pendidikan yang pada masa lampau dianggap sebagai kebutuhan tersier tetapi kini disadari layaknya kunci utama untuk menjadi manusia yang ada, nyata, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan bahkan untuk peradaban dunia. Pendidikan kini berada pada level sebagai kebutuhan primer bagi kemajuan suatu bangsa dalam segala sektor yang mendukung keberadaannya.
"Bila kau tidak lahir sebagai bangsawan atau hartawan, asahlah pedangmu agar kau menjadi salah satu dari keduanya" kalimat tersebut adalah sebuah nasihat yang pernah eksis pada masa-masa perang dunia pertama dimana keadaan saat itu mendefenisikan kehidupan manusia dalam kalimat berjuang hidup dan atau bertahan hidup, membunuh atau dibunuh. Pada masa kini, kalimat ini masih berlaku hanya saja berkamuflase menjadi  "Bila kau terlahir tidak sebagai pewaris, ambillah pena dan buku agar kau menjadi perintis". Ya, demikianlah hidup dan zaman bergejolak merubah segala sesuatu sesuai dengan waktu sehingga pemikiran, prinsip dan gaya hidup manusia akan terus bergerak menuju perubahan-perubahan itu. Segala sesuatu dibawah kolong langit diatas bumi ini tidak ada yang kekal, semuanya berubah pada waktunya, dan hanya perubahan itulah yang  abadi. Dari kutipan kalimat dalam tanda kutip di atas sebagai petuah dengan jelas menerangkan bahwa masa kini adalah zaman dimana
Ketika kita menelaah sejarah pendidikan nasional, membayangkan, memikirkannya, maka terciptalah sebuah keyakinan bahwa sejatinya pendidikan di negeri ini selayaknya menjadi sesuatu yang benar-benar memerdekakan. Perlu diakui bahwa perjalanan pendidikan nasional telah mengarungi segala zaman yang menjadikannya kokoh sebagai patokan menuju tak terbatas dan melampaui nya. Semakin jauh menelaah maka kita ketahui bahwasannya dari masa ke masa pendidikan nasional seolah dipaksa untuk mengkonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak cocok untuk kesehatan bagi tubuh dan jiwanya.Â
Layaknya tubuh manusia  yang di cekoki makanan yang tidak sesuai selera, tidak sesuai dengan kebutuhan, atau bahkan kelebihan dosis maka yang terjadi adalah muncul sakit penyakit yang menyebar ke seluruh organ tubuh dan tanda-tanda yang muncul ialah seperti kurangnya daya tahan tubuh, mudah lelah, dan akhirnya reaksi tubuh pun mengeluarkan zat-zat yang tidak bermanfaat melalui muntaber dan lain sebagainya.Â
Hal ini terjadi dalam pendidikan nasional pada masa lampau yang dipaksa menggunakan sistem barat, mengadopsi konsep-konsep Eropa yang sebenarnya tidak cocok di terapkan pada pendidikan di Nusantara. Kenyataannya terlihat pada output yang dihasilkan oleh pendidikan berupa peserta didik yang memang dengan karakter eropa atau secara gamblang dapat dikatakan output dari kolonialisme. Meski tidak dapat disangkal bahwa banyak juga output yang dihasilkan berupa insan-insan nasionalis yang pada akhirnya menjadi "founding father" bagi Indonesia.Â
Misalnya Sang Proklamator dengan rekam jejak pendidikannya dikenyam di bangku sekolah-sekolah Eropa seperti ELS (Europeesche Lagere School), lalu Hoogere Burger School (HBS), dan pada akhirnya Technise Hoogeschool te Bandoeng, atau yang sekarang dikenal dengan ITB. Hal ini perlu di apresiasi meski bila di telusuri lebih dalam dan masuk pada tujuan sekolah-sekolah tersebut bertitik berat pada "menciptakan manusia Indonesia yang berpendidikan sebagai tenaga kerja murah untuk hegemoni penjajah dan untuk menyebarluaskan kebudayaan Barat".Â
Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya yakni memerdekakan secara lahir dan batin. Masa silam telah berlalu, dan kini melalui seorang "pribumi" dengan gelar Raden Mas atau lengkapnya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang menjelma Ki Hadjar Dewantara akhirnya pendidikan Indonesia yang sebenar-benarnya menetas setelah sekian di erami dalam diam dan ketakutan.Â
Ya, Ki Hadjar Dewantara (KHD) menjadi perintis pendidikan negeri ini dalam pemikiran-pemikirannya yang nasionalis (meskipun, ia juga adalah hasil didikan Eropa (ELS)) memulai segala sesuatu dengan berakar pada sistem dan metode atau konsep-konsep budaya Indonesia. Pendidikan yang pada mulanya jauh dari kebudayaan Indonesia namun semenjak KHD aktif dalam dunia pendidikan, sistem baru ditumbuhkan dan berhasil diwarnai sebagaimana dalam mimpi-mimpi masyarakat Indonesia pada umumnya.Â
Pertumbuhan pendidikan dimulai, lembaran baru dibuka, sejarah pendidikan Indonesia kini dilukis oleh tangan anak bangsa, Taman Siswa menjadi saksi, "Tut Wuri Handayani" berkisah, berkicau hingga saat ini sebagai semboyan Kementerian Pendidikan. Meski dalam usia yang seumur jagung itu pendidikan yang baru saja "pecah telur" kini sulit mengepakan sayapnya. Banyak kalangan terutama pemerintah Benda yang menganggap pendidikan berfilosofi Indonesiasentris itu hanya sebagai bentuk perlawanan pribumi, Taman Siswa bahkan di cap sebagai sekolah liar.
Bercermin dari perjalanan pendidikan nasional yang telah merasakan asam, pahit, dan asinnya mengarungi zaman, demikianlah pendidikan nasional tanpa gentar terus dibenahi. Segala upaya dilakukan agar irama pendidikan sesuai dan selaras dengan jiwa nusantara meski pada beberapa pandangan berupa kritikan dari dalam juga sesekali bergojalak misalnya dengan mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran KHD sebenarnya hanya berkisar pada budaya-budaya Jawa sehingga pendidikan nasional itu sebenarnya pendidikan yang Jawasentris, namun pendapat tersebut membutuhkan berjilid-jilid argumen untuk di perdebatkan.Â
Bagaimana tidak, sedangkan pendidikan yang dimaksud oleh KHD secara menyeluruh selalu berlandas pada pancasila bersamaan dengan nilai-nilai luhur nasionalisme. Pada kenyataannya, hingga saat ini pendidikan yang merupakan cerminan Bangsa Indonesia tentu akan selalu berada dibawah bayang-bayang pemikiran KHD. Pemikiran-pemikiran yang mendalam itu selalu tentang pendidikan yang pancasilais, memerdekakan, berakar kuat pada kebudayaan nasional, itulah pendidikan nasional yang seharusnya bertumbuh dengan subur hingga saat ini.Â
Meski pada kenyataannya, belum secara utuh hal itu bertunas, masih berwujud pucuk-pucuk daun yang baru saja muncul namun telah di pangkas sebelum menghasilkan buah atau bahkan sebelum rindang. Sejak 1947 Â dunia pendidikan negeri ini memikirkan dan hingga menerapkan kurikulum-kurikulum dengan tujuan yang beragam, yang hingga saat ini belum satupun diantaranya mengalami klimaks sesuai harapan.Â
Setiap lima tahun sekali kurikulum diubah, banyak pertimbangan dan proses yang panjang dan sampai pada keputusan untuk "sekedar" menamai kurikulum tersebut. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan lagi secara kritis bahwa sejatinya bangsa ini membutuhkan suatu pendidikan yang bukan sekedar mengikuti zaman tetapi lebih kepada perwujudan sebuah pendidikan yang benar holistik, atau bahkan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai ciri khas, peradaban bangsa. Artinya bahwa sistem pendidikan sebaiknya absolut, tetapi revolusioner diperlukan tanpa menjadikan pendidikan serasa berubah dari segi pecapaian dan tujuan. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa sebaiknya sebuah sistem yang baru menguncup tidak segera di pangkas sebelum rindang atau berbuah.Â
Pendidikan nasional memang telah berada pada alurnya yakni selalu berupaya menjadi wadah yang memerdekakan berdasarkan pada semboyan dan slogannya, meski pada eksistensi perwujudan pendidikan layaknya hanya sebuah tuntutan dari orangtua dan masyarakat, sekolah adalah sebuah gedung dengan segala aturan dan sistem didalamnya. Pendidikan dianggap sebagai salah satu tahap dari rotasi hidup manusia Indonesia dengan ciri khasnya yakni; lahir, bermain, sekolah, bekerja, menikah, pensiun, tua, dan lalu mati.Â
Pendidikan pada masa kini dipandang hanya sebagai batu loncatan dalam bentuk ijazah untuk mencapai pintu dunia kerja, pendidikan tidak menjadi dasar atau pedoman ketika masuk ke dalam dunia kerja yang sebenarnya. Sebagai negara dengan populasi penduduk terbanyak urutan ke-4 tentu menjadi sangat miris bila data menyatakan bahwa hanya 6% dari275,35 juta penduduk Indonesia yang berpendidikan artinya bahwa saat ini pendidikan nasional hanya mampu menghasilkan 16,521 juta penduduk yang berpendidikan.Â
Bila dipertanyakan mengapa hal ini terjadi, maka akan begitu banyak alasan yang menjadi sebab akibat dari fenomena ini, dari berbagai sudut pandangan dan perspektif bermunculan lalu akhirnya berhenti pada pertanyaan "roh" dari pendidikan nasional ini akan membawa kita kemana dan kepada apa? Ini menjadi pertanyaan retorik, tanpa jawaban.Â
Jawabannya ditemukan dalam perenungan bagi setiap insan yang mengaku Indonesia dan ingin mewujudkan cita dan cinta pancasila di negeri ini. Ini adalah pertanyaan untuk generasi masa kini. Roh dari pendidikan nasional terletak pada nurani dan batin anak-anak negeri. Jangan sampai Taman Siswa hilang dari konsep sekolah pada masa kini dan malah yang di kenal ialah sekolah yang seolah adalah rumah bagi guru, dan peserta didik adalah tamu yang harus sopan, hormat kepada tuan rumah, menaati peraturan-pertaturan (yang tidak diketahui faedahnya), tunduk terhadap sistem. Atau sebaliknya jangan sampai pendidikan terlalu menyanjung-nyanjung konsep keberpihakan kepada siswa lalu menjadikan siswa sebagai raja dimana guru sebagai hamba bagi birokrasi yang sekedar sebagai alat untuk memenuhi  efisiensi dan efektivitas pendidikan, dan dilain pihak guru dituntut untuk menjadi Tuhan yang mampu memberikan apa yang dibutuhkan siswa untuk dipelajari serta "tak boleh salah". Jangan sampai dunia pendidikan kembali berputar pada masa dimana terdapat istilah "guru benar dipuji, guru salah di caci".Â
Secara global tujuan pendidikan diyakini sebagai kegiatan atau usaha memanusiakan manusia, yang berarti setiap komponen yang ada dalam pendidikan harus diberlakukan secara manusiawi terutama dalam hal yang di didik maupun yang mendidik. Keseimbangan harus tercipta melalui sistem yang benar-benar mewujudkan keadilan bagi siapa saja yang ada dan bergerak serta berkecimpung dalam dunia pendidikan.Â
Pada akhirnya, dengan sendirinya tumbuh dan berkembanglah pendidikan yang memerdekakan itu sebagai sesuatu yang telah di wariskan dari generasi ke generasi. Pendidikan nasional sejatinya telah memiliki cerminan falsafah yang tidak buram atau retak, sebab ideologi bangsa sudah terlalu kaya untuk dijadikan pilar penghayatan pendidikan yang sesungguhnya sebagai ciri khas nusantara.Â
Bila pendidikan adalah tonggak dasar agar tetap kokoh berdirinya sebuah bangsa, maka kajian-kajian tentang merdeka belajar dan profil pelajar pancasila semestinya telah di kumandangkan oleh segenap semesta Indonesia sebagai tolok ukur menuju peradaban baru yakni negeri yang bebas dari ketidaktahuan.Â
Kekurangan dan kelalaian sebaiknya tersingkir dari sejumlah alasan bagi sebuah pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan yang mencari celah letak kesalahan adalah tindakan yang sia-sia, sebab sesungguhnya gotong royong, saling membantu, membenahi merupakan karakter bangsa yang sebaiknya dijaga akar-akarnya agar tetap kuat menghadapi guncangan peradaban  budaya luar. Pada akhirnya pendidikan yang memerdekakan tentu harus berangkat dari konsepsi global sebab demikianlah negeri ini telah bersumpah pada dunia untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa demi ketertiban dunia agar tercapailah kesejahteraan umum.Â
Berangkat dari hal tersebut, besar harapan masyarakat Indonesia dan dunia yang merindukan pendidikan nasional yang berkiblat pada tujuannya yang tidak saja memberikan ilmu tetapi menciptakan peserta didik yang mau belajar untuk mengetahui banyak hal, melakukan sesuatu dari banyak hal itu, apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan hidup bersama, serta berusaha menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan dunia.Â
Pemikiran-pemikiran ini tentu harus diselaraskan dengan prinsip yang nasionalis, berangkat dari karakter serta cita-cita bangsa ini yakni Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, Berkebinekaan Tunggal, Bergotong Royong, Kreatif, Bernalar kritis, dan Mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H