Dear adik adik ku yang tercinta, tulisan ini untuk kalian yang telah sabar menghadapi kakak kalian selama ini..
Hubungan saya dan adik adik saya dulu bukan lah hubungan dekat seperti bestie atau best friend. Entah hidup di era 90 an rasa nya hambar, dingin, seperti saya dan adik adik , kami hidup damai tanpa berebut mainan, pilihan gak banyak. Kebutuhan kami tercukupi. Tidak pernah ada drama adik kakak rebutan mainan. Saya dan adik adik menjalani kehidupan bersaudara akur, adem ayem, tanpa kompetisi.Â
Beranjak usia pra remaja, mulai lah kompetisi itu mulai ada. Saya seorang kakak yang satu sekolah dengan adik yang lebih, membuat hidup saya tersaing. Ternyata gak saya doang yang merasakan seperti ini, temen saya juga ada yang begitu. Malah lebih dilematik. Si kakak dan adik seumuran.Â
Kakak laki laki, adik perempuan seumuran dan satu sekolah. Rahasia baru terungkap setelah 1 tahun sekolah bersama kalau mereka kakak dan adik. Waduh, habis deh di ceng-cengin. Duh, ga mau apes kayak mereka. Bisa habis saya di ledek ledekin dan di banding bandingkan. Masa sekolah menjadi masa yang berat. Akhirnya menjelang remaja, persaingan tidak henti di situ saja. Sekolah Menengah Atas atau SMA juga sama saja, tapi setidak nya sih lebih aman, karena beda sekolah.
Waktu berganti , tahun berlalu dengan cepat, hingga masa sekolah usai, saya kuliah, selesai kuliah sempet jualan online, masalah yang saya hadapi ketika berjualan saya diskusikan dengan adik saya yang pertama. Adik kedua masih bergelut di masa sekolah. Jadi teman diskusi saya jualan adik saya yang pertama. Setelah berhenti dagang online, saya memutuskan untuk bekerja dan menikah.Â
Ketika menikah, ternyata baru merasakan berat. Kenapa berat? baru deh ngerasa melankoli kalau hidup bersama adik adik berasa sebentar. Ternyata bener ya kata orang orang, kalau menikah itu bukan keputusan yang main main, di jalani sehidup semati, jangan di jadikan becandaan, berat karena harus berpisah dengan orang tua dan adik adik saya. Dalam hidup saya , menikah itu proses kehidupan yang menentukan masa depan saya akan seperti apa nanti nya.Â
Menikah di kala itu saya jalani dengan kehampaan perasaan, lho kok bisa? karena ga mikir nanti setelah nikah, saya kan bukan milik keluarga saya lagi. Udah jangan lebay, nanti kan bakal main main ke rumah orang tua lagi, bukannya ga pulang main ke rumah orang tua sama sekali. Setelah menjalani kehidupan berkeluarga, ujian dan cobaan datang silih berganti. Jika sudah berkeluarga, saya ga mungkin diskusi masalah rumah tangga ke orang tua, karena bisa runyam.Â
Saya bingung mau diskusi ke siapa perihal kedewasaan, akhirnya saya diskusi ke adik pertama. Anak kedua biasanya lebih dewasa daripada anak pertama, betul? Cerita ke adik lebih aman karena ga akan comel dan tidak menghakimi.Â
Adik saya tidak pernah membahas masalah apapun ke orang tua dari kecil, ia cenderung menyimpan masalah nya sendiri. Sedangkan si bungsu juga lebih maestro jaga rahasia. Ketika saya ada kesulitan, mereka membantu tanpa banyak tanya dan judgement karena mereka lebih mengerti saya seperti apa dan hidup bersama dari kecil. Beda jika saya meminta bantuan kepada orang selain mereka. Yang saya dapati hanya judgement negatif, nolong sih nolong tapi udahannya pait. Enak nya, minta tolong sama saudara lebih aman, gak bocor ke orang tua, teman diskusi tanpa ujung ujung bertengkar ketika kami berselisih paham karena kami saling mengerti satu sama lain, bukan hubungan baik di atas paksaan, alhamdulillah walaupun si adik pertama sudah berkeluarga tidak lantas dia berubah menjadi orang lain. Tetap sama. Adik bungsu, tetap menerima saya apa ada nya walaupun terkadang saya masih suka minta tolong, indah nya tolong menolong tanpa pamrih, mengungkit ungkit kebaikan, ikhlas , pengertian, sahabat sejatiku adalah mereka ; adik adikku...
Adikku...
Kakak yang tidak mau mengalah sejengkal pun, selalu ingin menang dalam hal apapun, termasuk adu argumen. Si bungsu pun semakin tersingkir, udah pasti ngalah aja daripada ribut. Baru kakak pahami, kehidupan berubah drastis setelah menikah. Kakak merasakan berat nya mengalah itu, hidup berkeluarga, seorang perempuan harus manut dan mengalah kepada suami, nah baru ngerasain kan sekarang. Belajar ngalah dari si adik, anak kedua. Kemana aja dulu?
Adikku..
Kamu selalu menjadi penengah dan mengalah daripada situasi semakin panas. Tapi aku belajar dewasa dari kalian, bahkan belajar menjadi diam seribu bahasa dari si bungsu. Si bungsu malah lebih hebat lagi, gak bergeming jika di tekan.Â
Adikku..
Mana tahu kita takdir siapa di antara kita yang sukses, jangan lupakan tali persaudaraan kita, walaupun kita sudah kita sudah hidup dengan orang lain, aku bukan orang lain, begitu juga kalian...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H