Biaya pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia yang rutin berubah ubah membuat tata laksana kegiatan belajar mengajar dan pendidik kocar kacir mengikuti alur pendidikan yang ada di sekolah.Â
Di era saya mengajar, tahun 2010, ketika itu saya mengajar di sekolah swasta dan sedang mengurus akreditasi. Sehingga harus mengikuti regulasi dari diknas. Pengerjaan RPP yang saya lakukan harus mengikuti alur dari Diknas dan kolaborasi materi yang akan saya berikan ketika KBM. Selang 1 atau 2 tahun kemudian, saya tidak ingat persisnya. Ada kabar kurikulum yang akan di terapkan berubah menjadi kurikulum 2013. Perubahan kurikulum ini membuat para pendidik di sekolah swasta tempat saya mengajar pun menjadi kelabakan menyusun rencana pembelajaran kembali dengan kurikulum baru. Salah satunya, teman saya, guru yang mengajar bidang studi harus membuat lembar tugas siswa menyesuaikan dengan standar kurikulum 2013. Karena saya pengajar seni , jadi perubahan kurikulum ini tidak serta merta membuat saya ikut kelabakan. Karena dasar penugasan siswa lebih dominan di praktek bukan teori. Kurikulum 2013 ini bertahan cukup lama. Malah saya kira kurikulum 2013 ini paten dan tidak akan berubah lagi. Ternyata ditahun ini berubah lagi menjadi kurikulum merdeka. Entahlah apakah ini masih coba coba atau bagaimana ?Â
Yang kewalahan sebetulnya tenaga pendidik atau guru. Siswa mungkin hanya akan bertanya tanya saja. "Ko berubah?" Hanya sekedar pertanyaan yang tidak berujung jawaban. Atau jawaban yang sama sama saling memaklumi. Apakah setiap ganti mentri sistem pendidikan akan berubah terus? Entahlah...
Di sisi lain, biaya pendidikan pun "rajin" naik dan tidak pernah turun. Setiap tahun mengalami kenaikan. Dan orang orang pun memakluminya. Apalagi sekolah swasta. Kebetulan anak saya bersekolah di negeri. Jujur, saya tidak memiliki kemampuan lebih untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta. Sebagai orang yang pernah mengajar di sekolah swasta, saya tau betapa besar pengeluaran di sekolah swasta. Pasti akan ada pengeluaran di tengah smester. Belum lagi kebutuhan anak anak yang lain seperti les, barang barang keperluan sekolah, field trip, uang transportasi, uang jajan, uang gaya hidup dalam arti jika ada anak teman sekelas yang ulang tahun, mau gamau kita harus keluar uang untuk beli kado, dan lain lain. Betapa besar nya angka pengeluaran yang harus di keluarkan.Â
Di sekolah negeri, karyawisata tidak sering di adakan, kegiatan di luar sekolah pun minim. Yang perlu perlu saja keluar uang. Namun, walaupun sekolah negeri, tetap saja ada biaya biaya yang di pungut, misalkan uang kemalangan, uang kesejahteraan cleaning service sebagai tambahan dari orang tua murid, ini tidak wajib dan berdasarkan sukarela. Intinya tidak banyak selebrasi.Â
Isu yang mencuat kini adalah , perlukah wisuda atau acara pelepasan siswa di level TK - SMA. Menuai pro kontra. Banyak yang tidak setuju. Tapi jangan salah, banyak juga yang setuju. Saya melakukan sebuah survey kecil kecilan dengan responden sebanyak 6 peserta. 2 orang tua murid yang pro. 2 orang tua murid yang kontra dan 1 tenaga pendidik. Semua responden dengan latar belakang sekolah swasta bilingual, swasta nasional dan swasta Islam.
2 orang tua murid yang setuju atau pro mengatakan setuju karena ternyata acara wisuda ada manfaatnya. Manfaatnya :Â
1. Sebagai ajang perpisahan dan unjuk kebolehan anak didik dalam sebuah acara yang di gelar scala besar.
2. Dapat meningkatkan kepercayaan diri anak untuk tampil di depan banyak orang. Karena biasanya di acara seperti ini ada pentas seni.
3. Anak mendapat pengalaman dan belajar untuk berani tampil  mentas di depan orang banyak.Â
4. Menjadi pengalaman yang akan selalu di ingat anak seperti inilah wisuda nantinya.
2 orang tua murid yang tidak setuju atau kontra, dengan alasan :
1. Tidak bermanfaat karena hanya selebrasi belaka dan bukan esensi pendidikan. Lebih baik uang nya di pakai untuk membayar uang smester berikutnya atau kegiatan eskul di luar sekolah.
2. Lebih baik di adakan acara perpisahan sekolah biasa saja tidak perlu wisuda. Sehingga tidak perlu sewa gedung dan lain lain.
3. Hanya buang buang uang dan minim manfaat untuk anak. Apalagi hanya sekedar foto foto yang sifatnya senang senang. Apalagi masa belajar anak belum selesai, masih ada jenjang pendidikan selanjutnya yang harus di lalui.
Hal ini ternyata di setujui oleh responden saya yang seorang tenaga pendidik dengan catatan yang bijak.Â
"Acara wisuda di level selain Universitas baiknya di tinjau dari latar belakang ekonomi orang tua siswa. Karena kemampuan finansial setiap orang berbeda beda, kalaupun ada manfaat dari kegiatan wisuda hanya sekedar simbolis melepas anak anak didik".Â
Bapak ibu, biaya untuk wisuda ini terbilang besar. Sekitar dari 2 -3 an juta di sekolah responden. Dengan metode pembayaran di cicil. Yang mereka dapat dari biaya sebesar ini adalah ; dokumentasi berupa foto dan video, buku tahunan, sewa baju toga, sewa gedung medali, photobooth dengan dekor, snack, makan siang. Bahkan ada juga sekolah yang dapat memberikan tanda mata untuk guru, petugas kebersihan sekolah dan sekolah.Â
Melihat biaya pendidikan di Indonesia yang selalu naik, selebrasi seperti ini bukanlah hal yang esensial bagi pendidikan. Jika anak didik perlu panggung untuk menunjukkan prestasi mereka, masih ada cara lain, bisa melalui lomba yang di adakan sekolah, prestasi di nilai akademik, hobi, unjuk bakat di kegiatan ekstra kulikuler, dan lain lain, rasanya itu akan lebih fair. Karena anak merasakan sendiri hasil jerih payah yang mereka perjuangkan. Dari situlah anak bahkan merasakan arti sebuah kesuksesan dari tangan mereka sendiri tanpa perlu selebrasi yang berlebihan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H