Mohon tunggu...
Amelia Meidyawati
Amelia Meidyawati Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Penggemar Perpajakan yang selalu antusias menyelami ilmu baru... Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Asas Keadilan Pada Tarif Pajak UMKM TB1 Pajak Kontemporer

9 Oktober 2021   20:54 Diperbarui: 10 Oktober 2021   01:24 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dikutip dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pengertian UMKM adalah bisnis yang dimiliki dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang berdiri sendiri sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memiliki tujuan untuk meningkatkan dan menumbuhkan bisnisnya dalam membantu membangun perekonomian negara yang berdasarkan asas demokrasi yang bersifat adil. 

Jika kita menyimpulkan, UMKM adalah sebuah bisnis yang dioperasikan oleh pelaku usaha secara individu, rumah tangga, ataupun badan usaha berskala kecil.

Jika kita mengingat kembali ke tahun 1998, pengusaha yang terkena dampak adalah pelaku usaha kategori elit atau menengah keatas. Selama krisis ekonomi tersebut, sebagian besar UMKM terbukti mampu terjang perekonomian selama kondisi krisis maupun setelah krisis.

UMKM berperan krusial dan mempunyai kontribusi besar bagi perekonomian dalam negeri. Krisis ekonomi tahun 1998 di Indonesia sudah menjelaskan bagaimana rentannya modal asing terhadap krisis. 

Keterkaitan pengusaha di Indonesia terhadap pihak asing yang terlalu ketergantungan menyebabkan pengusaha tersebut rentan jika terjadi krisis. Ketergantungan tersebut juga yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia juga jatuh ketika pihak asing sedang jatuh. UMKM memiliki orientasi kepada pasar local.

UMKM menjadi sektor yang dinilai paling terserang akibat pandemi Covid-19 yang menerpa Indonesia. Jika melihat situasi krisis ekomomi pada 1998 dan 2008 yang masih bisa dihadang, krisis kesehatan akibat pandemi membuat pelaku UMKM cukup kerepotan karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat. 

Di sisi lain, krisis yang terjadi saat ini bersamaan dengan berakhirnya masa penggunaan pajak penghasilan (PPh) final PP 23 Tahun 2018 untuk wajib pajak badan UMKM yang terdaftar tahun 2018 atau tahun sebelumnya. Artinya mereka akan menggunakan perhitungan PPh yang berlaku umum.

PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. 

PP Nomor 23 tahun 2018 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan dari usaha baik barang/jasa yang diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yakni tidak melebihi 4,8 Miliar dalam jangka satu tahun pajak, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu, dengan tarif 0,5%.

Peraturan ini bertujuan antara lain

  • Memberikan kesederhanaan dan kemudahan pada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya;
  • Mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal seperti UMKM; dan
  • Memberikan keadilan kepada wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan.

Prinsip keadilan dalam pajak menurut kerangka pemikiran filsuf Yunani Kuno Plato, Keadilan pajak terjadi apabila Wajib Pajak dengan tingkat penghasilan yang sama akan membayar pajak yang sama pula. 

Atau sebaliknya, akan terjadi ketidakadilan jika beban pajak yang ditanggung berbeda oleh wajib pajak yang memiliki tingkat penghasilan yang sama. Agak bias sebenarnya jika melihat keadilan yang ideal dalam system perpajakan, karena manfaat langsung yang dirasakan tidak terlalu dirasakan oleh indra masyarakat.

Banyaknya pembuatan peraturan baru dan atau pembaharuan peraturan perpajakan, dinilai sebagai pembatasan yang terlalu banyak dalam satu lingkup bahasan. 

Adanya isu penguntungan salah satu kelompok pembayar pajak menjadi boomerang tersendiri dalam menjunjung prinsip keadilan tersebut. Satu paket peraturan belum tentu dapat mengantisipasi semua risiko untuk mengurangi ketidakadilan tersebut

Indonesia merupakan salah satu negara, dimana pendapatan terbesarnya bersumber dari penerimaan pajak. Untuk meningkatkan kontribusi penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak, pemerintah berusaha membantu dengan melahirkan pph final tersebut. 

Hal ini selaras dengan jumlah UMKM yang ada di Indonesia sebesar 98,8% dari total unit usaha; tenaga kerja UMKM sebesar 96,99% dari total tanaga kerja; dan produk domestik bruto sebesar 60,3% dari PDB (https://www.depkop.go.id).

Implementasi PP 23 Tahun 2018 membawa angin segar kepada pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi yang masih lemah, dengan harapan mereka tidak terlalu terbebani dengan jumlah pajak yang cukup tinggi. 

Selanjutnya UMKM diharapkan mampu menjalankan dan meningkatkan kualitas usaha melalui sisa penghasilan yang diperoleh dari pengurangan beban pajak. Namun perlu diingat, saat ini cukup banyak UMKM yang tumbang diterjang topan pandemic.

Dipertengahan bulan September lalu, merebak isu bahwa pemerintah akan menaikkan kembali PPh UMKM menjadi 1% tahun depan. Hal ini tentu menjadi polemic tersendiri bagi UMKM yang terdampak pandemic. Pemerintah dinilai membebani UMKM jika memang benar tarif tersebut akan naik. Hal ini tentu tidak memikirkan azas keadilan bagi UMKM yang ingin bangkit kembali dari terpaan badai yang mereka alami.

Selang 1 bulan semenjak isu tersebut berhembus, terdapat isu terkait Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur beberapa aturan baru berkaitan dengan perpajakan. 

Topik ini meramai berawal dari disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dalam Sidang Paripurna pada Kamis(7/10/2021), dan disusul dengan konferensi pers oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada hari Kamis(7/10/2021).

Pemerintah bakal membebaskan pajak penghasilan (PPh) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perseorangan dengan penghasilan dibawah Rp500juta pertahun. 

Dengan demikian, pengusaha hingga warung makanan berpenghasilan di bawah Rp 500 juta per tahun yang semula dikenakan PPh final 0,5 persen menjadi 0 persen.

Dikutip dari siaran pers nya, Sri Mulyani mengilustrasikan, warung kopi dengan penghasilan bruto hanya mencapai Rp35 juta per bulan atau Rp420 juta per tahun akan terbebas dari PPh final UMKM. Sedangkan warung kopi dengan penghasilan bruto mencapai Rp100 juta per bulan atau Rp1,2 miliar per tahun dikenakan pajak 0,5 persen. Rinciannya, PTKP pada bulan ke-1 sampai bulan ke-5, dan PKP di bulan ke-6 hingga bulan ke-12.

Apakah hal ini menjadi jawaban atas kegelisahan UMKM atas isu sebelumnya? Atau hanya memberi sedikit angin segar yang bersifat sementara?

Amelia Meidyawati 55520120009

Sumber:

https://www.youtube.com/watch?v=bwrNmwhjJ7k

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-aturan-baru-pph-dan-ppn-dalam-ruu-harmonisasi-peraturan-perpajakan/

https://money.kompas.com/read/2021/10/08/083400326/uu-hpp-disahkan-umkm-yang-penghasilannya-di-bawah-rp-500-juta-bakal-bebas-pph?page=all

https://ekbis.sindonews.com/read/551168/34/pph-umkm-naik-jadi-1-curhat-pemilik-kedai-kopi-ini-aja-nombok-1632596955

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun