Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tambal Sulam Defisit BPJS Kesehatan

22 Desember 2018   23:37 Diperbarui: 22 Desember 2018   23:37 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: finansialku.com

Sejak awal November 2018, seorang sahabat saya mengeluhkan kondisi kesehatannya. Ia sering mual tanpa sebab. Kadang ia merasa ingin muntah, tetapi urung ketika sudah di kamar mandi. Satu lagi yang sangat menyebalkan baginya, sering berkeringat dingin.

Sebagian orang bilang kepadanya bahwa ia masuk angin. Dengan berat hati ia jalani "terapi kerok", walaupun ia takut menanggung rasa sakit akibat kulit dikerik. Sensasi mual, muntah, dan keringat dingin itu masih ada, sekalipun punggungnya sudah dikerok berkali-kali.

Seminggu kemudian ia mengeluh lagi. Kali ini ia bercerita tentang pendar-pendar bintang setiap ia merasa pusing. Meskipun hanya duduk sebentar, ia akan keleyengan begitu berdiri. Kadang ia merasa seperti orang mabuk yang berjalan sempoyongan. Ia juga sering meminta punggungnya disangga karena ia takut terjatuh. Seorang teman berkata kepadanya: kamu "kurang darah".

Menjelang akhir November, ia bercerita tentang dirinya yang seakan-akan berada di dunia fantasi. Sesekali ia merasa tubuhnya seperti mengambang dan melayang di udara, sesekali ia melihat dunia dan apa saja di sekitarnya berputar-putar, sesekali telinganya mendenging seperti desing peluru berhamburan.

Setelah berkonsultasi ke klinik di dekat rumahnya, ternyata ia menderita vertigo dan dirujuk ke rumah sakit. Karena tidak ingin berlama-lama menikmati sensasi dunia fantasi, ia segera ke rumah sakit untuk berobat. Seluruh tagihan di rumah sakit dibayar tunai, padahal ia peserta BPJS Kesehatan.

Kala petugas rumah sakit bertanya kepadanya soal mengapa ia tidak menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, dengan pelan ia menjawab, "Saya rutin membayar iuran BPJS Kesehatan setiap bulan bukan untuk diri sendiri, melainkan bagi orang lain yang lebih membutuhkan."

Baginya, BPJS Kesehatan adalah ladang amal tempat kelak ia dapat memetik pahala. Mendengar kisah dan pendapatnya, hati saya terketuk. 

Tradisi Gotong Royong

Sejak dahulu kala, kita sudah lekat dengan tradisi gotong royong. Yang berat ditanggung bersama, yang ringan dijinjing bersama. Dengan kata lain, anak-anak Ibu Pertiwi intim dengan tradisi bantu-membantu atau tolong-menolong. Tradisi itu lazim kita sebut "gotong royong".

Di kampung-kampung, tradisi itu masih lestari. Ada jembatan rubuh, warga bergotong royong memperbaikinya. Ada tetangga tidak mampu yang jatuh sakit, warga riungan mengumpulkan biaya. Ada kerabat yang hajatan, sanak famili datang membawa apa saja yang dapat meringankan beban penyelenggara hajat.

Kisah sahabat saya di awal tulisan ini bukanlah pepesan kosong. Di ranah Twitter, beberapa orang pernah menceritakan hal serupa. Ada saja orang baik yang diam-diam membantu meringankan beban orang lain tanpa ingin disorot kamera, ditenarkan berita, dan disiarkan penyiar. Mirip saat penyumbang pembangunan rumah ibadah mengganti namanya dengan "Hamba Allah" atau "Pelayan Tuhan".

Sekarang, mari kita berandai-andai. Apakah tradisi gotong royong dapat diterapkan dalam pendanaan BPJS Kesehatan? Tentu saja, ya. Sahabat saya bukan orang kaya. Gajinya dalam sebulan tidak seberapa. Sebenarnya ia bisa saja mengambil iuran BPJS Kesehatan Kelas 3, tetapi ia dan istrinya sepakat membayar iuran Kelas 1.

Apakah ada warga Indonesia yang setulus sahabat saya tersebut? Tentu saja, ya. Bahkan, tidak sedikit. Namun, banyak juga peserta BPJS Kesehatan yang tabiatnya persis peserta arisan: begitu arisannya naik, langsung malas datang dan susah ditagih, padahal arisan masih berbulan-bulan. Karena sudah mendapat layanan atau fasilitas BPJS Kesehatan ketika sakit, ada saja peserta yang gairah membayar iurannya langsung surut atau melempem.

Maka, tidak heran bila BPJS Kesehatan diserang penyakit tahunan. Nama penyakitnya "defisit". Itu terjadi karena pengeluaran lebih besar dibanding pemasukan. Pepatah bilang, "besar pasak daripada tiang". Klaim pembayaran banyak, iuran yang masuk kurang. Pada 2017, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp9,75 triliun. Bahkan tahun ini, 2018, diperkirakan bisa mencapai Rp16,5 triliun apabila tidak ditangani secara khusus.  

Bagi yang doyan nyinyir pasti akan merisak habis-habisan: banyak yang bayar kok bisa defisit? Biarkan saja. Nyinyir itu pilihan. Kalau kita memilih bersikap arif, kita akan renungkan apa yang bisa kita lakukan, bagaimana melakukannya, dan kapan melakukannya.

Benarkah BPJS Kesehatan seperti lebih besar pasak daripada tiang? Mari kita simak. Defisit BPJS Kesehatan hingga akhir 2017 tercatat Rp9,75 triliun. Ini lantaran iuran program JKN-KIS hanya sebesar Rp74,25 triliun, sementara jumlah klaimnya mencapai Rp84 triliun.

Tambal Sulam BPJS Kesehatan

Sahabat saya itu pernah berkelakar di Grup WA. Ia mengajukan pertanyaan yang cukup nyelekit. Apakah kita bisa berharap suatu ketika penyakit defisit BPJS Kesehatan bisa sembuh? Harapan sembuh tentu bukan sesuatu yang muluk-muluk. Itu akan tercapai andai kata tingkat kesadaran peserta dalam membayar iuran cukup tinggi. Apalagi bila tingkat kesadaran berbagi ikut tinggi. 

Tidak bisa dimungkiri bahwa masih ada sebagian kecil warga Indonesia yang bertumpu pada "apa manfaatnya bagi saya". Karena merasa masih sehat dan kuat maka malas membayar iuran, giliran jatuh sakit mengamuk saat mengurus klaim.

Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa sejak diterapkan, pada 2014, defisit selalu menjadi momok bagi BPJS Kesehatan. 

Dalam uraiannya, Tirto.id menguraikan bahwa defisit dana BPJS Kesehatan pada 2014 mencapai Rp3,3 triliun. Sebanyak 133,423 juta jiwa menyumbang iuran premi Rp40,72 triliun, sementara klaim yang harus ditanggung sebesar Rp42,66 triliun. Demi menambal "lubang defisit", Pemerintah menyertakan modal negara sebesar Rp500 miliar.

Tunggakan pada 2015 mencapai Rp5,7 triliun. Iuran premi sebesar Rp52,78 triliun, dari 156,790 juta peserta, tidak cukup menutupi semua klaim biaya kesehatan sebesar Rp57,08 triliun. Mau tidak mau, Pemerintah kembali menyuntikkan modal negara sebesar Rp5 triliun.

Ternyata defisit masih menjadi hantu. Pada 2016, Pemerintah harus menambal lubang defisit sebesar Rp9,7 triliun. BPJS Kesehatan mesti "disuntik dana" sebesar Rp6,8 triliun. Utang BPJS Kesehatan meningkat pada 2017 menjadi Rp9,8 triliun. Pasak lagi-lagi lebih besar daripada tiang. Iuran premi dari 187,982 juta jiwa peserta sebesar Rp74,07 triliun tidak bisa menutupi klaim pembayaran biaya kesehatan sebesar Rp84,45 triliun.  

Sampai kapan tradisi tambal sulam ini berlangsung? Jawabannya sederhana: sampai yang ditambal dan disulam sudah tangguh dan sanggup tegak sendiri. Hanya saja, kita tidak tahu kapan masa itu tiba. Mungkin cepat mungkin lambat.

Kepada Siapa Kita Berbagi?

Fondasi gotong royong bernama sanubari. Makanannya disebut tulus. Barangkali ada yang bertanya-tanya di dalam hati soal siapa yang akan menerima manfaat BPJS Kesehatan jika, ini amsal saja, kita ternyata tidak pernah sakit. 

Di situlah pentingnya kehadiran "si tulus" dalam sanubari kita. Bukan apa-apa. Jika Si Tulus ada, kita tidak akan bertanya-tanya. Toh kalau bukan saudara seiman, pasti saudara sebangsa.

Supaya lebih gereget, mari kita tekuri data BPJS Kesehatan. 

Sumber: BPJS Kesehatan
Sumber: BPJS Kesehatan
Siapa penerima manfaat terbesar BPJS Kesehatan? Dari 207.834.315 juta jiwa peserta Program JKN, berdasarkan data BPJS Kesehatan per 1 Desember 2018, ternyata lebih dari separuh peserta BPJS Kesehatan dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari total 176,74 juta peserta BPJS Kesehatan, sebanyak 92 juta (52 persen) merupakan penerima bantuan iuran (PBI) . Artinya, biaya berobat dan pengobatannya diambil dari "dompet negara" atau APBN.

Setelah itu, peserta BPJS Kesehatan PBI dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mencapai 16,96 juta (9,59) persen. Artinya, pembayaran biaya pengobatan disauk dari "dompet daerah" atau APBD. Jadi total peserta BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran (APBN dan APBD) mencapai 108,99 juta peserta atau lebih dari 61,67 persen.

Adapun peserta penerima upah (PPU) BPJS Kesehatan hanya mencapai 67,75 juta atau 38,33 persen. Jumlah tersebut terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS dan TNI Polri), karyawan swasta, pejabat negara, perusahaan BUMN dan BUMD. Sejak berdiri hingga saat ini tunggakan iuran BPJS Kesehatan mencapai Rp 3,4 triliun. Posisi terakhir tunggakan senilai Rp 1,7 triliun.

Dengan demikian, kita sudah bisa menemukan penyebab kambuhnya "penyakit defisit", seperti dilansir katadata. Pertama, banyaknya klaim yang dibayar dari dompet negara dan dompet daerah. Kedua, banyaknya peserta berbayar yang menunggak iuran. Apabila kita ingin melihat penyakit defisit BPJS Kesehatan sembuh, mari bergotong royong menyembuhkannya.

Ambil contoh begini. Jika tetangga kita yang hendak melangsungkan pesta pernikahan ternyata kekurangan dana, kita bisa memilih tiga tindakan, yakni (1) datang kepadanya dan mengatakan 'makanya pesta seadanya saja, kalau tidak mampu jangan memaksa diri'; (2) datang ke tetangga lain dan mulai mengumbar nyinyir dengan 'begitulah kalau mau dikata'; atau (3) mengetuk nurani untuk membantu meringankan beban tetangga dengan bergotong royong.

Tentu tidak ada hubungan erat antara "pesta pernikahan" dengan "defisit BPJS Kesehatan". Saya juga maklum. Akan tetapi, itu perumpamaan saja. Kalau kita masih mau dan mampu berbagi, sebaiknya tidak perlu menahan diri.

Hari ini mungkin kita yang membantu, besok lusa siapa tahu kita yang dibantu.

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun