--yang tiada terkikis kendatipun zaman dan peradaban terus berkembang.
Dari kedua kisah itu kita dapat merenungi hakikat wakaf dalam pemaknaan paling
sederhana. Bisa menanam pohon, laksana kakek pertama yang berwakaf lewat tanaman. Bisa merelakan tanah, seperti kakek kedua yang berwakaf lewat tanahnya.Â
Apakah kita yang tidak punya kebun untuk menanam "pohon kebaikan" atau tidak punya tanah untuk mengalirkan "sungai kebajikan" bisa berwakaf kepada sesama?
Supaya enteng, mari kita tilik dulu makna "wakaf" secara sederhana. Sejatinya, wakaf merupakan "perbuatan tulus menyerahkan harta yang kita miliki demi kebaikan orang banyak". Artinya, wakaf masih sekerabat atau sekeluarga dengan zakat, infak, dan sedekah. Persis seperti berzakat, berinfak, dan bersedekah, berwakaf juga harus lahir dari rahim ketulusan dan kerelaan.
Wakaf di Zaman Digital
Sekarang kita sudah memasuki era kecerdasan buatan. Segala hal perlahan-lahan beralih dari pola konvensional ke corak digital. Belanja misalnya, kini tidak hanya di pasar atau mal. Tinggal mengunduh aplikasi niaga daring (e-commerce) di gawai, selanjutnya kita
bisa berbelanja di rumah.Â
Dunia sumbang-menyumbang juga memasuki zaman digital. Teknologi finansial berkembang sedemikian pesat sehingga kini kita bisa menyalurkan zakat/wakaf secara digital.
Dalam perkara wakaf pun begitu. Cobalah mengaktifkan ponsel, kemudian carilah situs CIMB Niaga Syariah, misalnya, yang sudah menyediakan layanan wakaf tunai secara daring. Atau, tengok e-Salaam dan nikmati kemudahan layanan digitalnya. Kita bisa mengakses pernak-pernik wakaf dengan leluasa, menelaah ketentuan wakaf, memilah pilihan yang seturut dengan niat kita, lantas mengisi formulir yang disediakan, dan setelahnya tinggal bertransaksi wakaf.
Apakah kita harus punya tanah baru bisa berwakaf? Tenang saja. Kita tidak mesti
menjadi "tuan tanah" dulu baru berbagi kebaikan. Kita bisa menabung di CIMB Niaga Syariah, menyisihkan penghasilan semisal Rp100.000 per bulan, rutin melakukannya selama setahun bahkan seterusnya, dan setiap capaian wakaf senilai Rp1.000.000 akan diganjar sehelai sertifikat wakaf.
Apakah kita mesti punya kebun dulu baru dapat berbagi kebaikan? Tenang saja.
CIMB Niaga Syariah sudah menjalin kerja sama dengan mitra yang tepercaya untuk
menyalurkan wakaf tunai kita. Mau berwakaf di bidang pendidikan, tinggal pilih. Ingin menebar kebaikan lewat program kesehatan--semisal rumah sakit, tinggal pilih. Bahkan membangun masjid pun bisa.
Kata kuncinya: mau.Â
Banyak orang mampu, tetapi tidak semua orang mau.
Potensi Wakaf Tunai di Indonesia
Mari kita ulik sejenak data sederhana berikut. Penduduk muslim India mencapai 176,4 juta jiwa atau sebesar 11% dari jumlah populasi muslim di seantero dunia. Bandingkan dengan jumlah penduduk muslim di Indonesia sebanyak 209,1 juta jiwa atau 13,1% dari seluruh umat muslim di dunia.Â
Dengan demikian, Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Demikianlah data yang dilansir oleh The Pew Forum on Religion and Public Life. Kemudian disusul oleh India, Pakistan, Bangladesh, Nigeria, dan Mesir.
Sekarang bayangkan apabila seluruh umat muslim di Indonesia punya kesadaran
berwakaf yang tinggi. Tidak usah semua, kita berandai-andai sekisar 1% atau 2.091.000 jiwa saja yang punya gairah dan kesadaran berwakaf yang tinggi.Â
Jikalau setiap muslim dari 1% itu mewakafkan uangnya sebesar Rp100.000 dalam sebulan akan terkumpul
dana wakaf tunai sebanyak Rp209.100.000.000. Itu baru hitung-hitungan sebulan. Kalau kita kalikan dengan 12 bulan, atau setahun, angkanya sangat fantastis.
Angka yang tidak sedikit untuk membangun banyak masjid. Angka yang sangat besar untuk membangun rumah sakit. Angka yang sangat banyak untuk menolong orang lain yang ingin meneruskan pendidikan, tetapi tidak mampu membayar biaya sekolah.Â
Dengan demikian, jelas-jelas potensi wakaf tunai atau wakaf uang di Indonesia sangat luar biasa. Hanya saja, kita butuh memantik kesadaran sebagaimana dua kakek--dalam pembuka tulisan ini--yang ikhlas berbagi.
Adakah itu impian fantastis atau sensasional belaka? Tidak. Itu impian yang amat realistis. Kita bisa mewujudkannya dengan cara tidak jemu atau jenuh mengetuk "pintu hati" kita masing-masing.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H