Aku menarik napas sekejap. Keringat dingin kini memenuhi keningku. Kesenyapan tidak terganggukan sedikitpun oleh pembicaraan kami. Senyap kini menjadi semacam penjaga yang setia menemani kami berdua. Dengan cepat kuangkat cangkir yang ada dihadapanku, melahapnya tanpa sempat menikmati, lalu meletakkannya lagi.
Ketika aku ingin melanjutkan pembicaranku, kudengar si Menteri berkepala porno itu telah dahulu bersuara. "Yang aku resapi, pengeluaran harus lebih sedikit dari penghasilan. Kuajarkan itu kepada anak-anakku, seolah itu adalah wahyu agung dari Tuhan. Kuupayakan sebisa mungkin untuk membuat mereka meresapi itu seperti yang pernah kuresapi, hingga pada akhirnya mereka bisa menjadi manusia-manusia pekerja yang ulet tiada bandingan. Aku sama sekali tidak bisa menolerir imajinasi dan fantasi, karena itu tidak berguna banyak dalam membangun rumah semewah ini. Berpuluh-puluh tahun kututup pintu hatiku dari maraknya hasil imajinasi dan fantasi yang tidak berguna itu, dan lihatlah hasilnya: sebuah rumah megah telah berdiri, tentu saja dengan uang yang banyak dan hitungan yang sangat akurat."
Bayangan tentang dongeng dan sajak para penyair yang mati muda pun semakin kental di batok kepala. Dan karena tidak ada bahan lain yang muncul selain itu, maka kuteruskan saja gumaman tidak jelasku ini. "Sebagian besar penyair kita telah mati dengan sangat mengenaskan. Sedikit sekali yang bernasib baik, namun sebagian besar mereka mati muda, tanpa sempat diingat jejak-jejaknya. Bagai pohon yang tumbuh di musim panas, negeri ini terlalu kekurangan air untuk harus menyiramnya. Buang-buang air! Tapi pak Menteri, mengenal mereka membuatku yakin sebagai manusia. Jikapun kemudian kita harus hidup dengan mengasingkan diri dari imajinasi, meleburkan diri dalam rutinitas yang pasti, kita lambat laun akan berubah jadi hewan yang tidak memiliki perasaan. Pak Menteri, perasaan sangat penting untuk seorang bocah."
Terdengar ketukan pada daun pintu. Selang beberapa saat, lampu yang sedari tadi dipadamkan kini dihidupkan kembali. Untuk sekedar menghilangkan kegugupan, aku mencoba berdiri untuk membukakan pintu. Tapi niat itu dengan sendirinya pudar oleh sorot mata si Menteri berkepala porno tersebut. Tatapannya itu seperti berbicara 'biarkan saja'. Dan terdengar langkah kaki si Ina, tergesa-gesa datang, lalu membukakan pintu. Dua orang anak, laki dan perempuan, masih dalam pakaian seragam sekolah, beranjak masuk dan langsung menghilang ke dalam rumah. Raut wajah mereka menggambarkan keletihan yang sangat. Setelah menutup pintu, si Ina kembali ke belakang. Tidak lama, sebagian besar lampu kembali dipadamkan.
"Mereka adalah anak-anakku. Harusnya mereka menyempatkan diri memperkenalkan diri pada tamu kita ini. Hahaha. Jangan berkecil hati, Gerson. Mereka mungkin kelelahan. Yang lelaki itu namanya Tono. Dia saya masukan di sekolah pilot. Kamu tahu kan, orang-orang kita dari dulu sampai sekarang banyak yang meninggal, atau hilang tidak jelas? Makanya aku menginginkan anak sulungku itu menjadi penyelamat dunia. Pelajaran-pelajaran ilmu pasti akan membuatnya cepat menjadi seperti yang aku inginkan. Tapi aku dengar dia sering berkelahi dengan teman-temannya. Beberapa laporan dari guru-gurunya, bahwa dia tidak terlalu menghargai mereka. Aku tidak terlalu mempersoalkan hal itu, toh dia masih muda. Iya kan?" Sejenak dia terdiam. Ungkapan hati tentang anaknya terasa begitu dingin, berat, dan seolah dipaksakan.
Setelah ungkapan hati terdalamnya terhadap anak sulungnya itu, dia diamkan diri beberapa saat. Kesunyian kembali menerpa kami bagai langit malam menaungi tanah. Dalam kesunyian itu, aku membayangkan bahwa kelak akupun pasti memiliki anak. Dua orang, laki dan perempuan, seperti si Menteri inipun cukuplah. Bahagia sekali membayangkan mereka akan dibesarkan, disekolahkan, lalu mendapatkan pekerjaan yang cocok. Namun membayangkan wajah anak-anakku menjalani hidup dalam keseriusan, hanya karena mereka harus melaksanakan hukum Tuhan, aku akhirnya tak rela. Lamunan itu perlahan-lahan menjadi mimpi buruk yang mesti kusingkirkan. Kebisuan antara kami berdua yang terjadi cukup lama ini membuatku semakin tak nyaman.
Anak-anaknya mungkin saja sudah menyelesaikan makan malam dan sudah lelap di kasur empuk pada kamar pribadi mereka masing-masing. Rasa lapar secara tiba-tiba kembali menyerangku. Begitu susahnya menahan rasa lapar itu, sampai-sampai beranjak untuk ke kamar kecil saja hatiku enggan. Si Ina tidak lagi terdengar suaranya.
Si Menteri berkepala porno itu kembali melahap kopinya. Bunyi seruputannya membuatku semakin jengkel. Setelah meletakkan cangkir, dia melanjutkan, "Yang bungsu itu namanya Tini. Saya masukkan dia di sekolah kejuruan bergengsi di kota ini. Dia harus belajar ilmu-ilmu penjualan-penawaran, karena tanpa itu dia akan menghabiskan sisa hidupnya tanpa arah yang jelas. Dia tidak boleh sama dengan ibunya, yang pergi ke mana saja sesuka hatinya. Tanpa tujuan yang jelas. Dan itu membuahkan kesepian yang dalam dalam diriku. Untunglah aku memiliki si Ina, yang siap membasuh kesepianku ini." Dia tersenyum kepadaku. Semuanya kini tampak sangat biasa. Seolah segala yang terjadi itu hanyalah satu dari sekian skenario yang telah disusunnya. Lanjutnya, "Anak-anakku harus mempelajari hal-hal pasti, yang bisa membuat mereka menemukan kemujuran di hari-hari ke depannya. Humaniora dan syair akan membuat mereka bingung dan suka menghayal!"
Lapar kembali dengan sangat ganas meninju perutku. Cangkir dihadapanku telah habis kuteguk, seperti tanpa kusadari. Tapi itu lebih baik. Biar aku lebih cepat meninggalkan rumah indah ini. Kepalaku pening, diisi hal-hal mengerikan yang baru saja kudengar.
"Sudah larut. Kamu harus pulang," katanya.
Ketika membukakan pintu gerbang emasnya untuk kemudian membiarkan langkahku menjauh, dia menatapku kecut sambil berujar, "Aku heran. Dalam perjumpaan kita yang membuang waktu begitu banyak ini, kamu tidak sekalipun mengeluarkan kata-kata. Tapi inilah rumahku. Sering-sering mampirlah kemari."