Untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh import plastik ini, maka perlu peraturan hukum yang jelas sebagai antisipasi untuk menghadapi dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dalam mewujudkan tekad untuk menanggulangi masalah-masalah lingkungan, negara-negara telah mengikatkan diri pada perangkat hukum lingkungan internasional, baik yang berlaku secara global maupun yang bersifat regional. Kemudian negara-negara juga menindaklanjuti dengan peraturan hukum nasional untuk kepentingan perlindungan terhadap lingkungannya. Mengingat masalah tidak saja berskala nasional, tetapi juga internasional dan menyangkut berbagai aspek kehidupam manusia seperti teknologi, perdagangan, kesehatan, kebijaksanaan pemerinyah dan hukum, maka diperlukan kerjasama diantara negara-negara untuk mengatasinya.
Selain itu ada salah satu program yang ditawarkan oleh PBB yaitu dengan kampanye lama untuk mencegah polusi plastik: 3R atau reduce (kurangi), reuse (pakai ulang), dan recyle (daur ulang). Agaknya 3R tak lagi cukup mengurangi sampah plastik terus mengotori lingkungan. Program Lingkungan PBB (UNEP) mengajukan cara barau mencegah polusi plastik. Dalam laporan terbarunya yang dirilis 16 Mei 2023, UNEP mengajukan 3R + D. Tapi reduce diganti menjadi "reorient" dan D adalah diversifikasi. Dengan cara ini, menurut perhitungan PBB, pada 2040 sampah plastik akan berkurang 80 persen dari 353 juta ton yang dihitung oleh OECD. Menurut Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP, UNEP berfokus pada tiga pergeseran pasar utama yakni menciptakan ekonomi sirkuler untuk plastik demi menjaga agar barang-barang yang diproduksi tetap beredar selama mungkin. Berikut adalah beberapa alternatif yang bisa digunakan :Â
Penggunaan kembali (Reuse)
Penggunaan kembali atau reuse mengacu pada transformasi penggunaan plastik dalam waktu singkat, menjadi terbangunnya budaya penggunaan secara berulang. UNEP menggambarkan masyarakat menerima manfaat yang lebih masuk akal secara ekonomi ketika mereka menggunakan plastik kembali daripada langsung membuangnya. Untuk itu, perlu upaya yang didorong untuk mempercepat pasar menyediakan produk yang dapat digunakan kembali.
Daur ulang (Recycle)
Daur ulang adalah mengolah kembali sampah plastik menjadi barang yang lebih bermanfaat. Sama seperti penggunaan kembali (reuse), UNEP menekankan perlunya langkah percepatan pasar pendukung produk daur ulang. Untuk daur ulang plastik, perlu jaminan untuk memastikan daur ulang menjadi usaha yang menguntungkan.Â
Reorientasi dan diversifikasi (reorient and diversify)
Mengacu pada pergeseran pasar menuju alternatif plastik berkelanjutan. Alternatif berkelanjutan dapat mengurangi polusi sebesar 17 persen pada tahun 2040 (The Pew Charitable Trusts dan Systemiq 2020). Tetapi akan dibutuhkan perjuangan untuk bersaing di pasar, ketika bersandingan dengan produk yang terbuat dari polimer berbasis bahan bakar fosil murni.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan yang bisa diperoleh adalah sampah plastik impor yang masuk ke negera negara berkembang jelas mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat, baik terhadap kehidupan ekonomi maupun terhadap lingkungan hidup. Namun demikian harus dibedakan antara dampak yang ditimbulkan oleh sampah plastik impor yang mengandung limbah B3 dan sampah plastik impor yang tidak mengandung limbah B3. Sampah plastik impor yang mengandung limbah B3 mempunyai tingkat bahaya lebih tinggi daripada sampah plastik impor yang tidak mengandung B3. Sampah atau Iimbah yang tergolong limbah B3 memiliki karakteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, bersifat korosif, dan bisa menyebabkan infeksi dan bisa menyebabkan infeksi.Â
Dampak sampah plastik impor terhadap kehidupan ekonomi masyarakat terutama berkaitan dengan kerugian finansiai yang dialami oleh Negara Negara berkembang, yaitu biaya pengolahan sampah plastik Impor tersebut, harga sewa lokasi kontainer pelabuhan dan kerugian yang dialami para pemulung. Mengingat masalah import sampah yang tidak saja berskala nasional, tetapi juga internasional dan menyangkut berbagai aspek kehidupam manusia seperti teknologi, perdagangan, kesehatan, kebijaksanaan pemerintah dan hukum, maka diperlukan kerjasama diantara negara-negara untuk mengatasinya. Pada mulanya sampah lebih dianggap sebagai masalah negara-negara maju. Akan tetapi dalam perkembangannya, ketika sampah menjadi salah satu objek atau komoditi yang dapat diperjualbelikan, banyak negara maju menjadikan negara berkembang yang miskin sabagi sasaran tempat pembuangan sampah yang tergolong bebahaya baik secara sah (legal) dan tidak sah (illegal). Dengan demikian limbah import sampah tidak lagi dianggap sebagai masalah nasional dan regional, tetapi menjadi masalah global.