Tidak bisa dimungkiri bahwa pengguna internet kerap "lapar mata". Ada produk menarik di Instagram sontak ngiler, ada yang memukai di lapak daring kontan "meneguk ludah", ada yang menarik dari tayangan iklan di Youtube atau mesin peramban mendadak "panas dingin".
Apalagi pengguna internet pada rentang usia 19-34 tahun jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni sebanyak 49,52% atau sekitar 70,94 juta jiwa. Itu adalah lahan subur yang seakan-akan melambaikan tangan untuk digarap, diolah, dan disebari komoditi bernama ekonomi digital.
Tunggu dulu. Masih ada fakta menarik lain yang tidak terbantahkan. Laki-laki memang lebih doyan mengulik-ulik internet dibanding perempuan, tetapi selisihnya tidak seberapa jauh. Laki-laki sebanyak 73,67 juta orang (51,43%), sedangkan perempuan sebanyak 69,58 juta jiwa (48,57%). Data sajian APJII tersebut memang memperlihatkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam perkara memakai internet.
Akan tetapi, kita dapat membayangkan keampuhan "relasi kuasa cinta" apabila 69,58 juta perempuan itu merengek kepada lelaki di sekitarnya--seperti bapak, kakak, suami, atau kekasihnya. Ihwal "relasi kuasa cinta" ini dapat kita lihat sebagai guyonan belaka sekaligus sebagai petunjuk samar atas "kesuburan lahan" tempat kita dapat menebar benih komoditi "ekonomi digital".
Merawat Bibit "Ekonomi Digital"
Jadi, potensi lahan subur bernama pengguna internet di Indonesia mestinya membuat kita mencelangap dan menganggut-anggut untuk memikirkan benih "ekonomi digital" apa yang cocok kita tebar, kapan benih itu harus ditebar, bagaimana merawat dan menjaga benih itu hingga tumbuh subur dan kita segera memetik buahnya.Â
O ya, istilah benih atau bibit dan lahan subur merupakan amsal semata.
Mari kita pilah dulu jenis bibit ekonomi digital yang potensial untuk kita budi dayakan. Setidaknya ada tiga bibit unggulan yang dapat kita pilih. Pertama, Layanan Sesuai Permintaan atau on-demand service; kedua, Layanan Belanja Daring atau e-commerce; dan ketiga, Layanan Pinjam-meminjam Uang atau financial technology.
Awalnya cuma Go-Ride untuk transportasi antar-jemput dengan ojek, lalu muncul Go-Car untuk transportasi antar-jemput dengan mobil, lalu tumbuh Go-Food untuk pesan-antar apa saja yang dipesan, dan terus beranak-pinak.Â
Semula tarif layanan terang-benderang berdasarkan jarak tempuh, kemudian bertumbuh seiring pertumbuhan teknologi sehingga mengalami penyesuaian. Bisa berdasarkan jam padat pemesanan, bisa juga berdasarkan bonus pemesan. Itulah ciri ekonomi digital--tumbuh sesuai perkembangan teknologi.