Merindu dengan segala penghargaan pada titik temu adalah satu-satunya cara bahagia menghampiri sebuah proses tentang penantian panjang. Namun, bukan pada diri seorang Aku.
*
 Pada Empat tahun silam, beberapa tenaga medis dari ruangan berhamburan, berebut untuk saling mengatakan bahwa perempuan paruh baya yang sangat kukenali bahkan hafal air wajahnya di harihariku itu sudah tak lagi ada.
Tampak ayah dan kakakku mereka mendekap jasad ibuku, mereka terus mengaliri kesedihan, tanda bahwa cinta pernah dan masih tumbuh menyelami semua ruang hingga dalam.
Dan aku?
Aku tak berani mendekat, dari garis pintu ruangan , aku hanya mampu menatap wajah beliau dengan lekat. Ada senyum yang menyimpul disana, diwajahnya. Tenang. Seperti itu aku melihatnya. Kau tahu? Aku merasakan ada sesuatu yang hilang, yang sebelumnya seperti mengganjal sesak di dadaku. Aku tak menangis, tidak. Sebab, jauh sebelum beliau tiada, bulir-bulir air mataku tak pernah absen membanjiri dan basah pada pelabuhan tempat dimana aku mengistirahatkan tubuhku diwaktu gelap, tanpa sepengetahuan beliau tentunya.
Aku bukan berarti bahagia atas kehilangan. Namun, Aku bahagia menerima cara Tuhan menyudahi semua rasa sakit yang beliau rasakan. Melihat tak ada lagi jarum-jarum besar dengan ukuran yang sama seperti ujung bolpoin besarnya, yang beliau lahap di setiap dua kalinya dalam seminggu. Yang sesekali tak jarang aku melihat beliau menahan rasa sakit acap kali suster mulai melayangkan jarum tersebut. Bisa dibayangkan.
**
Dalam hari-hariku tanpa beliau, Aku seolah belajar, belajar mengenal bahagia. Bahagia yang tak sesederhana orang rasakan.
Dalam ketiadaannya, Aku merasa selalu ada sosok beliau disisiku, bahkan sampai detik ini ketika ku mengingatnya. Aku tak pernah merasa kehilangan. Entah, atau karena aku terlalu meletakkan sosok beliau disini , dibenak hati.
Mengingat air mukanya ketika ku sepulang pergi, bagaimana beliau menyambut seorang gadis yang selalu saja dianggapnya sebagai "si gendok, anak kecil ibuk" [red: gendok atau disebut gendo' adalah panggilan kesayangan dari orang tua yang berasal dari jawa untuk anak perempuannya].
Dan satu lagi yang teringat darinya, dekapnya yang hangat. Tak pernah lagi kutemui sebuah rasa dekap yang sama hangatnya seperti beliau. Selalu ada dekap ketika aku ingin memulai atau mendapatkan sesuatu . Selalu ada Kalimat pemanis dari beliau untuk bekal semangat di perjalanan hari-hariku. Dan itu tak pernah absen. Kala itu, Bahagiaku sesederhana itu dalam mangkukku, yang rasanya tak habis meski kusuap dengan terus. Hingga pada masanya, rindu menjadi seperti hembusan angin yang mengibas semua ingatan. Dan lagi-lagi merindui sosoknya merupakan bahagia yang kuciptakan bersama celoteh-celoteh kecil dalam benak.
Dan... Mimpi dalam nyenyakku, merupakan jalan pintas merasakan semuanya seakan nyata. Obat bagi semua penawar rindu yang terasa. Beliau mendekapku, menatap dan tersenyum kepadaku, tak jarang beliau datang dan bicara ngalor-ngidul cerita ini dan itu seolah tak ada batas. Iya, beliau sama sepertiku yang hobi berceloteh dengan riangnya.
Meski beberapa waktu setelahnya waktu sudah menegur untuk 'sudah' dan kembali aku kedalam hidup yang nyata. Namun, setidaknya Tuhan selalu punya cara untuk mengobati semua rindu hambanya. Dan yakini bahwa suatu kehilangan bukan dari segala akhir yang membatasi seseorang terus memupuk kebahagiaan.
Dan kembali lagi, sejatinya pemilik bahagia adalah teruntuk bagi mereka yang bisa menerima dengan pemahaman yang indah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H