Kelebihan Novel Ini
Itulah kelebihan pertama novel ini. Irfan langsung menggiring pembaca pada bilik imajinasi yang menegangkan, sarat kejutan, dan misterius. Mengapa Gayatri ingin mati? Derita macam apa yang ditanggungnya sehingga ia tidak ingin hidup lagi? Potensi kejutan hadir sejak lembar pertama.
Kelebihan kedua, penokohan. Hanya ada enam tokoh penting dalam novel ini, yakni Gayatri, Giran, Rustam, Mande, Apak, dan Nila. Empat tokoh pertama berkarakter baik dan dua tokoh terakhir berkarakter buruk. Meskipun penokohan ini pula yang, kelak, berpeluang membuka bolong-bolong pengisahan.
Kelebihan ketiga, muatan lokal. Paparan tradisi lokal atau kearifan lokal yang dimasukkan secara samar ke dalam cerita, lesap dengan tepat tanpa kesan sekadar latar cerita, serta menjadi penguat kisahan dari awal hingga akhir. Irfan memanfaatkan pengetahuannya tentang budaya Minang dan perkara yang ia ketahui itu menjadi tumpuan kuat dalam menata cerita.
Kelebihan keempat, akhir yang menyenangkan. Meskipun juga berpotensi menjadi kekurangan, novel ini ditutup dengan akhir yang bahagia. Tidak ada masalah sebuah cerita mau ditutup dengan tragis atau dengan tawa. Tidak ada larangan sebuah cerita berakhir dengan air mata bahagia duka atau air mata derita. Irfan menutup ceritanya dengan "lumayan" apik.
Kelemahan mendasar novel ini adalah latar yang kurang kuat. Tidak jelas latar tempat. Tidak terang benderang di mana peristiwa ini terjadi. Pembaca bisa terkecoh akibat nuansa lokal Padang, padahal sebagian besar peristiwa dalam cerita terjadi di Bogor.
Kelemahan Novel Ini
Ini perkara penting yang kerap diabaikan beberapa pengarang. Pembaca mencerna cerita lewat beberapa pintu masuk. Di antaranya, latar tempat. Penggambaran latar tempat yang baik akan memudahkan asosiasi pembaca dengan jalinan cerita. Dalam Aster untuk Gayatri, Irfan gagal menyuguhkan latar tempat yang jelas.
Pada awal cerita, ketika membabar peristiwa wafatnya orangtua Gayatri, Irfan menggunakan Padang (Pantai Kata) sebagai latar. Pada akhir cerita, ketika mengulas keberadaan Gayatri, Irfan kembali menggunakan Padang (Pantai Kata) sebagai latar. Bahkan, di akhir kisah ini pula muncul Gunung Salak sebagai latar tempat. Di situlah letak bolong pertama novel ini.
Selain itu, latar waktu. Tidak ada alamat atau penanda kapan cerita ini terjadi. Jika pembaca tidak cermat membaca tanda-tanda dalam cerita, bisa jadi mereka mengira kisah  ini sezaman dengan cerita kondang "Siti Nurbaya". Penandanya jelas, perjodohan yang dipaksakan. Namun ada pembeda di dalam kisah ini, yakni kafe.Â
Pada zaman Datuk Maringgi rasa-rasanya belum ada kafe. Masih kedai, lepau, atau warung. Kafe menjadi penanda bahwa kisah ini mestinya berlatar kekinian.