Jawa merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di Indonesia. Selain itu, Jawa juga memiliki banyak ragam tradisi di masing-masing wilayahnya, dan masyarakat yang hidup dalam tradisi yang cukup kental. Menurut Soekanto (1990:181) pengertian tradisi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang didalam bentuk yang sama. Masyarakat Jawa di desa khususnya masih percaya bahwa dengan melaksanakan tradisi tersebut mereka akan diberi keselamatan. Tradisi dari suku Jawa banyak yang berkaitan dengan ritual dan tradisi kelahiran, pernikahan, dan kematian.
 Salah satu tradisi yang berkaitan dengan ritual yaitu Siraman Gong Mbah Pradah yang ada di Kelurahan Kalipang Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur tepatnya di Aloon-aloon Lodoyo. Siraman Gong Mbah Pradah merupakan ritual budaya yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat sekitar Lodoyo.
Sejarah Singkat Tradisi Siraman Gong Mbah Pradah di Lodoyo Kabupaten Blitar
Dikutip dari artikel (Devi et al. 2021) bahwa dalam sejarahnya, tradisi ini berkaitan dengan asal-usul wilayah Lodoyo. Konon, dengan dimulainya perjalanan seorang Pangeran yang bernama Pangeran Prabu dari Katasura, yang menjadi legenda bahwa beliau mendirikan desa-desa dan tempat-tempat di wilayah tersebut saat  melakukan perjalanannya. Alasan Pangeran Prabu melakukan perjalanan ke Lodoyo karena Sri Susuhunan Pakubuwono I saat itu sedang dinobatkan menjadi tahta di Kerajaan Katasura.
Hal itu membuat Pangeran Prabu merasa sakit hati dan berniat ingin membunuh Sri Susuhunan Pakubuwono I karena Pangeran Prabu hanya saudara selir dari ayahnya. Namun, hal tersebut diketahui dan sebagai hukumannya beliau diasingkan serta diberi tugas untuk membabad alas Lodoyo. Beliau berangkat ke alas untuk menebus kesalahannya dengan didampingi sang istri yang bernama Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat Tariman dengan membawa piandel atau pusaka berupa bendhe (gong).
Dalam perjalanannya ke alas Lodoyo, Kyai Bicak dan abdi setianya yaitu Ki Amat Tariman menitipkan pusaka gong kepada Nyi Rondho Potrosuto dan berpesan agar pusaka tersebut selalu disucikan dengan cara disiram dua kali dalam satu tahun. Sepeninggal Pangeran Prabu, tradisi ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat sekitar Lodoyo yang tujuannya untuk mengenang jasa Pangeran Prabu serta melestarikan tradisi masyarakat yang ada di wilayah tersebut (Devi et al. 2021).
Tata Pelaksanaan Tradisi Siraman Gong Mbah Pradah di Lodoyo Kabupaten Blitar
      Tradisi Siraman Gong Mbah Pradah dilaksanakan setiap dua kali dalam satu tahun yang notabene bertepatan dengan Hari Maulud Nabi Muhammad SAW. atau tanggal 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal. Adapun tata pelaksaannya digolongkan menjadi tiga tahap, antara lain:
- Tahap persiapan
Tepat sehari sebelum pelaksanaan tradisi terdapat berbagai persiapan yang harus dilakukan oleh panitia antara lain menghias sanggar tempat penyimpanan Gong Mbah Pradah dengan menggunakan janur dan berbagai bunga. Lalu dilanjutkan dengan memotong satu ekor kambing dan hanya diambil kepala serta jeroannya. Bagian tubuh kambing yang diambil tersebut kemudian dibungkus dengan kain mori yang nantinya akan dijadikan sesajen dan dikubur di Desa Dadapan. Kemudian panitia membuat sesajen dengan berkoordinasi bersama juru kunci. Nantinya sesajen tersebut juga ikut dikubur dengan kepala kambing (Devi et al. 2021).
- Tahap pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap inti dari ritual tradisi Siraman Gong Mbah Pradah, yaitu sebagai berikut:
- Malam Tirakatan
Tirakatan merupakan bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar ritual tradisi Siraman Gong Mbah Pradah dapat berjalan dengan lancar tanpa suatu halangan apapun dan diihindari hal-hal yang tidak diinginkan. Malam tirakatan dimulai dengan istighosah, khotmil quran, dan tahlil (Devi et al. 2021).
- Penguburan kepala kambing di Desa Dadapan
Penguburan ini dilakukan tepat di hari pelaksanaan ritual tradisi Siraman Gong Mbah Pradah, dengan bunga tujuh rupa yang sudah dironce serta tujuh buah gentong yang sudah diisi dengan air dari sumur yang bersumber di sanggar Gong Mbah Pradah. Air yang ada di gentong inilah nantinya akan dipakai untuk memandikan dan mensucikan Gong Mbah Pradah. Setelah semua selesai, tepat pukul 06.00 WIB acara dilaksanakan yang diawali dengan penguburan sesajen berupa kepala kambing beserta jeroannya (bagian dalam kambing), sesajian, serta bunga-bunga seperti bunga mawar, bunga kenaga, dan lain-lain (Devi et al. 2021).
- Prosesi siraman
Prosesi ini dilaksanakan pada pukul 07.00 WIB dimulai dengan tokoh budaya setempat membacakan sejarah singkat tentang tradisi Siraman Gong Mbah Pradah, kemudian semua panitia siraman naik ke panggung pemandian untuk melaksanakannya (Devi et al. 2021).
- Tahap penutup
Tahap ini merupakan penyempurna dari ritual tradisi Siraman Gong Mbah Pradah. Maksudnya adalah penutupan acara pusaka dengan dipukulnya Gong Mbah Pradah sebanyak tujuh kali. Hal tersebut menunjukkan keidentikan tradisi di Jawa yaitu angka tujuh yang artinya pitulungan, dengan membaca "suwantenipun sae nopo awon?" yang artinya "suaranya bagus atau jelek?". Setelah dipukul, kemudian ditutup dengan kain mori itu menunjukkan bahwa orang yang sudah dibersihkan, dimandikan, dibedaki, jangan dikotori lagi dengan hal-hal yang tidak baik (Devi et al. 2021)
Makna Tradisi Siraman Gong Mbah Pradah di Lodoyo Kabupaten Blitar
      Siraman Gong Mbah Pradah dianggap mempunyai kekuatan tersendiri yang mampu menolong masyarakat Lodoyo agar terhindar dari marabahaya yang dapat mengancam kemakmuran masyarakat (Ilaina et al. 2018).
Tradisi Siraman Gong Mbah Pradah yang bertepatan dengan Maulud Nabi Muhammad SAW memiliki perbedaan dengan daerah lain. Perbedaan itu dilihat dengan adanya ritual penyucian Gong Mbah Pradah yang menjadi warisan dari para leluhur dan dilestarikan hingga kini (Ilaina et al. 2018).Â
Masyarakat Lodoyo mempercayai bahwa jika ritual tersebut tidak dilaksanakan, maka akan berdampak pada masyarakat disana. Dengan itu harus tetap dilaksanakan ritual tersebut yang harapannya akan datang kesejahteraan seperti Nabi Muhammad SAW yang membawa kesejahteraan bagi umat islam di seluruh dunia. Selain itu, dengan mempercayai tradisi Siraman Gong Mbah Pradah akan melindungi masyarakat sekitar dari malapetaka yang dapat mengancam ketentraman Desa Lodoyo, seperti kekeringan, kemiskinan, dan lain-lain (Ilaina et al. 2018).
Sumber Rujukan:
Soekanto, Soerjono. 1990. "Sosiologi Suatu Pengantar". Jakarta: Rajawali Pers.
Ilaina, Sari, Halimatussadiah, Juni 2018. Â Dalam jurnal "Makna dan Relevansi Simbolik Siraman Gong Kyai Pradah Lodaya dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Lodaya Blitar". Â Vol. 12 No. 01.
Devi, Hendriani, 2 September 2021. Dalam jurnal "Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah dan Keterkaitan dengan Perekonomian Masyarakat Kelurahan Kalipang Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar". Vol. 2 No. 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H