Jangan sampai 10 atau 20 tahun mendatang kalian menyesal karena hari ini kalian menerbitkan buku seburuk ini.
Rasa-rasanya dada saya mendadak anjlok. Saya kira jantung saya juga tanggal. Hanya sebaris kalimat yang diucapkan dengan nada pelan dan hambar dan meluncur begitu saja, tetapi kalimat itu bagaikan silet yang menyayat-nyayat ulu hati.
Kalimat itu mengalir dari bibir seorang penyair yang semula menyemangati lantas kemudian meruntuhkan semangat. Teman-teman saya juga tersentak. Seolah-olah mereka tidak percaya telinga mereka mendengar barisan kata semenyakitkan itu.
Saya tidak pernah melupakan peristiwa pada siang menjelang pukul dua di sebuah kafe di tengah Kota Bogor itu. Saya tidak akan melupakannya, sebab saya memang tidak bisa membuang episode buruk itu dari ingatan. Saya rasa bukan cuma saya yang berpikiran seperti itu. Teman-teman saya pasti berpikiran sama.
Bahkan saya masih mengingat ekspresi penyair sengak itu, duduk di mana dan menghadap ke mana, warna kaus dan celana pendek yang dipakainya hari itu, dan bualannya tentang puisi.
Baiklah. Akan saya ceritakan awal mulanya supaya kamu tidak bingung.
Saya kuliah di sebuah universitas ternama di Bogor. Lantaran menyukai puisi sejak kecil, saya pilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. O ya, saya masih kelas 3 SD ketika menang lomba membaca puisi di Porseni se-Kabupaten Bogor.
Ketika peringatan Hari Kartini, saya didapuk membaca puisi karangan sendiri dan ditutup dengan lagu Ibu Kita Kartini karya W.R. Supratman. Pembacaan puisi lancar. Penonton bersorak. Saya bersemangat menyanyi.Â
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdekaIbu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Ternyata saya keliru. Bait kedua jadi bait pertama. Kontan saya menoleh ke arah Ibu Sri, Wali Kelas saya, sambil berkata dengan nada polos. "Eh, terbalik ya, Bu?" Penonton tetap bersorak. Saya tetap juara, meskipun juara kedua.
Kecintaan saya pada puisi terbawa hingga remaja. Semasa SMA, saya sering mewakili sekolah dan menang. Semasa semester awal di kampus, saya sering ikut lomba. Bukan hanya puisi, saya juga getol main teater.
Lalu tebersit ide menerbitkan buku puisi. Tidak, saya tidak bermaksud agul-agulan atau gagah-gagahan. Saya hanya ingin menunjukkan kepada orangtua bahwa saya tidak salah pilih jurusan dan tetap putri kesayangan yang membanggakan.
Semesta memberkati. Kiprah saya ternyata dilirik beberapa senior dan mengajak saya bergabung bersama mereka. Saya satu-satunya perempuan di antara empat penyamun. Mimpi menerbitkan antologi mulai digodok dengan sangat serius.
Masing-masing menyetor 10 puisi lengkap dengan ilustrasi yang digambar sendiri. Ilustrasi harus sesuai dan senyawa dengan puisi. Tidak boleh asal-asalan. Tema puisi terserah. Bebas lepas. Hanya butuh waktu sebulan untuk mengumpulkan 50 puisi.
Setidaknya tiga kali dalam seminggu kami bertemu, ngopi-ngopi di kantin, mengobrolkan antologi, merancang bentuk dan perwajahan sampul, memerinci biaya dan dari mana dana kami bisa cari, serta menentukan di mana antologi itu akan kami cetak.
Menjelang akhir 2012, kumpulan puisi sudah seperti masakan yang tinggal disajikan. Lalu dipilih Antologi Puisi Jamban sebagai judul. Alasannya sepele. Jamban merupakan tempat terbaik untuk mengais ide, terutama saat melepas hajat. Duit pun dikumpulkan. Iklan disebar. Orang-orang sekampus sudah tahu bahwa kami akan meluncurkan antologi puisi.
Harus ada testimoni. Begitu usul Teguh, mahasiswa dari pelosok Sukabumi. Chairil mengusulkan Mas Jokpin, Yudha menyebut Pak Maman S. Mahayana, sedangkan Teguh menawarkan penyair dari Bogor. Waktu itu saya lupa namanya.
Saya dan Tama manggut-manggut tanpa mengusulkan nama. Malahan, saya menolak usulan Teguh karena, bagi saya, akan menghambat proses pencetakan buku. Butuh waktu lagi untuk menghubungi calon pemberi testimoni. Belum lagi menunggu testimoni mereka.
Arkian penyair dari Bogor, sebut saja KP, sudah tiba di hadapan kami. Tampangnya serius, walaupun orangnya jenaka. Ia langsung membuka salinan puisi-puisi kami, mencermati lembar demi lembar, membaca tiap demi tiap puisi, dan sesekali menggerendeng seperti orang yang buru-buru bangun dari tidur karena kaget.
"Ide kalian bagus," katanya pelan. Saya semringah. "Tetapi," ujarnya lagi sambil berhenti sejenak, menatap kami satu per satu, "belum layak terbit."
Tidak ada di antara kami berlima yang bersuara. Pujian ternyata diakhiri kritikan. Kami menunggu apa lagi yang akan ia ucapkan.
"Jangan sampai sepuluh atau dua puluh tahun mendatang kalian menyesal karena hari ini kalian menerbitkan buku seburuk ini!"
Dada saya bergemuruh. Rasanya ingin saya tonjok lelaki paruh baya yang tidak berperasaan itu. Rasanya ingin saya renggut kacamata pantat botolnya biar ia tidak melihat dengan jelas. Rasanya ingin saya pukuli hingga ia menarik kembali kalimat menyebalkan yang baru saja ia ucapkan.
"Bagaimana caranya supaya layak terbit?" tanya Chairil. Di antara kami, memang ia yang paling jago menahan diri. "Soalnya kami berniat mencetak buku ini secepat-cepatnya."
"Aku bersedia kasih testimoni," tutur si KP brengsek tanpa mimik sama sekali, "tetapi sekalian catatan mengapa kusebut puisi kalian ini buruk. Kalian kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kelak jika kalian jadi guru, aku khawatir buku seburuk ini dijadikan contoh oleh murid-murid kalian!"
Saya bisa memahami argumennya. Saya juga mampu mencerna alasannya. Tetapi mengapa kata "buruk" dan "menyesal" diulang berkali-kali. Itu menyebalkan. Menyakitkan.Â
Saya tidak bisa seperti Teguh yang cengengesan padahal hatinya dongkol. Saya juga tidak bisa seperti Yudha yang cemberut tapi tidak menyanggah sedikit pun. Saya merasa berada di antara empat penyamun yang takluk begitu saja di hadapan orang asing yang baru mereka temui.
Sepulang dari kafe, kami langsung berembuk di kampus. Saya muntahkan semua kekesalan, saya damprat Tama yang sering menginjak kaki saya setiap hendak menyanggah si Sengak, saya cecar Yudha yang fasih berteori di depan kami tetapi tumpul di hadapan si Megak.
Keesokan harinya, juga beberapa hari setelahnya, kemarahan saya reda. Saya ingin tahu isi otak si Sengak. Maka saya ikuti beberapa kegiatan literasi yang ia galang. Lambat laun saya tahu bahwa otaknya memang tidak cetek. Tetapi saya masih kesal pada kebiasaannya berbicara lugas tanpa menakar orang lain akan sakit hati atau tidak.
Sebulan kemudian, pada acara baca-baca puisi, ia sodorkan sebuah buku. Berkenalan dengan Puisi. Ia juga meminta saya untuk rampung membaca buku itu dalam dua hari. Belum cukup. Saya masih diharuskan membuat telaah dan ulasan atas buku tersebut.
Akibat kesal yang menggunung, adrenalin saya terpacu. Buku setebal 400 halaman itu kelar dalam sehari. Rekor baru. Setelah tugas-tugas kuliah kelar, saya tulis ulasan saya dengan ringkas dan padat. Dua hari kemudian, tanpa menanggapi ulasan saya, si Songong kembali menyodorkan buku. Stilistika. Masih dengan jatah waktu yang sama, tugas yang sama, dan tantangan untuk membuat puisi sebagaimana kajian stilistika dalam buku pemberiannya.
Begitu terus selama tiga bulan. Buku demi buku memasuki otakku. Dari Soren Kierkegaard hingga Octavio Paz. Dari Pablo Neruda hingga Adonis. Dari Diah Hadaning hingga Amir Hamzah. Dari Damhuri Muhammad hingga Saut Situmorang.
Lantaran sering bertemu, lantaran kerap bertukar pikiran, lantaran dijejali banyak buku, akhirnya saya paham mengapa ia mengeluarkan kalimat sadis yang merontokkan semangat teman-teman.Â
Testimoni Mas Jokpin dan Pak Maman sudah di tangan, tetapi antologi puisi tidak kunjung kami cetak. Teguh mengerut, beraninya menggerutu di belakang si songong. Chairil memperbaiki puisi-puisinya, tetapi telanjur kehilangan energi. Yudha dan Tama malah tidak melakukan apa-apa, seolah-olah hasrat mereka yang dulu menggebu-gebu kini tercecer entah di mana.
Telah setahun spanduk rentang besar terpajang di gerbang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), namun buku belum juga terbit. Dosen-dosen menanyakan, teman-teman mempertanyakan.Â
Semua gara-gara si Sengak. Begitu alasan Teguh. Namun, saya tidak menyanggah. Bagaimanapun, si Songong tidak mengenal karakter senior-senior saya di Jamban. Tidak kenal tapi langsung main sembur. Akibatnya, mental teman-teman spontan ambrol.
Akan tetapi, saya tidak mau terpuruk. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu melakukan yang terbaik. Skripsi saya mengulas puisi. Buku-buku yang pernah saya lahap sangat membantu. Bahkan skripsi saya, yang mengulas stilistika puisi, menjadi skripsi terbaik sekampus. Bahkan saya lebih duluan lulus dan diwisuda dibanding tiga senior saya, yakni Teguh, Tama, dan Chairil.
Buku yang lama digadang-gadang akhirnya gugur di dalam rahim imajinasi. Meski begitu, kepala saya tetap tegak. Jelas skripsi terbaik gara-garanya. Si Songong, dengan caranya mendidik yang keras dan batu, ternyata memacu adrenalin saya untuk belajar lebih gigih. Ayah dan Ibu saya bangga sewaktu nama dan skripsi saya disebut saat wisuda pada April 2015.
Tahun ini, sebelum kenangan ini saya tulis, giliran saya yang "mendidik" si Songong supaya tidak main sembur pada sembarang orang.Â
Tidak semua orang kuat, tidak semua orang tahan banting. Pendek kata, tidak semua orang sanggup mengolah kritik menjadi injeksi penyemangat.
Setelah ingatan saya telah tumpah ke dalam tulisan ini, saya merasa si Sengak ada benarnya. Andai kata Antologi Puisi Jamban dulu jadi terbit, pasti hari ini saya menyesal karenanya.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H