Ternyata saya keliru. Bait kedua jadi bait pertama. Kontan saya menoleh ke arah Ibu Sri, Wali Kelas saya, sambil berkata dengan nada polos. "Eh, terbalik ya, Bu?" Penonton tetap bersorak. Saya tetap juara, meskipun juara kedua.
Kecintaan saya pada puisi terbawa hingga remaja. Semasa SMA, saya sering mewakili sekolah dan menang. Semasa semester awal di kampus, saya sering ikut lomba. Bukan hanya puisi, saya juga getol main teater.
Lalu tebersit ide menerbitkan buku puisi. Tidak, saya tidak bermaksud agul-agulan atau gagah-gagahan. Saya hanya ingin menunjukkan kepada orangtua bahwa saya tidak salah pilih jurusan dan tetap putri kesayangan yang membanggakan.
Semesta memberkati. Kiprah saya ternyata dilirik beberapa senior dan mengajak saya bergabung bersama mereka. Saya satu-satunya perempuan di antara empat penyamun. Mimpi menerbitkan antologi mulai digodok dengan sangat serius.
Masing-masing menyetor 10 puisi lengkap dengan ilustrasi yang digambar sendiri. Ilustrasi harus sesuai dan senyawa dengan puisi. Tidak boleh asal-asalan. Tema puisi terserah. Bebas lepas. Hanya butuh waktu sebulan untuk mengumpulkan 50 puisi.
Setidaknya tiga kali dalam seminggu kami bertemu, ngopi-ngopi di kantin, mengobrolkan antologi, merancang bentuk dan perwajahan sampul, memerinci biaya dan dari mana dana kami bisa cari, serta menentukan di mana antologi itu akan kami cetak.
Menjelang akhir 2012, kumpulan puisi sudah seperti masakan yang tinggal disajikan. Lalu dipilih Antologi Puisi Jamban sebagai judul. Alasannya sepele. Jamban merupakan tempat terbaik untuk mengais ide, terutama saat melepas hajat. Duit pun dikumpulkan. Iklan disebar. Orang-orang sekampus sudah tahu bahwa kami akan meluncurkan antologi puisi.
Harus ada testimoni. Begitu usul Teguh, mahasiswa dari pelosok Sukabumi. Chairil mengusulkan Mas Jokpin, Yudha menyebut Pak Maman S. Mahayana, sedangkan Teguh menawarkan penyair dari Bogor. Waktu itu saya lupa namanya.
Saya dan Tama manggut-manggut tanpa mengusulkan nama. Malahan, saya menolak usulan Teguh karena, bagi saya, akan menghambat proses pencetakan buku. Butuh waktu lagi untuk menghubungi calon pemberi testimoni. Belum lagi menunggu testimoni mereka.
Arkian penyair dari Bogor, sebut saja KP, sudah tiba di hadapan kami. Tampangnya serius, walaupun orangnya jenaka. Ia langsung membuka salinan puisi-puisi kami, mencermati lembar demi lembar, membaca tiap demi tiap puisi, dan sesekali menggerendeng seperti orang yang buru-buru bangun dari tidur karena kaget.