Makin ke sini, makin ke sana. Begitulah kira-kira dunia dewasa ini, ketika istilah-istilah yang biasanya memiliki skopnya sendiri-sendiri malah dikawinkan dan menghasilkan sesuatu yang baru. Contohnya puasa dan media sosial. Puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan, sedangkan media sosial adalah berbagai platform yang digunakan orang orang di era teknologi sekarang ini untuk unjuk diri unjuk kreatifitas. Lantas hari ini digabungkan menjadi puasa media sosial. Lho, apa itu? Dengan demikian, dapat diartikan bahwa istilah ini merujuk kepada menahan diri dari segala hal yang berkaitan dengan media sosial, apakah itu facebook, instagram, X, threads, dan lain sebagainya.
Oke, sekarang pertanyaannya, mampukah umat di akhir zaman ini puasa medsos? Dua sisi mata uang ya sebenarnya, kompasianer, biarkan saya mengemukakan alasan pro dan kontranya.
Pro.
1) Perlu. Bila keadaannya adalah kita berada di posisi yang selalu diserang secara mental oleh netijen yang selalu maha benar, sehingga menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, hidup tidak tenang, dan trauma psikis. Anggap saja selebriti atau selebgram berada di posisi ini. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya lari ke narkoba karena tidak kuat meladeni hiruk pikuk dunia hiburan dengan setumpuk kewajiban yang melekat di dalamnya.
2) Perlu. Bila keadaannya kita yang bukan publik figur berkembang menjadi pribadi yang lemah dan mengidap histrionik (gangguan kepribadian yang selalu ingin menjadi pusat perhatian). Sama-sama bisa dipahami bahwa di dunia yang gila ini, berbagai cara digunakan orang demi viral dan terkenal. Apa pun hal paling lucu sampai paling jijik dilakukan agar menjadi salah satu di antara sekian banyak pemilik perhatian warganet. Sindrom paling rendahnya adalah updet segala hal tentang keresahan di status whatsapp atau facebook. Seolah setiap orang harus mencemaskan, mendoakan si empunya, bahkan mencarikan solusi terhadap permasalahannya.
3)Perlu. Bila keadaannya kita memegang peran sebagai netijen yang maha benar. Sudahlah tidak digaji, tapi kerjanya 'julid' terhadap kehidupan orang lain. Bukankah mengenaskan? Hidup sendiri entah bagaimana, malah ribet dan pusing dengan hidup orang lain. Salah satu pembelajaran bagi netijen yang maha benar adalah tindakan tegas yang diambil oleh Deddy Corbuzier dengan mempolisikan beberapa netijen atas ketikan jahatnya.
4) Perlu. Bila keadaannya kita hanya menggunakan media sosial sebagai media pemuas nafsu semata. Semisal pornografi. Bukan rahasia umum lagi apabila beberapa orang memang memerlukan hal tersebut dengan dalih kebutuhan s*ksualnya padahal nyata-nyata terlarang dalam agama.
Kontra.
1) Tidak perlu. Bila keadaannya kita pandai memanfaatkan media sosial sebagai sarana kerja sampingan yang menghasilkan uang yang tidak sedikit. Maksudnya memanfaatkan digital marketing di dunia yang saat ini serba digital. Tentu hal ini akan berdampak baik untuk kebrlangsungan kehidupan  ke depan secara ekonomi.
2)Tidak perlu. Bila keadaannya kita hanya memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah atau penyampai informasi. Contohnya saja penjajahan Palestina hari ini. Saya sebagai salah seorang muslim rajin menge-share berbagai info di instagram terkait bagaimana situasi dan kondisi di sana. Biar semua orang terbuka mata dan telinganya.
3)Tidak perlu. Bila kita sudah dari sononya bisa bersikap tebal muka dan tidak terpengaruh dengan apapun yang ada di media sosial rekan kerja atau keluarga. Tidak gampang tersindir atau tersulut amarah. Maka sah sah saja.