Sayangnya gak semudah itu. Tanaman harus disiram, disiangi dari gulma dan siap-siap menangis ketika tiba-tiba melihat daun tanaman yang disayang-sayang, habis dimakan ulat atau dikrikiti belalang.
Belum lagi penyakit tanaman, yang entah apa namanya, membuat daun cabai menguning, atau penyakit lainnya yang membuat cabai tidak tumbuh sempurna, bentuknya jadi kuntet.
Namun, apa pun itu, ketika tanaman sayuran seperti pakchoi mempersembahkan daunnya, tomat dan cabai memberikan upeti berupa buah, serta bawang berupa umbi, maka rasanya bahagia banget. Mirip Dora dalam film kartun Dora The Explorer yang meloncat-loncat sambil berteriak: Berhasil...Berhasil!
2. Ekonomi Gak Boncos Lagi
Andai dikonversi menjadi rupiah, hasil panen urban farming sebetulnya gak signifikan dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan seperti pengadaan pot, media, air PAM dan lainnya.
Namun paling tidak kita gak jengkel lagi harus beli lengkuas atau jahe senilai Rp 5.000, padahal yang dibutuhkan hanya Rp 500. Urban farming juga memungkinkan kita menikmati hasil pertanian yang masih segar.
3. Lingkungan Hijau untuk Kesehatan
Mengapa pemerintah gemar banget bikin ruang terbuka hijau? Demikian pula dengan para pengembang perumahan, dengan memasukkan kawasan hijau mereka berhasil menaikkan harga jual propertinya.
Tentunya karena banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa lingkungan hijau berkontribusi menurunkan berbagai kasus penyakit seperti asma dan jantung.
3 Langkah Urban Farming