Pemerintah Hindia Belanda dan umat Islam Indonesia, masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Di satu pihak Pemerintah Hindia Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sementara di pihak lain, umat Islam Indonesia berdaya upaya pula untuk melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan tersebut. Sedangkan dalam mempertahankan kekuasaannya, setiap pemerintah kolonial selalu berusaha memahami hal ihwal penduduk pribumi yang dikuasainya, sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politek) sangat besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.
Sejalan dengan usaha menguasai medan jajahan inilah, Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda, terbukti dengan diselenggarakannya pendidikan Indologie untuk mengenal lebih jauh segala seluk beluk pribumi Indonesia. Melalui usaha tersebut diharapkan bisa dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap mengurus dan mengendalikan administrasi pemerintahan di kalangan pribumi yang sudah dikenalnya dengan baik.
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam ini sering disebut dengan istilah Islam Politiek, dimana Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje yang lahir tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhhout dipandang sebagai peletak dasarnya. Sebelum pemerintah Hindia Belanda melaksanakan seg ala kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda melakukan kebijaksanaan hanya berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur, karena pada saat itu pihak pemerintah Hindia Belanda belum banyak menguasai masalah Islam.Â
Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje adalah mahasiswa Fakultas Theologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Arab. Setelah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Sastra Semit (1880), ia mengajar pada Pendidikan Khusus Calon Pegawai di Indonesia (Indologie), di Leiden. Sekitar 4 tahun kemudian (1884), pergi ke Mekkah untuk memperoleh pengetahuan praktis bahasa Arab selama 1 tahun, dan pada tahun 1885 kembali mengajar di Leiden.
Pada tahun 1889, Snouck Hurgronje pergi ke Indonesia dengan tugas meneliti suku Aceh, bahkan terus menetap di Jakarta untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Tidak lama kemudian, 15 Maret 1891, diangkat menjadi Penasehat Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam; dan pada tahun itu juga, 9 Juli, berangkat ke Aceh dan menetap di Kutaraja. Setelah hampir setahun berada di Aceh, pada tanggal 4 Februari 1892 kembali ke Jakarta. Antara tahun 1898 sampai 1903 Snouck Hurgronje sering pergi ke Aceh untuk membantu Van Heutsz dalam menaklukkan Aceh, sementara itu mulai tanggal 11 Januari 1899 dia menjabat Penasehat Urusan Pribumi dan Arab, berkat pengalamannya demikian ia kemudian berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di Indonesia.
Berdasarkan analisa Snouck Hurgronje, maka dipisahkanlah masalah agama dengan politik. Terhadap masalah agama pemerintah Belanda disarankannya bersikap Netral, sedang terhadap masalah politik diperingatkannya: harus dijaga benar datangnya pengaruh dari luar semacam Pan-Islam. Sekalipun Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakikatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Menghadapi medan seperti ini, Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti "ibadah" dengan Islam sebagai "kekuatan sosial politik".  Dalam hal ini dia membagi masalah Islam atas tiga kategori, yakni: 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan; 3. Bidang politik; di mana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahannya yang berbeda-beda. Resep inilah yang kemudian dikenal dengan Islam Politiek atau kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia.
Kalau Snouck Hurgronje dinilai sebagai peletak dasar politik Islam pemerintah kolonial Hindia Belanda, maka Kantoor Voor Inlandsche Zaken merupakan alat untuk melaksanakan ide-ide dari Snouck Hurgronje. Kantoor Voor Inlandsche Zaken berwenang memberikan nasehat kepada pemerintah dalam masalah pribumi yang telah berdiri sejak tahun 1899 meskipun pada masa itu adviseur (pengganti Snouck Hurgronje ketika Snouck sedang tidak ada di Indonesia), hanya dibantu oleh beberapa orang dan secara resmi belum memiliki kantor tersendiri. Kantoor Voor Inlandsche Zaken merupakan "Lembaga istimewa yang sangat penting bagi penelitian tentang Islam di Indonesia", pada masa penjajahan Belanda.
Status dari kantor ini merupakan perwujudan dari perluasan tugas seorang adviseur, yang segala sesuatunya diatur dalam peraturan atau instruksi resmi. Instruksi pertama untuk pegawai tinggi ini bertahun 1899 yang berulang kali diperbarui yaitu pada tahun 1907, 1909 dan 1931. Tujuan perubahan tersebut sedikit banyak dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada posisi adviseur, di samping untuk memberikan kemerdekaan bertindak lebih besar kepada adviseur beserta para pegawai di bawah pimpinannya. Baik kemerdekaan dalam tugas pengawasan maupun dalam tugas penelitian.
Kantoor Voor Inladesche Zaken bersinggunagan dengan lingkungan politik secara umum. Kantor ini bisa berhubungan langsung dengan Gubernur Jendral, disamping dengan para kepala daerah dan direktur berbagai departemen, perwakilan-perwakilan Belanda di luar negeri, juga dengan pihak pribumi, bahkan dengan perorangan atau kelompok, baik secara resmi maupun pribadi. Kantoor Voor Inlandesche Zaken sering kali mengadakan kontak hubungan dengan Departemen Dalam Negeri (BB), bahkan lebih sering dibandingkan hubungannya dengan Departemen Pendidikan Agama (OEN). Kantor ini juga berhubungan dengan Departemen Kehakiman yang cukup erat, berhubungan juga dengan Departemen Keungan dan tak kalah penting juga melakukan hubungan dengan Perwakilan Belanda di luar Negeri, yakni Konsulat di Turki, Atase di Kairo, Atase di Kalkutta dan Atase di Singapura.
Adapun peranan dari Kantoor Voor Inlandesche Zaken sendiri y ang paling terkenal adalah tentang Pengelolaan Kas Masjid. Kas Masjid adalah sejumlah uang yang dikumpulkan dan menjadi milik suatu masjid. Keungan masjid ini di peroleh dari uang nikah, zakat, wakaf dan sadaqah. Pada tanggal 4 Maret 1893, Snouck Hurgronje dan Hazeu mengusulkan pengawasan yang lebih ketat terhadap administrasi dan pengelolaan kas masjid. Mereka menyoroti perlunya menginvestigasi buku kas, peraturan tarif pernikahan, serta menginterogasi pegawai masjid untuk melindungi kas masjid dari penyalahgunaan. Ini menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan uang masjid.
Snouck Hurgronje dan Gobee mengusulkan perubahan peraturan kas masjid. Usulan-usulan ini meliputi peningkatan gaji pegawai nikah, penurunan biaya perkawinan, dan pembaruan peraturan kas masjid. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah kelebihan dana kas masjid dan memastikan penggunaan yang lebih sesuai dengan kepentingan masjid dan umat Islam.
Sebelum tahun 1930-an, terdapat kekhawatiran terhadap penggunaan kas masjid yang tidak sesuai dengan tujuan aslinya. Kasus-kasus seperti penggunaan dana masjid untuk membangun bangunan umum, membantu rumah sakit Kristen, atau membiayai kepentingan pribadi menunjukkan bahwa penggunaan kas masjid tidak terarah dan sering kali dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menanganinya.
Salah satu faktor yang menyebabkan masalah dalam pengelolaan kas masjid adalah tidak adanya keterlibatan umat Islam dalam mengatur harta mereka sendiri. Pengaturan kas masjid secara umum dilakukan oleh pihak-pihak non-Islam, seperti bupati atau pegawai Eropa, sementara masyarakat Muslim non-pegawai tidak diikutsertakan dalam proses pengelolaan tersebut.
Seharusnya Kantoor Voor Inlandsche Zaken lebih  memastikan bahwa kas masjid adalah milik umat Islam dan memperbolehkan pemiliknya untuk mengatur dan mengawasi penggunaannya, penyalahgunaan dan penggunaan yang tidak sesuai dengan tujuan aslinya untuk dapat dihindari. Hal ini akan memastikan bahwa kas masjid digunakan secara efektif untuk kepentingan masjid dan umat Islam Indonesia.
Dalam konteks regional, terlihat bahwa pengaturan kas masjid di wilayah Jawa Madura sudah diatur oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan di wilayah Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, pengaturan kas masjid lebih banyak berada di tangan rakyat setempat. Setelah Indonesia merdeka, Departemen Agama Republik Indonesia membentuk lembaga kas masjid di wilayah Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan variasi dalam pengaturan kas masjid di berbagai wilayah di Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H