Saat diumumkan kemunculan kasus COVID-19 pertama di Indonesia, banyak masyarakat yang melakukan panic buying. Panic buying atau kepanikan berbelanja adalah perilaku konsumen berupa pembelian produk dalam jumlah besar agar tidak mengalami kekurangan di masa depan (Shou, Xiong, & Shen, 2011).Â
Peristiwa ini juga bisa disebut sebagai perilaku penimbunan barang. Menurut Honigsbaum (2013), fenomena ini pertama kali muncul pada saat wabah juga yaitu wabah Flu Spanyol 1918. Selain pada saat wabah, di kala bencana alam maupun non-alam panic buying juga seringkali terjadi. Ini merupakan bentuk kecemasan seorang individu akibat adanya ancaman (Cheng, 2004).
Di Indonesia sendiri, pada awal pandemi sebagian besar masyarakat melakukan panic buying berupa kebutuhan pangan atau sembako, masker, hand sanitizer, dan vitamin. Kebanyakan panic buying berasal dari oknum-oknum yang gencar menyebarkan hoaks dalam media sosial mengenai pandemi yang membuat masyarakat panik.Â
Secara sadar maupun tidak sadar, dengan terus dibahasnya isu-isu COVID-19, terutama yang isi kontennya penuh kenegatifan, keadaan psikis masyarakat yang sering melihat atau membaca isu ini akan terguncang. Contoh rumor yang sering beredar di masa COVID-19 adalah berita pelaksanaan lockdown dan kenaikan harga.Â
Sebagai respons dari ketakutan, mereka akan melakukan panic buying sebagai upaya untuk melindungi diri dari ancaman. Biasanya, orang-orang melakukan panic buying karena satu dari dua alasan berikut: Pertama, karena takut esoknya harga barang akan naik dan kedua, karena takut esoknya stok barang akan habis.Â
Selain itu, ada juga yang melakukan panic buying karena mengikuti orang lain. Ketika ada orang lain melakukan panic buying, orang yang melihatnya sangat mungkin untuk ikut panik sehingga mengikuti perilaku ini.
DAMPAK YANG DIRASAKAN MASYARAKAT
Sektor kesehatan pun sangat terdampak karena kelangkaan, terutama pada awal pandemi. Contohnya, ada beberapa orang yang merasa sangat panik akan keselamatannya hingga membeli alat pelindung diri (APD) karena merasa ini akan efektif melindungi mereka ketika perlu keluar rumah. Tak jarang ada berita yang menunjukkan beberapa individu memakai APD ketika sedang berbelanja atau bepergian.Â
Alat yang aslinya dimaksudkan sebagai pelindung para tenaga kesehatan dalam menangani pasien-pasien COVID-19 agar tidak tertular akhirnya mengalami kelangkaan karena kurangnya produksi seperti yang telah dijelaskan di awal dan pembelian APD oleh pihak yang keperluannya terhadap barang ini tidak urgen.Â
Jelas bahwa tenaga kesehatan yang bekerja pada garda terdepan jauh lebih membutuhkan APD daripada masyarakat sipil yang hanya ingin pergi ke pasar. Pada awal pandemi terjadi kehebohan isu ini karena banyak tenaga kesehatan yang tidak kebagian APD sehingga terpaksa mencari alternatif. Bahkan, sampai beberapa tempat menggunakan jas hujan sebagai pelindung.Â
Tentunya ini berbahaya bagi para tenaga kesehatan karena kesehatan mereka pun jadi lebih terancam. Apabila para tenaga kesehatan jatuh sakit, siapa yang bisa merawat para pasien? Masalah kelangkaan ini memang membawa dampak yang cukup panjang. Ketika barang langka, muncul juga perilaku panic buying seperti yang telah dijelaskan serta terjadinya penimbunan. Kedua hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat.Â