Korupsi, satu kata yang seringkali terdengar bahkan setiap negara memiliki masalah yang serupa. Cukup memuakkan memang, mendengar kata korupsi disebut-sebut baik itu di media massa, internet, bahkan menjadi topik hangat dalam balutan berita internasional.
Di negara kita ini, korupsi sudah ada zaman kerajaan yang mana perebutan kekuasaan memunculkan sikap untuk menguasai sehingga memunculkan sifat tamak terhadap materi dan timbul niat untuk saling menjatuhkan. Tak ayal korupsi  disebut sebagai hal yang wajar, bahkan penjajah pun sudah menerapkan sebelum kemerdekaan, salah satunya yakni membayar upeti dan rakyat hanya mendapat sebagian dari haknya.
Dari sini sudah selayaknya sebagai penerus bangsa sadar bahwa otak korupsi harus secepatnya untuk di hilangkan, bahkan kalau perlu di cuci otaknya agar virus yang sedemikian pula tidak menyebar. Ini semua tentunya tak mudah karena para tikus berdasi berkeliaran bahkan menduduki jabatan dalam pemerintahan. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia kembali semakin tinggi angka tikus berdasinya, ini terbukti dengan seringkalinya muncul dari pihak pemerintah yang tersandung kasus korupsi.
Anehnya yang seringkali terseret adalah dari jajaran DPR,MA, bahkan ada yang dari bupati atau gubernur. Semua ini dari jajaran petinggi negara serta petinggi pemerintahan yang sudah disumpah untuk senantiasa untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa ini, nyatanya apa yang diharapkan tak sesuai dengan sumpah janjinya. Â Lantas kepada siapa harus menyalahkan jika sudah seperti ini?.
Jika disebutkan satu persatu korupsi yang menyerang ini sudah bagaikan virus, bahkan mencapai posisi stadium. Ini berarti  tahap yang melangkah sudah kritis dan perlu untuk pembenahan yang lebih lanjut. Masalah yang digerogoti oleh korupsi pun cukup bermacam-macam, dan dampaknya pun meluas bukan hanya kepada sosial. Ingatkah mengenai kasus korupsi E-KTP yang telah terjadi beberapa tahun kemarin?.
Kasus ini adalah kasus yang mana adanya ekonomi politik yang dikemas oleh keuangan kekuasaan, intinya yakni kekayaan atau materi dapat ditukar untuk mendapatkan kekuasaan. Pihak yang terkait yang turut untuk mencicipi bahkan saling bekerjasama yakni adalah perusahaan besar, didalamnya adanya persaingan untuk memenangkan tender berdasarkan kesepakatan sebelumnya, uang didalamnya pun seakan-akan diputar untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan dana yang seharunya untuk perekaman E-KTP malah sebaiknya digunakan untuk kepentingan kesenangan semata.
Tidak segan-segan pula pemalsuan data digunakan untuk memperlancar dan memperkaya diri sendiri. Akibat dari korupsi ini negara memiliki kerugian yang jika ditaksir mencapai triliun rupiah, dan ini juga berdampak pada terhambatnya pelayananan kepada masyarakat, karena tanpa adanya KTP bagaimana identitas dapat dikenal karena apapun dilakukan dengan adanya KTP.
Mulai dari jamkesmas, paspor, pajak, bahkan untuk memperoleh beasiswa pun butuh KTP. Masyarakat di desa utamanya yang lebih terhambat, karena tidak adanya kepastian dana dari pemerintah, ini membuat beberapa  masyarakat cukup susah untuk melamar pekerjaan, sebab identitas  guna memperjelas  masih belum bisa untuk didapatkan. Bahkan di desa saya sendiri ada warga yang pembuatan KTPnya sudah hampir 1 tahun.
Terhambatnya  pelayanan ini dikarenakan tidak adanya dana untuk bahan pembuatan, jadi jikalau dananya saja masih tidak ada lantas bagaimana proses kelanjutannya?. Namun ini tidak berselang lama, yakni KPK yang menanggani korupsi sudah menetapkan tersangka yang berjumlah 4 orang dan 3 lainnya yakni terdakwa.
Sampai pada tahap ini tentunya belum bisa bernafas lega, sebab dari pihak tersangka belum semuanya melunasi apa yang sudah dikeruk. Alhasil, Indonesia kembali untuk menutupi dana ini dengan cara mengutang, karena bagaimanapun juga pembuatan  E-KTP harus tetap berjalan walau tidak semua dana sudah dikembalikan. Cukup prihatin memang, mereka yang berbuat ulah lantas negara juga yang harus menjadi taruhan. Bagaimana tidak, memang benar para tersangka korupsi dijebloskan kedalam penjara, namun apakah  sudah sesuai dengan penjara yang ditempati oleh mereka?.
Hutang kepada negara masih belum sepenuhnya terlunasi, namun bagaimana bisa mereka mendapatkan pelayanan  yang luar biasa cukup memanjakan layaknya seorang raja.  Pantaskan bagi mereka yang sudah membuat negara semakin bobrok, bahkan harapan untuk menjadi negara maju pun semakin tergerus harapannya.
Ini berbeda dengan negara Cina yang mana cukup membuat efek jera kepada para koruptor, bahkan tak segan mengantarkannya langsung ke liang lahat. Di Cina bagi para koruptor maka hukumannya tak lagi penjara, namun adalah tembak mati,  dan tembak mati itu pun letaknya adalah di kepala. Mengapa kepala yang dijadikan sasaran hukuman mati? Ini karena di kepala ada otak yang mana awal  dari segala apa yang akan diperbuat. Â
Berbeda halnya dengan Indonesia yang memberikan hukuman mati hanya kepada orang yang memberontak, seperti halnya teroris. Ini salah satunya perlu sedikit dibenahi karena  hukuman yang setimpal juga perlu diterapkan agar para koruptor itu jera dan tak lagi mengambil hak orang lain, karena mengambil hak orang lain termasuk mendzolimi itu tidak dibenarkan dalam agama.
Dengan memberikan hukuman yang setimpal maka permasalahan yang melilit Indonesia lama kelamaan mulai menurun, karena jikalau masih banyaknya warga yang merasa haknya kurang, bagaimana bisa negara ini maju, begitupun kita sebagai warga yang harus senantiasa mendukung agar negara ini maju, caranya dengan saling membenahi diri masing-masing dan tidak meniru apa keburukan para petinggi negara yang korupsi, serta lebih meningkatkan iptek dan tak lupa mendalami agama guna membentengi dari pengaruh luar yang tidak baik, apa dayanya negara kita bisa maju jika bukan dari warganya sendiri yang membawa perubahan yang  lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H