Beliau juga tak mau menjual terlalu mahal. Oleh sebab itu, beliau menjualnya secara mandiri. Sungguh tiada hal yang lebih membuat Ibok Sulas bahagia selain dipenghabis hari empek-empek buatannya habis terjual walaupun omset terbanyak yang beliau terima setiap hari tak pernah lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah.
Seperti orang yang menyandarkan kepulan asap dapur dari hasil jualan, Ibok Sulas juga merasakan suka dan duka berjualan. Beliau menuturkan bahwa ada saja cobaan jika memang rezeki itu bukan ditakdirkan untuknya.Â
Suatu ketika beliau pernah mendapatkan order seratus puntung Empek-Empek Ubi dan beliau sangat gembira mendapatkan orderan sebanyak itu. Dikerahkanlah tenaga suami dan anak lelakinya untuk membantu menyelesaikan orderan tersebut dan mereka begadang sepanjang malam.Â
Namun malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih, si pemesan tak kunjung mengambil pesanannya sesuai dengan jam yang disepakati, dihubungi pun tidak ada jawaban, akhirnya diputuskan Ibok Sulas untuk menjual Empek-Empek Ubi tersebut dengan harga merugi hanya agar dihari berikutnya beliau bisa kembali berjualan dengan memutar uang yang didapatnya dihari tersebut.
Ia berujar sambil menyeka bulir air mata yang mulai jatuh dari sudut matanya yang tak lagi simetris bentuknya "sungguh, amat sangat baik pembeli si A, si B, si C" sembari ia menceritakan kejadian suka cita yang diterimanya. Baginya, pembeli yang mengikhlaskan kembalian lima ribu rupiah merupakan kebahagiaan yang membuatnya haru biru.