Apasih yang ada dipikiran kalian saat mendengar kata blangkon dan anak muda? Di era yang semakin modern ini, anak muda cenderung kurang tertarik dengan hal-hal yang berbau tradisional. Namun, apakah benar generasi muda benar-benar mengabaikan warisan budaya?
Pada artikel ini, menampilkan hasil sebuah percakapan dengan seorang pengrajin juga pendiri Kampung Blangkon Kota Solo, Pak Agung yang memberikan pandangan lebih mendalam mengenai salah satu warisan kota Solo.
Permintaan dari Anak Muda dan Penggunaan Tradisi
Ketika ditanya apakah masih banyak anak muda yang tertarik dengan blangkon, Pak Agung, sang pengrajin menjelaskan bahwa pesanan dari kaum muda masih ada, meskipun tidak sebanding dengan kalangan lainnya. Biasanya, blangkon digunakan untuk acara-acara tertentu seperti upacara adat, pernikahan, dan kegiatan komunitas. Pesanan juga datang dari berbagai instansi, seperti guru-guru di Karanganyar yang meminta blangkon jenis "seliwir" dan pesanan khusus dari Kalimantan untuk acara tertentu, meski dengan harga fantastis hingga Rp400 ribu per buah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ada sebagian anak muda yang masih menghargai dan melestarikan warisan budaya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa modernisasi telah mempengaruhi cara pandang generasi muda terhadap budaya tradisional. Banyak anak muda yang lebih tertarik pada hal-hal yang dianggap lebih kekinian dan relevan dengan gaya hidup mereka.
Musim Penjualan dan Peran Komunitas
Penjualan blangkon di Solo cenderung meningkat pada musim-musim tertentu seperti hari besar, Hari Kartini, dan 17 Agustus. Ditambah lagi, komunitas di Solo dan seluruh Indonesia kerap memesan blangkon untuk berbagai acara. Era media sosial juga membantu memperluas jangkauan pemasaran, sehingga pesanan bisa datang dari berbagai penjuru. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa, meskipun menghadapi saat ini kita menghadapi era modernisasi, masih ada minat yang cukup besar terhadap warisan budaya ini.
Variasi Blangkon dan Tingkat Kesulitan
Solo dikenal dengan berbagai jenis blangkon yang mencerminkan budaya turun-temurun. Blangkon bukan sekadar aksesori, tetapi juga simbol identitas dan penghormatan terhadap tradisi. Setiap daerah di Solo memiliki blangkon dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Blangkon juga memiliki tingkatan simbolis yang berbeda, mulai dari cinderamata, penjualan kaki lima, rias pengantin, hingga digunakan oleh dalang dan pejabat tinggi. Hal ini menandakan bahwa blangkon memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Solo, baik dalam konteks sehari-hari maupun dalam upacara dan ritual yang lebih formal.
Resiko Modifikasi dan Simbolis Budaya
”Mungkin aku ingin bentuk sekian, jadi sebagai pengrajin tetep melayani konsumen, bentuk apapun sesuai dengan konsumen kita harus melayani dengan keadaan apakah itu bisa dan apakah itu tidak bisa,” ujar pak Agung. Dengan adanya terlalu banyak modifikasi dapat mengakibatkan menghilangnya nilai simbolis. Namun, mereka tetap berusaha memenuhi permintaan konsumen tanpa menghilangkan esensi budaya Solo. Meskipun ada permintaan untuk bentuk-bentuk tertentu, pengrajin tetap berpegang pada pakem tradisional untuk menjaga keaslian budaya.
Proses Pembuatan dan Pengiriman
”Untuk kelas menengah, bisa memakan waktu sekitar satu jam, sedangkan untuk kelas atas, seperti untuk dalang dan pejabat, bisa memakan waktu hingga dua jam,” Pak Agung menjelaskan bahwa proses pembuatan blangkon bervariasi tergantung pada kelasnya. Pengiriman blangkon tidak hanya terbatas di Solo, tetapi juga telah mencapai Bali, Jember, Surabaya, Malang, dan berbagai kota besar lainnya di Indonesia. Sekitar 40% blangkon di 34 provinsi di Indonesia berasal dari Solo, menunjukkan masih tingginya permintaan akan produk tradisional ini.
Kesimpulan
Anak muda memang menghadapi arus modernisasi yang kuat, namun bukan berarti mereka sepenuhnya meninggalkan budaya tradisional. Pengrajin blangkon di Solo menunjukkan bahwa masih ada permintaan dan minat dari berbagai kalangan, termasuk anak muda. Sebagai penerus budaya, penting bagi generasi muda untuk terus menjaga dan melestarikan warisan ini di tengah perkembangan zaman.
Penulis: Amazia Rachel Nugroho. Program Studi Film dan Televisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H