Ketiga pertanyaan itulah yang membidani kelahiran tulisan ini.
Meracik tulisan tidak semudah memulas bibir dengan gincu. Walaupun demikian, saya selalu membebaskan ide saya setiap menulis. Setelah memastikan poin-poin yang ingin saya tulis, saya biarkan segalanya mengalir. Tidak saya kekang, tidak saya tahan-tahan.
Saya teringat pesan Mitch Albom, dalam buku Cahaya di Ujung Senja, yang dituturkan lewat tokoh Morrie. Demi diri Anda sendiri, jangan membuat hidup Anda menjadi lebih sulit ketimbang yang seharusnya. Menulis, ya, menulis saja. Biarkan mengalir seperti air. Biarkan menggelora laksana gelombang. Biarkan menderu bagai badai.
Setelah proses menulis rampung, barulah saya membaca ulang tulisan tersebut. Di sinilah bermula proses sunting-menyunting. O ya, menyunting tulisan sendiri tidaklah semudah mencukur alis yang dapat dilakukan sekali jadi dan langsung terbentuk rapi. Selalu ada perasaan miris, tidak tega, atau nelangsa tidak berkesudahan setiap menggunting kalimat atau menghapus dan mengganti kata.
Akan tetapi, seperti pesan Morrie yang diungkap oleh Albom, saya tidak ingin menyulitkan diri sendiri. Jikalau ada kesalahan, bahkan sebatas salah tik, saya geregetan sendiri. Bahkan dapat memicu perasaan tidak puas, kecewa, atau merasa sia-sia tiga tahun belajar menyunting. Kesalahan akan memacu kesedihan, sedangkan kesedihan pasti menyulitkan diri saya sendiri. Bisa-bisa senewen sepanjang hari.
Sekali-sekali saya ingin membebaskan diri dari kaidah penulisan. Semacam hasrat sesekali melanggar aturan. Akan tetapi, saya sering geli sendiri kalau membaca tulisan saya yang "menabrak rambu-rambu". Meskipun sebenarnya saya pajang di media sosial yang bersifat tidak formal.
Begitulah. Bagi saya, menulis itu aktivitas membahagiakan diri sendiri. Saya tidak ingin kebahagiaan saya terusik gara-gara kesalahan semacam salah tik itu.Â
Itulah alasan pertama mengapa membaca ulang tulisan itu penting saya lakukan.
Sebelum berangkat ke kantor atau keluar rumah, saya berkali-kali berdiri di depan cermin. Memperhatikan alis, bulu mata, lipstik, atau pemerah pipi. Semuanya. Termasuk busana.
Tulisan juga begitu. Pada hakikatnya, tulisan adalah pantulan diri kita. Beda dengan penampilan fisik, tulisan adalah cermin "keelokan" pikiran kita. Melalui tulisan yang kita karang, orang-orang akan membaca gagasan kita, memahami pendapat kita, bahkan menilai pemikiran kita.
Dengan demikian, tulisan tidak boleh asal-asalan. Memang pada saat menulis saya membebaskan diri dari segala "rambu-rambu" yang dapat memacetkan laju ide, namun berbeda pada saat membaca ulang. Pelan-pelan. Hati-hati. Yang kurang ditambah, yang lebih dipangkas. Salah huruf diperbaiki, salah kata diganti. Â