Mohon tunggu...
Amelina Junidar
Amelina Junidar Mohon Tunggu... Guru - Guru SD Islam Al Azhar 67 Bukittinggi

Nama pena Elina Ajrie. Ibu rumah tangga. Hobi coret-coret semenjak kelas 3 SD. Sudah memiliki sekitar 6 buku puisi solo dan 20 antologi cerpen-puisi.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Puasa Medsos; Dua Sisi Mata Uang

30 Maret 2024   23:40 Diperbarui: 30 Maret 2024   23:44 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Makin ke sini, makin ke sana. Begitulah kira-kira dunia dewasa ini, ketika istilah-istilah yang biasanya memiliki skopnya sendiri-sendiri malah dikawinkan dan menghasilkan sesuatu yang baru. Contohnya puasa dan media sosial. Puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan, sedangkan media sosial adalah berbagai platform yang digunakan orang orang di era teknologi sekarang ini untuk unjuk diri unjuk kreatifitas. Lantas hari ini digabungkan menjadi puasa media sosial. Lho, apa itu? Dengan demikian, dapat diartikan bahwa istilah ini merujuk kepada menahan diri dari segala hal yang berkaitan dengan media sosial, apakah itu facebook, instagram, X, threads, dan lain sebagainya.

Oke, sekarang pertanyaannya, mampukah umat di akhir zaman ini puasa medsos? Dua sisi mata uang ya sebenarnya, kompasianer, biarkan saya mengemukakan alasan pro dan kontranya.

Pro.

1) Perlu. Bila keadaannya adalah kita berada di posisi yang selalu diserang secara mental oleh netijen yang selalu maha benar, sehingga menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, hidup tidak tenang, dan trauma psikis. Anggap saja selebriti atau selebgram berada di posisi ini. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya lari ke narkoba karena tidak kuat meladeni hiruk pikuk dunia hiburan dengan setumpuk kewajiban yang melekat di dalamnya.

2) Perlu. Bila keadaannya kita yang bukan publik figur berkembang menjadi pribadi yang lemah dan mengidap histrionik (gangguan kepribadian yang selalu ingin menjadi pusat perhatian). Sama-sama bisa dipahami bahwa di dunia yang gila ini, berbagai cara digunakan orang demi viral dan terkenal. Apa pun hal paling lucu sampai paling jijik dilakukan agar menjadi salah satu di antara sekian banyak pemilik perhatian warganet. Sindrom paling rendahnya adalah updet segala hal tentang keresahan di status whatsapp atau facebook. Seolah setiap orang harus mencemaskan, mendoakan si empunya, bahkan mencarikan solusi terhadap permasalahannya.

3)Perlu. Bila keadaannya kita memegang peran sebagai netijen yang maha benar. Sudahlah tidak digaji, tapi kerjanya 'julid' terhadap kehidupan orang lain. Bukankah mengenaskan? Hidup sendiri entah bagaimana, malah ribet dan pusing dengan hidup orang lain. Salah satu pembelajaran bagi netijen yang maha benar adalah tindakan tegas yang diambil oleh Deddy Corbuzier dengan mempolisikan beberapa netijen atas ketikan jahatnya.

4) Perlu. Bila keadaannya kita hanya menggunakan media sosial sebagai media pemuas nafsu semata. Semisal pornografi. Bukan rahasia umum lagi apabila beberapa orang memang memerlukan hal tersebut dengan dalih kebutuhan s*ksualnya padahal nyata-nyata terlarang dalam agama.

Kontra.

1) Tidak perlu. Bila keadaannya kita pandai memanfaatkan media sosial sebagai sarana kerja sampingan yang menghasilkan uang yang tidak sedikit. Maksudnya memanfaatkan digital marketing di dunia yang saat ini serba digital. Tentu hal ini akan berdampak baik untuk kebrlangsungan kehidupan  ke depan secara ekonomi.

2)Tidak perlu. Bila keadaannya kita hanya memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah atau penyampai informasi. Contohnya saja penjajahan Palestina hari ini. Saya sebagai salah seorang muslim rajin menge-share berbagai info di instagram terkait bagaimana situasi dan kondisi di sana. Biar semua orang terbuka mata dan telinganya.

3)Tidak perlu. Bila kita sudah dari sononya bisa bersikap tebal muka dan tidak terpengaruh dengan apapun yang ada di media sosial rekan kerja atau keluarga. Tidak gampang tersindir atau tersulut amarah. Maka sah sah saja.

Menurut hemat saya, saya sendiri berada di barisan kontra. Mengapa? Karena dewasa ini pergerakan informasi saat cepat melebihi kecepatan cahaya. Apabila harus puasa media sosial, tentu akan ketinggalan informasi terbaru. Selain itu, saya juga berdagang online, di mana artinya saya memanfaatkan media sosial sebagai sarana meraup pundi-pundi. Selebihnya, saya gunakan untuk sarana hiburan di sela-sela kesibukan.

Namun demikian, misalkan ada kebijakan dari pemerintah yang mengharuskan kembali ke zaman HP jadul seperti trend di Amerika Serikat, maka dengan senang hati akan saya ikuti. Kalau menurut kompasianer, bagaimana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun