Akibat kesal yang menggunung, adrenalin saya terpacu. Buku setebal 400 halaman itu kelar dalam sehari. Rekor baru. Setelah tugas-tugas kuliah kelar, saya tulis ulasan saya dengan ringkas dan padat. Dua hari kemudian, tanpa menanggapi ulasan saya, si Songong kembali menyodorkan buku. Stilistika. Masih dengan jatah waktu yang sama, tugas yang sama, dan tantangan untuk membuat puisi sebagaimana kajian stilistika dalam buku pemberiannya.
Begitu terus selama tiga bulan. Buku demi buku memasuki otakku. Dari Soren Kierkegaard hingga Octavio Paz. Dari Pablo Neruda hingga Adonis. Dari Diah Hadaning hingga Amir Hamzah. Dari Damhuri Muhammad hingga Saut Situmorang.
Lantaran sering bertemu, lantaran kerap bertukar pikiran, lantaran dijejali banyak buku, akhirnya saya paham mengapa ia mengeluarkan kalimat sadis yang merontokkan semangat teman-teman.Â
Testimoni Mas Jokpin dan Pak Maman sudah di tangan, tetapi antologi puisi tidak kunjung kami cetak. Teguh mengerut, beraninya menggerutu di belakang si songong. Chairil memperbaiki puisi-puisinya, tetapi telanjur kehilangan energi. Yudha dan Tama malah tidak melakukan apa-apa, seolah-olah hasrat mereka yang dulu menggebu-gebu kini tercecer entah di mana.
Telah setahun spanduk rentang besar terpajang di gerbang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), namun buku belum juga terbit. Dosen-dosen menanyakan, teman-teman mempertanyakan.Â
Semua gara-gara si Sengak. Begitu alasan Teguh. Namun, saya tidak menyanggah. Bagaimanapun, si Songong tidak mengenal karakter senior-senior saya di Jamban. Tidak kenal tapi langsung main sembur. Akibatnya, mental teman-teman spontan ambrol.
Akan tetapi, saya tidak mau terpuruk. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu melakukan yang terbaik. Skripsi saya mengulas puisi. Buku-buku yang pernah saya lahap sangat membantu. Bahkan skripsi saya, yang mengulas stilistika puisi, menjadi skripsi terbaik sekampus. Bahkan saya lebih duluan lulus dan diwisuda dibanding tiga senior saya, yakni Teguh, Tama, dan Chairil.
Buku yang lama digadang-gadang akhirnya gugur di dalam rahim imajinasi. Meski begitu, kepala saya tetap tegak. Jelas skripsi terbaik gara-garanya. Si Songong, dengan caranya mendidik yang keras dan batu, ternyata memacu adrenalin saya untuk belajar lebih gigih. Ayah dan Ibu saya bangga sewaktu nama dan skripsi saya disebut saat wisuda pada April 2015.
Tahun ini, sebelum kenangan ini saya tulis, giliran saya yang "mendidik" si Songong supaya tidak main sembur pada sembarang orang.Â
Tidak semua orang kuat, tidak semua orang tahan banting. Pendek kata, tidak semua orang sanggup mengolah kritik menjadi injeksi penyemangat.
Setelah ingatan saya telah tumpah ke dalam tulisan ini, saya merasa si Sengak ada benarnya. Andai kata Antologi Puisi Jamban dulu jadi terbit, pasti hari ini saya menyesal karenanya.