Meski pada kenyataannya, belum secara utuh hal itu bertunas, masih berwujud pucuk-pucuk daun yang baru saja muncul namun telah di pangkas sebelum menghasilkan buah atau bahkan sebelum rindang. Sejak 1947 Â dunia pendidikan negeri ini memikirkan dan hingga menerapkan kurikulum-kurikulum dengan tujuan yang beragam, yang hingga saat ini belum satupun diantaranya mengalami klimaks sesuai harapan.Â
Setiap lima tahun sekali kurikulum diubah, banyak pertimbangan dan proses yang panjang dan sampai pada keputusan untuk "sekedar" menamai kurikulum tersebut. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan lagi secara kritis bahwa sejatinya bangsa ini membutuhkan suatu pendidikan yang bukan sekedar mengikuti zaman tetapi lebih kepada perwujudan sebuah pendidikan yang benar holistik, atau bahkan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai ciri khas, peradaban bangsa. Artinya bahwa sistem pendidikan sebaiknya absolut, tetapi revolusioner diperlukan tanpa menjadikan pendidikan serasa berubah dari segi pecapaian dan tujuan. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa sebaiknya sebuah sistem yang baru menguncup tidak segera di pangkas sebelum rindang atau berbuah.Â
Pendidikan nasional memang telah berada pada alurnya yakni selalu berupaya menjadi wadah yang memerdekakan berdasarkan pada semboyan dan slogannya, meski pada eksistensi perwujudan pendidikan layaknya hanya sebuah tuntutan dari orangtua dan masyarakat, sekolah adalah sebuah gedung dengan segala aturan dan sistem didalamnya. Pendidikan dianggap sebagai salah satu tahap dari rotasi hidup manusia Indonesia dengan ciri khasnya yakni; lahir, bermain, sekolah, bekerja, menikah, pensiun, tua, dan lalu mati.Â
Pendidikan pada masa kini dipandang hanya sebagai batu loncatan dalam bentuk ijazah untuk mencapai pintu dunia kerja, pendidikan tidak menjadi dasar atau pedoman ketika masuk ke dalam dunia kerja yang sebenarnya. Sebagai negara dengan populasi penduduk terbanyak urutan ke-4 tentu menjadi sangat miris bila data menyatakan bahwa hanya 6% dari275,35 juta penduduk Indonesia yang berpendidikan artinya bahwa saat ini pendidikan nasional hanya mampu menghasilkan 16,521 juta penduduk yang berpendidikan.Â
Bila dipertanyakan mengapa hal ini terjadi, maka akan begitu banyak alasan yang menjadi sebab akibat dari fenomena ini, dari berbagai sudut pandangan dan perspektif bermunculan lalu akhirnya berhenti pada pertanyaan "roh" dari pendidikan nasional ini akan membawa kita kemana dan kepada apa? Ini menjadi pertanyaan retorik, tanpa jawaban.Â
Jawabannya ditemukan dalam perenungan bagi setiap insan yang mengaku Indonesia dan ingin mewujudkan cita dan cinta pancasila di negeri ini. Ini adalah pertanyaan untuk generasi masa kini. Roh dari pendidikan nasional terletak pada nurani dan batin anak-anak negeri. Jangan sampai Taman Siswa hilang dari konsep sekolah pada masa kini dan malah yang di kenal ialah sekolah yang seolah adalah rumah bagi guru, dan peserta didik adalah tamu yang harus sopan, hormat kepada tuan rumah, menaati peraturan-pertaturan (yang tidak diketahui faedahnya), tunduk terhadap sistem. Atau sebaliknya jangan sampai pendidikan terlalu menyanjung-nyanjung konsep keberpihakan kepada siswa lalu menjadikan siswa sebagai raja dimana guru sebagai hamba bagi birokrasi yang sekedar sebagai alat untuk memenuhi  efisiensi dan efektivitas pendidikan, dan dilain pihak guru dituntut untuk menjadi Tuhan yang mampu memberikan apa yang dibutuhkan siswa untuk dipelajari serta "tak boleh salah". Jangan sampai dunia pendidikan kembali berputar pada masa dimana terdapat istilah "guru benar dipuji, guru salah di caci".Â
Secara global tujuan pendidikan diyakini sebagai kegiatan atau usaha memanusiakan manusia, yang berarti setiap komponen yang ada dalam pendidikan harus diberlakukan secara manusiawi terutama dalam hal yang di didik maupun yang mendidik. Keseimbangan harus tercipta melalui sistem yang benar-benar mewujudkan keadilan bagi siapa saja yang ada dan bergerak serta berkecimpung dalam dunia pendidikan.Â
Pada akhirnya, dengan sendirinya tumbuh dan berkembanglah pendidikan yang memerdekakan itu sebagai sesuatu yang telah di wariskan dari generasi ke generasi. Pendidikan nasional sejatinya telah memiliki cerminan falsafah yang tidak buram atau retak, sebab ideologi bangsa sudah terlalu kaya untuk dijadikan pilar penghayatan pendidikan yang sesungguhnya sebagai ciri khas nusantara.Â
Bila pendidikan adalah tonggak dasar agar tetap kokoh berdirinya sebuah bangsa, maka kajian-kajian tentang merdeka belajar dan profil pelajar pancasila semestinya telah di kumandangkan oleh segenap semesta Indonesia sebagai tolok ukur menuju peradaban baru yakni negeri yang bebas dari ketidaktahuan.Â
Kekurangan dan kelalaian sebaiknya tersingkir dari sejumlah alasan bagi sebuah pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan yang mencari celah letak kesalahan adalah tindakan yang sia-sia, sebab sesungguhnya gotong royong, saling membantu, membenahi merupakan karakter bangsa yang sebaiknya dijaga akar-akarnya agar tetap kuat menghadapi guncangan peradaban  budaya luar. Pada akhirnya pendidikan yang memerdekakan tentu harus berangkat dari konsepsi global sebab demikianlah negeri ini telah bersumpah pada dunia untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa demi ketertiban dunia agar tercapailah kesejahteraan umum.Â
Berangkat dari hal tersebut, besar harapan masyarakat Indonesia dan dunia yang merindukan pendidikan nasional yang berkiblat pada tujuannya yang tidak saja memberikan ilmu tetapi menciptakan peserta didik yang mau belajar untuk mengetahui banyak hal, melakukan sesuatu dari banyak hal itu, apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan hidup bersama, serta berusaha menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan dunia.Â