Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Demi Anak Bangsa, Perlukah Sejarah Ditulis Ulang?

27 Mei 2019   15:09 Diperbarui: 27 Mei 2019   15:30 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun sampai saat ini, selalu saja ada alternative-alternatif lain yang memaksa kita untuk selalu mempertanyakan sejarah versi Negara yang kita pelajari. Tentu saja ada berbagai pertimbagan beserta tafsir dalam penulisan sejarah bangsa ini. Pertama, bahwa istilah tiga setengah abad adalah sebuah hitungan kasar yang bisa saja menguntungkan pihak Belanda, ataupun bangsa Indonesia.

Dengan hitungan kasar ini, Belanda tentu saja memamer-mamerkan kehebatannya, bahwa bangsa yang kecil itu bisa menguasai seluruh wilayah Indonesia. Atau, kita sebagai bangsa Indonesia bisa menceritakan kepada anak cucu betapa heroiknya kita berjuang untuk merdeka setelah dijajah dalam waktu yang sangat lama (tiga setengah abad). Menuliskan bahwa tidak sampai selama itu bangsa ini dijajah, bisa mengurangi nilai pengorbanan yang telah dilakukan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan.

Kedua, proses penulisan sejarah selain sebagai kegiatan intelektual, juga adalah kegiatan politik. Negara wajib memperhitungkan hal-hal yang bisa memupuk ataupun merusak persatuan bangsa. Dengan memasukan beberapa fakta sejarah ke dalam pelajaran sejarah, sudah bisa dipertimbangkan akibat-akibat yang bisa menimpa persatuan bangsa.

Kasus paling tragis, tentu saja adalah peristiwa '65. Mengingat-ingat kembali kisah kelam, bisa dipastikan akan mengguncangkan rasa nasionalisme yang selama ini telah dibangun. Untuk itulah, dalam diskusi yang digelar Komunitas Salihara pada 19 Januari 2016 lalu, yang memberikan kesempatan kepada Goenawan Mohamad untuk membahas tentang nasionalisme, dia mengutip satu pendapat bahwa "untuk menjadi sebuah bangsa, diperlukan amnesia."

Ketiga, dengan memilih beberapa fakta sejarah untuk dimasukkan ke dalam pelajaran sejarah, Negara telah menjadikan dirinya sebagai polisi ruang dan waktu, yang berbuat seolah-olah tidak ada kebenaran lain selain kebenaran yang mereka suguhkan.

Di samping berbagai pertimbangan itu, kita tentu saja memiliki kewajiban untuk mengetahui dan mendalami sejarah kita sendiri, sama halnya dengan tugas seorang anak adalah mengingat jelas siapa ibu bapa dan moyangnya. Dan kita akhirnya bertanya, apakah dengan alasan tertentu, sejarah sebagai sebuah fakta dan pengetahuan bisa dipelintir, diputarbalikan, hingga kemudian yang kita pelajari hanyalah sebuah fiksi sejarah versi Negara? Mengapa kita tidak bisa menjadikan fakta sejarah juga menjadi ilmu pengetahuan? Saya yakin, untuk menjadi sebuah bangsa, kadang tidak perlu menjadi amnesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun