Uang Logam Keuh
Koin Keuh berasal dari Kerajaan Aceh. Koin keuh ini dibuat dengan bahan dasar timah. John Davis, yang merupakan kapten kapal Belanda, dipimpin oleh Cornelis de Houtman datang ke kerajaan Aceh saat yang saat itu dipimpin oleh Sulthan Alaudin Riayatsyalal-Mukammil, di mana ia menjabat pada tahun 1568-1604 dan menyatakan bahwa ada dua jenis mata uang utama yang beredar di Kerajaan Aceh pada masa itu, yakni mata uang yang terbuat dari emas dan berbentuk seperti uang receh. Di Inggris, beberapa mata uang yang terbuat dari timah saat itu disebut "cashes". Nemun, dengan perbedaan budaya yang ada, masyarakat Aceh pada waktu itu menyebutnya Keuh.
Uang Logam di Sulawesi
Di wilayah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Butan. Di Kerajaan Gowa pernah beredar mata uang yang terbuat dari emas yang disebut dengan "jinggara" yang salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, Raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Selain itu beredar juga uang yang terbuat dari campuran emas, timah dan tembaga, disebut dengan kupa.
Uniknya lagi, Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara mengedarkan sejenis uang berbahan dasar kapas yang disebut kampua atau bida. Konon uang kapas ini dibuat atau ditenun oleh para putri istana di bawah pengawasan Ketua Menteri. Setiap tahun polanya dibuat berbeda untuk mencegah pemalsuan. Siapapun yang berani meniru atau memalsukan uang Kampua terancam hukuman mati. Uang ini sendiri beredar di Sulawesi Selatan dan Maluku hingga akhir abad ke-19.
Pada dasarnya, masih cukup banyak uang logam dan juga mata uang yang digunakan di Zaman Kerjaan Islam. Namun, dari sejarah-sejarah mata uang ini, kita dapat mendapatkan ilmu baru perihal adanya perkembangan dari satu budaya ke budaya lain. Di mana apabila melihat dari banyaknya perbedaan mata uang sesuai dengan zamannya, menunjukkan bahwa perkembangan, ciri khas, dan perbedaan budaya sangatlah menarik untuk dipelajari.
Di Museum Sri Baduga sendiri, mereka memajang koin-koin kuno peninggalan Kerajaan Islam yang dapat pengunjung perhatikan setiap sisinya dan membaca sejarah serta jenis-jenisnya. Hal ini sangat apik sekali untuk melestarikan, menjaga, dan mengenalkan budaya serta sejarah dari leluhur-leluhur kita.
Referensi:
Trigangga, dkk. (2023). Mata Uang sebagai Sumber Sejarah Indonesia. Museum Nasional, 14-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H