Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Telisik Santai Atas "Aster untuk Gayatri"

5 Agustus 2018   10:35 Diperbarui: 7 Agustus 2018   19:31 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar tradisi juga menjadi kelemahan lain, walaupun pada titik tertentu merupakan kekuatan kisah ini. Sependek pengetahuan saya tentang sejawat Minang yang hidup di rantau, perjodohan paksa bukan lagi sesuatu yang sering terjadi. Mungkin Irfan punya tilikan data atau hasil riset yang menunjukkan bahwa tradisi perjodohan paksa masih kuat bagi masyarakat Minang, walaupun mereka hidup di tanah rantau. Biarkan Irfan yang menguraikan dan menjelaskannya.

Kelemahan berikutnya adalah kemampuan pengarang mengantar cerita. Narasi kadang akurat dan "main tembak langsung", kadang berbelit-belit dan "memaksa diri mengindah-indahkan bahasa". Kelemahan ini menguat pada penggalan pemerkosaan oleh Nila [hlm. 111]. Tidak ada deskripsi yang cermat tentang keberadaan Mande yang sebelumnya lebih sering di rumah. Tidak ada pula narasi yang menguraikan jarak antara rumah Gayatri dan perpustakaan Giran [hlm. 119] sehingga kedatangan Giran seperti "polisi yang selalu terlambat dalam film-film".

Kelemahan terakhir, yang bagi saya selaku pembaca berasa amat fatal, adalah perpindahan sudut pandang yang mendadak. Sepanjang kisahan dalam "Aster untuk Gayatri", Irfan memakai "orang ketiga" sebagai pengisah. Tiba-tiba semuanya amburadul karena pindah menjadi "orang pertama" [hlm. 97]. Tidak ada narasi pengantar, tidak ada pijakan bagi pembaca.

Ada sedikit pembuka lewat isyarat Gayatri terkenang peristiwa kelam yang menimpanya, tetapi sangat pendek dan cuma satu kalimat. Tatkala pindah sudut pandang, tidak jelas pula siapa yang jadi "aku" dan siapa "lawan aku" hingga akhir babak [hlm. 103].

Meskipun begitu, saya mengacungkan jempol pada kemampuan Irfan meramu kisah. Kata-kata arkais alias kata yang sudah jarang dipakai muncul beberapa kali. Sayang, ada beberapa kata yang terlalu sering hadir sehingga mengganggu mata--seperti kata "jua", "tidak payah", dan "apa-apa".

Terkait kemasan, ada beberapa kata keliru (entah keliru cetak entah keliru pilih) yang menghiasi novel ini. Tentu saja ini bukan kesalahan Irfan semata, tetapi juga kelengahan editor. 

Bagaimanapun, novel ini memang layak didaulat sebagai Pemenang Utama 1 Lomba Novella Mazaya Publishing House 2017. Selamat, Kak Irfan. Jangan berhenti menulis! 

[Amel]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun