Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Buku Puisi yang Gugur Sebelum Dilahirkan

6 Agustus 2018   17:43 Diperbarui: 7 Agustus 2018   04:36 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: pixabay.com

"Ide kalian bagus," katanya pelan. Saya semringah. "Tetapi," ujarnya lagi sambil berhenti sejenak, menatap kami satu per satu, "belum layak terbit."

Tidak ada di antara kami berlima yang bersuara. Pujian ternyata diakhiri kritikan. Kami menunggu apa lagi yang akan ia ucapkan.

"Jangan sampai sepuluh atau dua puluh tahun mendatang kalian menyesal karena hari ini kalian menerbitkan buku seburuk ini!"

Dada saya bergemuruh. Rasanya ingin saya tonjok lelaki paruh baya yang tidak berperasaan itu. Rasanya ingin saya renggut kacamata pantat botolnya biar ia tidak melihat dengan jelas. Rasanya ingin saya pukuli hingga ia menarik kembali kalimat menyebalkan yang baru saja ia ucapkan.

"Bagaimana caranya supaya layak terbit?" tanya Chairil. Di antara kami, memang ia yang paling jago menahan diri. "Soalnya kami berniat mencetak buku ini secepat-cepatnya."

"Aku bersedia kasih testimoni," tutur si KP brengsek tanpa mimik sama sekali, "tetapi sekalian catatan mengapa kusebut puisi kalian ini buruk. Kalian kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kelak jika kalian jadi guru, aku khawatir buku seburuk ini dijadikan contoh oleh murid-murid kalian!"

Saya bisa memahami argumennya. Saya juga mampu mencerna alasannya. Tetapi mengapa kata "buruk" dan "menyesal" diulang berkali-kali. Itu menyebalkan. Menyakitkan. 

Saya tidak bisa seperti Teguh yang cengengesan padahal hatinya dongkol. Saya juga tidak bisa seperti Yudha yang cemberut tapi tidak menyanggah sedikit pun. Saya merasa berada di antara empat penyamun yang takluk begitu saja di hadapan orang asing yang baru mereka temui.

Sepulang dari kafe, kami langsung berembuk di kampus. Saya muntahkan semua kekesalan, saya damprat Tama yang sering menginjak kaki saya setiap hendak menyanggah si Sengak, saya cecar Yudha yang fasih berteori di depan kami tetapi tumpul di hadapan si Megak.

Keesokan harinya, juga beberapa hari setelahnya, kemarahan saya reda. Saya ingin tahu isi otak si Sengak. Maka saya ikuti beberapa kegiatan literasi yang ia galang. Lambat laun saya tahu bahwa otaknya memang tidak cetek. Tetapi saya masih kesal pada kebiasaannya berbicara lugas tanpa menakar orang lain akan sakit hati atau tidak.

Sebulan kemudian, pada acara baca-baca puisi, ia sodorkan sebuah buku. Berkenalan dengan Puisi. Ia juga meminta saya untuk rampung membaca buku itu dalam dua hari. Belum cukup. Saya masih diharuskan membuat telaah dan ulasan atas buku tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun