Mohon tunggu...
Amelia Daulay
Amelia Daulay Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi UNJ

-

Selanjutnya

Tutup

Money

Penanganan Kelangkaan Barang Akibat Pandemi Covid-19

15 Maret 2022   21:13 Diperbarui: 16 Maret 2022   21:20 3266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan virus yang muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada awal Desember 2019 dan menyebar ke seluruh dunia dalam kurun waktu yang sangat cepat. Ini dikarenakan penyebarannya yang sangat mudah yaitu melalui droplet yang dapat dengan mudah tersebar ketika manusia berinteraksi secara langsung dengan jarak tertentu. 

Oleh karena itu, sebagai bentuk mitigasi masyarakat diminta untuk berkegiatan dari rumah agar menghindari kontak langsung sehingga potensi penularan berkurang. 

Sayangnya, Indonesia dinilai lambat dalam menanggapi virus ini sehingga laju penyebaran di tanah air tergolong tinggi. Ini mengakibatkan banyaknya dampak, khususnya dampak buruk yang harus dirasakan oleh masyarakat. 

Pastinya dampak langsung yang bisa dilihat adalah dalam bidang kesehatan dimana hingga hari ini di bulan Maret 2022, COVID-19 masih terus menyebar dan angka kasus di Indonesia mencapai 5,88 juta jiwa. 

Selain mengancam kesehatan, aspek sosial dan ekonomi pun sangat terpukul. Ini dikarenakan masyarakat yang mobilitasnya dibatasi sehingga banyak kegiatan yang terganggu. Salah satu akibat di sektor ekonomi adalah terjadinya kelangkaan barang.


PERMASALAHAN YANG TERJADI
Kelangkaan barang terjadi akibat beberapa faktor seperti langkanya sumber daya, panic buying dan penimbunan. Pandemi muncul secara tiba-tiba sehingga tidak ada persiapan cukup, apalagi persiapan yang matang untuk menghadapi bencana ini. 

Contohnya, yang biasanya pasar masker hanya untuk orang-orang sakit, tenaga kesehatan, atau pengguna transportasi motor, seketika berubah dengan munculnya pandemi menjadi seluruh masyarakat, setiap orang yang keluar rumah diwajibkan memakai masker. Ini jelas mengagetkan pasar dimana tingkat produksi belum bisa menyeimbangi tingkat konsumsi yang tiba-tiba melonjak sangat tinggi. 

Para produsen yang biasanya hanya butuh bahan baku sekian banyak tiba-tiba butuh jauh lebih banyak. Bahan baku yang tersedia belum tentu bisa memenuhi kebutuhan seluruh produsen karena pastinya jumlah produsen tidak hanya satu. 

Ditambah lagi yang membutuhkan bahan baku ini bukan hanya Indonesia tetapi seluruh dunia sehingga terjadi perebutan yang semakin sengit. Kurangnya sumber daya memunculkan permasalahan lain yaitu harga yang naik. 

Semua produsen butuh bahan baku yang lebih banyak untuk memproduksi dalam skala yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Ini mengakibatkan harga bahan baku naik dan sesuai dengan hukum permintaan dimana ketika permintaan banyak, harga akan semakin tinggi. 

Ketika harga bahan bakunya naik, biaya produksi secara keseluruhan pun akan meningkat sehingga harga penjualan pasti naik. Pada akhirnya, ini bisa menimbulkan inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat.

Saat diumumkan kemunculan kasus COVID-19 pertama di Indonesia, banyak masyarakat yang melakukan panic buying. Panic buying atau kepanikan berbelanja adalah perilaku konsumen berupa pembelian produk dalam jumlah besar agar tidak mengalami kekurangan di masa depan (Shou, Xiong, & Shen, 2011). 

Peristiwa ini juga bisa disebut sebagai perilaku penimbunan barang. Menurut Honigsbaum (2013), fenomena ini pertama kali muncul pada saat wabah juga yaitu wabah Flu Spanyol 1918. Selain pada saat wabah, di kala bencana alam maupun non-alam panic buying juga seringkali terjadi. Ini merupakan bentuk kecemasan seorang individu akibat adanya ancaman (Cheng, 2004).

Di Indonesia sendiri, pada awal pandemi sebagian besar masyarakat melakukan panic buying berupa kebutuhan pangan atau sembako, masker, hand sanitizer, dan vitamin. Kebanyakan panic buying berasal dari oknum-oknum yang gencar menyebarkan hoaks dalam media sosial mengenai pandemi yang membuat masyarakat panik. 

Secara sadar maupun tidak sadar, dengan terus dibahasnya isu-isu COVID-19, terutama yang isi kontennya penuh kenegatifan, keadaan psikis masyarakat yang sering melihat atau membaca isu ini akan terguncang. Contoh rumor yang sering beredar di masa COVID-19 adalah berita pelaksanaan lockdown dan kenaikan harga. 

Sebagai respons dari ketakutan, mereka akan melakukan panic buying sebagai upaya untuk melindungi diri dari ancaman. Biasanya, orang-orang melakukan panic buying karena satu dari dua alasan berikut: Pertama, karena takut esoknya harga barang akan naik dan kedua, karena takut esoknya stok barang akan habis. 

Selain itu, ada juga yang melakukan panic buying karena mengikuti orang lain. Ketika ada orang lain melakukan panic buying, orang yang melihatnya sangat mungkin untuk ikut panik sehingga mengikuti perilaku ini.

DAMPAK YANG DIRASAKAN MASYARAKAT

Sektor kesehatan pun sangat terdampak karena kelangkaan, terutama pada awal pandemi. Contohnya, ada beberapa orang yang merasa sangat panik akan keselamatannya hingga membeli alat pelindung diri (APD) karena merasa ini akan efektif melindungi mereka ketika perlu keluar rumah. Tak jarang ada berita yang menunjukkan beberapa individu memakai APD ketika sedang berbelanja atau bepergian. 

Alat yang aslinya dimaksudkan sebagai pelindung para tenaga kesehatan dalam menangani pasien-pasien COVID-19 agar tidak tertular akhirnya mengalami kelangkaan karena kurangnya produksi seperti yang telah dijelaskan di awal dan pembelian APD oleh pihak yang keperluannya terhadap barang ini tidak urgen. 

Jelas bahwa tenaga kesehatan yang bekerja pada garda terdepan jauh lebih membutuhkan APD daripada masyarakat sipil yang hanya ingin pergi ke pasar. Pada awal pandemi terjadi kehebohan isu ini karena banyak tenaga kesehatan yang tidak kebagian APD sehingga terpaksa mencari alternatif. Bahkan, sampai beberapa tempat menggunakan jas hujan sebagai pelindung. 

Tentunya ini berbahaya bagi para tenaga kesehatan karena kesehatan mereka pun jadi lebih terancam. Apabila para tenaga kesehatan jatuh sakit, siapa yang bisa merawat para pasien? Masalah kelangkaan ini memang membawa dampak yang cukup panjang. Ketika barang langka, muncul juga perilaku panic buying seperti yang telah dijelaskan serta terjadinya penimbunan. Kedua hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat. 

Mirip dengan masalah kebutuhan bahan baku oleh produsen, panic buying juga bisa mengakibatkan naiknya harga-harga barang. Melalui panic buying, konsumsi masyarakat meningkat karena melakukan pembelian dalam jumlah besar lalu jika dilihat dengan hukum permintaan ini berarti harga barang naik karena saat barang yang diminta meningkat, harganya akan naik juga. Ini memunculkan dua bahaya yang baru. 

Pertama, dengan naiknya harga, tidak semua masyarakat mampu secara finansial untuk membeli barang-barang yang harganya sedang melambung tinggi. Padahal, yang membutuhkan barang-barang ini bukan hanya orang kaya. Ini juga bisa merambatkan masalah ke sektor lain. 

Contohnya, ketika harga masker menjadi sangat mahal, keluarga menengah bawah yang hanya punya uang cukup untuk pangan sehari-hari tidak akan berpikir untuk membeli masker karena merasa dengan jumlah uangnya yang terbatas, masker tidak menjadi prioritasnya. Akhirnya, mereka akan keluar tanpa masker dan membahayakan kesehatannya sendiri. Ini menambah masalah pada sektor kesehatan. 

Kedua, terjadinya penimbunan dengan maksud komersial. Banyak oknum jahat yang melakukan penimbunan sebagai kesempatan meraup keuntungan sebesar-besarnya. 

Ketika para oknum sudah melihat peluang bisnis, pasti mereka cepat-cepat menimbun barang agar bisa dijual kembali dengan harga tinggi ketika harga pasar sedang pada puncaknya. Ini sangat menguntungkan bagi mereka yang berjualan dan merugikan bagi para konsumen. Harga yang harus dibayar tidak masuk akal dan tidak adil. Ini bisa mengakibatkan melemahnya daya beli masyarakat hingga akhirnya terjadi resesi ekonomi nasional.

Yang jelas, dengan langkanya barang masyarakat tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Tidak semua orang bisa mendapatkan masker, alat-alat sanitasi, atau vitamin padahal ini sangat penting sebagai bentuk pencegahan virus. Pemenuhan pangan pun sulit karena naiknya harga atau tersedianya barang yang sedikit. Pada akhirnya, ini akan meningkatkan angka kemiskinan.

SOLUSI YANG BISA DILAKUKAN

Kelangkaan barang merupakan bencana yang susah diatasi sehingga perlu upaya-upaya preventif sehingga dibutuhkan perencanaan sosial. Pertama, diperlukan analisis terhadap masalah yang terjadi. 

Analisis yang bisa dicoba adalah analisis statika dimana akan dipetakan aktor dalam struktur sosial dan mencari tahu apa akar masalahnya dan juga analisis jalur dimana bisa melihat masalah dengan segala sebab, akibat, dampak, dan aspek-aspek lainnya sehingga masalah tampak secara keseluruhan.

 Perencanaan yang dilakukan dalam hal ini menggunakan aspek perencanaan sosial sebagai analisis kebijakan agar sebelum diambil kebijakan mengenai cara menanggulangi kelangkaan barang, bisa dianalisis aspek-aspek dampak sosial yang akan terjadi dengan harapan keputusan yang diambil tidak akan memperparah keadaan. Sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antar pemerintah dan masyarakat. 

Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat mengenai kelangkaan barang dan mengingatkan untuk tidak panik agar terhindar dari fenomena panic buying yang akan menimbulkan masalah-masalah baru. 

Pemerintah juga harus berupaya keras untuk mengadakan produk langka yang dibutuhkan oleh masyarakat. Beberapa cara di antaranya adalah dengan meningkatkan kerjasama dengan negara lain untuk mempermudah pendapatan bahan baku melalui ekspor dan impor. 

Selain itu, mengadakan subsidi agar masyarakat tidak terlalu terbebani dengan peningkatan harga yang terjadi atau menyiapkan sembako untuk diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Khususnya dalam kasus ini, bisa dilakukan pembagian masker kepada masyarakat yang tidak memakainya akibat kurangnya uang. 

Diperlukan juga penggulingan para penimbun barang. Ini bisa dengan cara menegakkan hukum dan mempromosikannya ke seluruh masyarakat agar semua mengetahui sanksi dari menimbun barang untuk dijual kembali. Lalu, pemerintah bisa memantau toko-toko online maupun offline yang menjual barang dengan harga di atas pasaran. 

Masyarakat bisa membantu dengan cara melaporkan toko yang disangka melakukan penimbunan melalui platform yang bisa dibuat oleh pemerintah. Selain itu, diperlukan bantuan pengontrolan harga oleh pemerintah atau disebut dengan harga plafon yaitu harga tertinggi yang ditetapkan untuk suatu barang atau jasa.

Peredaran informasi yang benar dan tidak saling tumpang tindih juga penting untuk menghindari masyarakat dari kebingungan dan kecemasan. Seperti yang telah dijelaskan, kebanyakan masyarakat mulai melakukan panic buying ketika melihat berita mencemaskan yang beredar. 

Namun, berita yang tersebar ini seringkali tidak benar sehingga hanya menimbulkan kepanikan dan merugikan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa berita yang benar dan bernada positif diperlukan agar masyarakat tidak panik dan menangani pandemi dengan tenang tetapi tetap serius.

KESIMPULAN

Kelangkaan barang sangat merugikan masyarakat terutama dalam sektor ekonomi. Daya beli masyarakat yang melemah, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat, hingga terjadinya resesi ekonomi tidak hanya merugikan individu-individu tetapi seluruh negara.

Pandemi memang membawa peran yang hebat terhadap kelangkaan barang akibat tidak siapnya dunia dalam menghadapi bencana ini dan respons panik masyarakat terhadap keadaan yang mencemaskan. 

Sayangnya, ketika kelangkaan barang sudah terjadi, untuk mengendalikan kembali cukup sulit. Namun, tetap ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah seperti pencarian bahan baku ke negara lain, penetapan harga plafon, razia penimbun, pengadaan subsidi, serta sosialisasi kepada masyarakat. 

Dari sini, tampak bahwa diperlukan kerjasama yang baik dengan masyarakat dimana masyarakat diharapkan lebih tenang, tidak melakukan panic buying, tidak menimbun barang terutama dengan maksud komersial, dan menyaring berita yang diterima serta tidak menyebar berita yang tidak benar. Diharapkan dari solusi yang diberikan, pelan-pelan ekonomi Indonesia, khususnya masyarakat, bisa stabil kembali dan angka kemiskinan terus berkurang.


DAFTAR PUSTAKA
Aeni, Nurul. (2021). Pandemi COVID-19: Dampak Kesehatan, Ekonomi, dan Sosial. Jurnal Litbang: Media Informasi Penelitian, Pengembangan dan IPTEK, 17(1), 17-34.

Aprilia, Cindy & Hidayat, Dasrun. (2020). Perilaku Panic Buying dan Berita Hoaks COVID-19 di Kota Bandung. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 10(2), 34-49.

Shadiqi, Muhammad dkk. (2021). Panic Buying pada Pandemi COVID-19: Telaah Literatur dari Perspektif Psikolog. Jurnal Psikologi Sosial, 19(2), 131-141.
Wahyu, Agung dkk. (2021). Perilaku Panic Buying Mengiringi Kemunculan COVID-19? Sebuah Studi pada Awal Pandemi di Indonesia. Humanitas, 5(1), 76-98.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun