Sungguh, saya merasa sedang melihat Alina mengernyit dengan mata terpicing. Entah mengapa tiba-tiba bulu roma saya merinding. Meski bergidik, saya tetap membaca paragraf berikutnya.
Setiap kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Itulah sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan mulai menitik di atas genting.
Rumahnya memang terletak di sudut mulut gang itu. Pada malam hari, kadang-kadang ia bisa mendengar semacam letupan dan bunyi mesin kendaraan yang menjauh. Namun tak jarang pula ia tak mendengar apa-apa, meskipun sesosok mayat bertato tetap saja menggeletak di ujung gang setiap kali hujan reda pada malam hari.
Saya bukan perempuan pemberani. Saya penakut. Membaca tiga paragraf awal sudah cukup untuk memaksa saya meninggalkan serambi, berjalan ke ruang tamu dan mendengus karena tidak ada siapa-siapa, menuju ruang keluarga dan kecewa karena televisi mati, kemudian terpaksa masuk kamar dan mengunci pintu.
Samar-samar saya dengar televisi berbunyi. Barangkali Ayah sekarang sudah di ruang keluarga, tetapi saya telanjur malas meninggalkan dipan. Lebih tepatnya, malas membaca cerpen di depan Ayah dan televisi dengan siaran sepak bola yang bising.
Untuk melihat mayat bertato itu, Sawitri cukup membuka jendela samping rumahnya dan menengok ke kanan. Ia harus membungkuk kalau ingin melihat mayat itu dengan jelas. Kalau tidak, pandangannya akan terhalang daun jendela. Ia harus membungkuk sampai perutnya menekan bibir jendela dan tempias sisa air hujan menitik-nitik di rambutnya dan juga di sebagian wajahnya.
Sumpah, sesuatu di dalam diri saya menuntut agar segera berhenti membaca. Sesuatu yang lain memaksa mata saya tetap mengeja kata demi kata. Rasa penasaran meletup-letup, sementara rasa takut kian menyentak-nyentak. Saya malah sempat menoleh ke jendela.
Pada akhirnya rasa penasaranlah yang menang.
Kemudian, saya kembali menyimak si juru cerita berkisah tentang Sawitri yang merasa bahwa mata mayat-mayat yang tergeletak di ujung gang begitu banyak bercerita.Â
Malahan Sawitri merasa sepasang mata mayat-mayat itu berteriak bahwa mereka belum mau mati, masih ingin kelonan dengan istri, masih ingin mengecup kening atau membelai rambut anak-anak, dan mata mereka membeliak bak berteriak menolak takdir.
Sementara itu, tetangga-tetangga Sawitri bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang. Sawitri tidak ikut-ikutan mengerumuni mayat. Ia tetap di dalam rumah mendengar apa saja yang dipercakapkan oleh tetangganya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!