Mahasiswa Pendidikan Geografi UHAMKA Mengamati Sungai Ciliwung yang menjadi Sumber Banjir di Tanah Rendah Kampung Melayu
Kampung Melayu merupakan salah satu kelurahan di Jakarta yang sering terdampak banjir di tiap tahunnya. Maskipun sering dilanda banjir, wilayah ini masih menjadi tempat dimana penduduk mendirikan rumah hunian untuk mereka tinggali. Beberapa hari belakangan Kampung Melayu mengalami banjir akibat naiknya permukaan air Kali Ciliwung. Banjir sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Bahkan, mereka mengaku pernah mengalami banjir sampai leher hingga pernah mengalami genangan selama empat hari berturut-turut.
Dedi Kusuma merupakan seorang warga yang sudah cukup lama tinggal di  RT 07 Kelurahan Kampung Melayu. Dedi, menyebut bahwa banjir di wilayahnya cenderung makin parah dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan beberapa orang mendirikan permukiman yang mengarah ke bantaran Kali Ciliwung. Banjir di kawasan Kampung Melayu tidak hanya berasal dari hujan lokal saja, tetapi juga luapan Kali Ciliwung akibat kiriman dari Bogor. Warga RW 07 Tanah Rendah, Kampung Melayu, menyampaikan bahwa warga sudah terbiasa dengan banjir. Mereka  menghitung dalam satu hingga dua bulan belakangan sudah sempat merasakan sekitar 10 kali banjir.
"Wah. Sebulan-dua bulan ini ada kali 10 kali (dilanda banjir)," katanya saat ditemui
Banjir yang terjadi di kampung Melayu bukan dikarenakan oleh sampah, tetapi karena adanya penyempitan aliran sungai dan pendangkalan sungai karena erosi. Selain itu juga Dedi seorang warga Kampung Tanah Rendah menyampaikan bahwa banjir yang terjadi di RT 07 adalah banjir kiriman dari Bogor. Ini dikarenakan intensitas curah hujan yang tinggi dan banyaknya didirikan bangunan-bangunan tanpa memperhatikan struktur tanah dan lokasi.
Tercatat 4 RW di wilayahnya meliputi 27 RT terendam banjir luapan Kali Ciliwung, paling parah di kawasan Kebon Pala dengan ketinggian lebih dari 2 meter pada tahun 2022 lalu. Warga menuturkan hanya sebagian keluarga kawasan Kebon Pala dan Tanah Rendah saja yang mengungsi, sementara untuk Kampung Pulo tidak karena ketinggian air tidak terlalu tinggi. Banjir di kampung Melayu ini mulai parah di tahun 2002 sampai dengan sekarang.
Tim Observasi Pendidikan Geografi pada Minggu (3/7) mencoba menelusuri gang padat penduduk di lokasi tersebut. Tak banyak terlihat bekas genangan air di bagian atas pemukiman Tanah Rendah. Namun, saat ditelusuri hingga ke bantaran kali, suasana lembap akibat banjir dapat dirasakan. Tanah dan Jalanan cukup becek saat dilalui karena bercampur dengan sampah-sampah kecil yang berserakan. Kontur tanah di wilayah terdampak banjir cenderung rendah dan dekat dengan permukaan Kali Ciliwung.
Para warga juga tak lagi tampak membersihkan sisa-sisa banjir, lantaran genangan memang sudah surut sangat cepat di kawasan tersebut. Akan tetapi, masih terlihat sejumlah warga yang tengah membawa ember membersihkan bagian rumahnya yang memang bersanding dengan bibir kali Ciliwung.
Pemerintah dan warga DKI Jakarta membantu dalam menangani banjir di Kampung Melayu berupa berupa bantuan sosial yang didistribusikan kepada warga-warga yang terdampak banjir.
Dedi menyampaikan rasa kecewa atas banjir yang kerap melanda wilayahnya. Ia mengaku sempat termakan janji Pemerintah Provinsi DKI untuk menanggulangi banjir, bahkan hingga menjelang Pilgub 2024.
"Sempat janjiin, udah ada pengukuran (untuk normalisasi kali). Terus, udah lama, sebelum Anies juga udah diukur, Ahok pun juga udah. Sampai sekarang malah Kampung Pulo dulu yang duluan, tapi Tanah Rendah belum diatasi" tutur Dedi seorang warga Tanah Rendah.
Dia sempat termenung ketika hendak menjawab harapannya kepada gubernur baru yang bakal memimpin DKI. Dia terlihat irit bicara lantaran tak ingin berharap banyak.
"Nggak ada (harapan), sama aja dulu. Apa yang mau diharapin. Sekali diharapin, udahan gubernurnya. Apa yang mau diharapin? Kalo dulu zamannya Soeharto itu tertib peraturannya, mulai 2002 awal mula banjir terjadi" pungkas Dedi.
Warga dan Pemerintah setempat berharap masalah banjir di Jakarta ini bisa diatasi dengan segera. Hal ini bisa dapat terwujud melalui program pengendalian banjir secara terpadu. Mulai dari memperhatikan dan membenahi daerah aliran sungai (DAS) dari hulu sampai hilir. Mengatasi banjir di daerah hilir (wilayah DKI) tanpa membenahi daerah hulu (Bopunjur) akan sia-sia belaka. Sehubungan dengan besarnya volume air ketika musim hujan, untuk wilayah DKI Jakarta kita mesti menerapkan kombinasi tiga konsep pengelolaan tata air secara serentak.
Pertama, mengendalikan aliran air dari daerah hulu (banjir kiriman) dan membatasi volume air yang masuk wilayah Ibu Kota. Untuk itu, fungsi BKT sebagai saluran kolektor untuk menampung limpahan air dari hulu yang dialirkan melalui sisi timur Ibu Kota harus segera dioptimalkan. Kedua, mengupayakan agar air hujan sebanyak mungkin diresapkan ke dalam tanah guna memperbesar cadangan air tanah, yang sangat dibutuhkan saat kemarau. Kini saatnya pemerintah mewajibkan pembangunan satu sumur resapan untuk setiap rumah dan pembuatan lubang biopori sebanyak mungkin di lahan-lahan terbuka di wilayah yang muka air tanah (water table) nya masih dalam. Ketiga,memperlancar aliran air dari permukaan tanah yang terbuka ke saluran-saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya ke laut. Dan penyedotan air tanah harus segera dibatasi atau dilarang agar permukaan tanah tidak semakin menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H