Sekarang, mari kita berandai-andai. Apakah tradisi gotong royong dapat diterapkan dalam pendanaan BPJS Kesehatan? Tentu saja, ya. Sahabat saya bukan orang kaya. Gajinya dalam sebulan tidak seberapa. Sebenarnya ia bisa saja mengambil iuran BPJS Kesehatan Kelas 3, tetapi ia dan istrinya sepakat membayar iuran Kelas 1.
Apakah ada warga Indonesia yang setulus sahabat saya tersebut? Tentu saja, ya. Bahkan, tidak sedikit. Namun, banyak juga peserta BPJS Kesehatan yang tabiatnya persis peserta arisan: begitu arisannya naik, langsung malas datang dan susah ditagih, padahal arisan masih berbulan-bulan. Karena sudah mendapat layanan atau fasilitas BPJS Kesehatan ketika sakit, ada saja peserta yang gairah membayar iurannya langsung surut atau melempem.
Maka, tidak heran bila BPJS Kesehatan diserang penyakit tahunan. Nama penyakitnya "defisit". Itu terjadi karena pengeluaran lebih besar dibanding pemasukan. Pepatah bilang, "besar pasak daripada tiang". Klaim pembayaran banyak, iuran yang masuk kurang. Pada 2017, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp9,75 triliun. Bahkan tahun ini, 2018, diperkirakan bisa mencapai Rp16,5 triliun apabila tidak ditangani secara khusus. Â
Bagi yang doyan nyinyir pasti akan merisak habis-habisan: banyak yang bayar kok bisa defisit? Biarkan saja. Nyinyir itu pilihan. Kalau kita memilih bersikap arif, kita akan renungkan apa yang bisa kita lakukan, bagaimana melakukannya, dan kapan melakukannya.
Benarkah BPJS Kesehatan seperti lebih besar pasak daripada tiang? Mari kita simak. Defisit BPJS Kesehatan hingga akhir 2017 tercatat Rp9,75 triliun. Ini lantaran iuran program JKN-KIS hanya sebesar Rp74,25 triliun, sementara jumlah klaimnya mencapai Rp84 triliun.
Tambal Sulam BPJS Kesehatan
Sahabat saya itu pernah berkelakar di Grup WA. Ia mengajukan pertanyaan yang cukup nyelekit. Apakah kita bisa berharap suatu ketika penyakit defisit BPJS Kesehatan bisa sembuh? Harapan sembuh tentu bukan sesuatu yang muluk-muluk. Itu akan tercapai andai kata tingkat kesadaran peserta dalam membayar iuran cukup tinggi. Apalagi bila tingkat kesadaran berbagi ikut tinggi.Â
Tidak bisa dimungkiri bahwa masih ada sebagian kecil warga Indonesia yang bertumpu pada "apa manfaatnya bagi saya". Karena merasa masih sehat dan kuat maka malas membayar iuran, giliran jatuh sakit mengamuk saat mengurus klaim.
Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa sejak diterapkan, pada 2014, defisit selalu menjadi momok bagi BPJS Kesehatan.Â
Dalam uraiannya, Tirto.id menguraikan bahwa defisit dana BPJS Kesehatan pada 2014 mencapai Rp3,3 triliun. Sebanyak 133,423 juta jiwa menyumbang iuran premi Rp40,72 triliun, sementara klaim yang harus ditanggung sebesar Rp42,66 triliun. Demi menambal "lubang defisit", Pemerintah menyertakan modal negara sebesar Rp500 miliar.
Tunggakan pada 2015 mencapai Rp5,7 triliun. Iuran premi sebesar Rp52,78 triliun, dari 156,790 juta peserta, tidak cukup menutupi semua klaim biaya kesehatan sebesar Rp57,08 triliun. Mau tidak mau, Pemerintah kembali menyuntikkan modal negara sebesar Rp5 triliun.