Mohon tunggu...
Amazia W Yudha
Amazia W Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - 24, Female, Yogyakarta

Junior Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mempertanyakan Isu Krusial dalam RUU Pemilu

6 Maret 2018   22:41 Diperbarui: 7 Maret 2018   08:13 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rancangan Undang-Undang Pemilu sudah disahkan oleh DPR. Berbagai macam isu krusial muncul agar dijadikan pijakan pada Pemilu 2019 mendatang.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu setelah melewati sidang paripurna yang panjang dan diwarnai aksi walkout yang berlangsung hingga Jumat (21/07) dini hari. 

Pengesahan ini termasuk penetapan keputusan atas lima isu krusial dalam RUU Pemilu yang belum mencapai kesepakatan dalam pembahasan tingkat Pansus. Lima isu tersebut yaitu sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, metode konversi suara dan alokasi kursi per dapil.

Seperti yang diberitakan Kompas.com, Rapat Paripurna DPR tersebut mengesahkan secara aklamasi untuk memilih opsi A. Opsi A terdiri dari sistem ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold), sebesar 20% dari kursi DPR, atau 25% suara sah nasional. Hal itu berarti partai politik dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden jika menduduki minimal 20% kursi DPR. Keputusan ini diambil setelah empat fraksi yang memilih RUU Pemilu opsi B dengan ambang batas 0% melakukan aksi walkout.

RUU Pemilu yang disahkan ini akan dijadikan landasan untuk Pemilu serentak 2019. RUU Pemilu menggabungkan 3 undang-undang (UU), yaitu UU tentang Pemilu Legislatif, UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan UU tentang Penyelenggara Pemilu. (UU tentang Pilkada tidak termasuk). Ketiga UU tersebut digabungkan karena penyelenggaraan Pemilu 2019 yang akan digelar serentak pada satu hari. Satu hari tersebut pemilih akan memilih calon anggota legislatif serta calon presiden dan wakil presiden.

Melalui RUU tersebut akan ada lima surat suara yang harus dicoblos pemilih, yaitu (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) Calon Anggota DPR, (3) Calon Anggota DPD, (4) Calon Anggota DPD Provinsi dan (5) Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Sebagai s

Perdebatan di RUU Pemilu

Seperti yang diberitakan Detik.com, selain ambang batas pemilihan presiden ada tiga perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu, yaitu diantaranya :

1.Parliamentary Threshold (PT)

Berkaitan dengan jumlah suara yang harus dipenuhi Partai Politik (Parpol) di Pemilu Legislatif (Pileg) agar bisa masuk ke parlemen. Ketentuan di RUU Pemilu, Partai Politik harus mendapatkan minimal 3,5% suara dari total suara secara nasional dalam Pileg untuk masuk DPR. Jumlah suara sah pada Pemilu Legislatif 2014 sebanyak 124.972.491 suara, yang dikumpulkan 12 partai politik. Tapi hanya ada 10 partai yang memenuhi minimal 3,5% persen suara yang lalu masuk ke DPR, sisanya gagal menduduki parlemen.

Maka perdebatan yang terjadi di RUU Pemilu, Partai Politik 'besar' ingin syaratnya tetap 3,5% atau dinaikkan menjadi 5% agar jumlah Parpol di parlemen sedikit. Tetapi partai 'kecil' dan baru meminta agar syarat dimudahkan menjadi 0% agar Parpol kecil tetap bisa masuk parlemen.

2.Presidential Threshold (PT)

Berkaitan dengan batas minimal perolehan suara Parpol atau gabungan Parpol untuk bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden. Di dalam RUU Pemilu, ketentuannya masih sama. Parpol atau gabungan parpol harus memiliki kursi minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional. Partai besar seperti PDIP dan Golkar ingin syaratnya tetap seperti usul pemerintah, namun Gerindra dan partai kecil lainnya meminta syaratnya dihapus. Hal tersebut terjadi agar semua Parpol bisa mengusung Capres dan Cawapres.

Sementara itu, para pegiat Pemilu mengusulkan agar presidential threshold dihapuskan karena Pileg dan Pilpres dilakukan serentak. Namun, mereka menginginkan maksimal koalisi untuk Pilpres adalah 40% Parpol peserta pemilu, agar tak ada calon tunggal.

3.Sistem Pemilu Legislatif

Sistem Pileg 2014, disebut sistem proporsional daftar terbuka. Artinya pemilih bisa mencoblos Parpol atau nama Calon Legislatif (Caleg), lengkap dengan daftar Caleg. Caleg dengan suara terbanyak otomatis memiliki tempat duduk di parlemen. 

Namun, pada Pileg 2019, dalam RUU Pemilu mengusulkan sistem Pemilu jadi proporsional terbuka terbatas atau tertutup. Artinya pemilih hanya bisa mencoblos pada nomor atau logo partai. Daftar Caleg tetap tercantum tapi tidak untuk dicoblos. Caleg yang duduk di parlemen ditentukan oleh masing-masing Parpol, bukan oleh pemilih.

Persyaratan Verifikasi Diskriminatif

Selain isu-isu krusial tersebut ada satu hal yang harus dipahami pemilih. Persyaratan verifikasi partai peserta Pemilu 2019 yang dinilai diskriminatif. Jika ada Parpol yang sudah diverifikasi dengan syarat seperti tertulis di RUU Pemilu, maka parpol itu tidak perlu lagi diverifikasi jika ingin mengikuti Pemilu 2019. Artinya, hanya Partai Politik baru yang tidak menjadi peserta dalam Pemilu 2014 yang harus diverifikasi.

Hal ini menimbulkan ketidakadilan karena ada syarat tertulis yang menyebutkan bahwa Parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi di Indonesia. Padahal, tahun 2014 jumlah provinsi di Indonesia masih berjumlah 33 provinsi, sedangkan saat ini sudah berjumlah 34 provinsi.

RUU Pemilu Ambigu

Ambiguitas yang terjadi pada RUU Pemilu terkait dengan hak konstitusional setiap orang -- warga negara Indonesia. Pada RUU Pemilu disebutkan, syarat untuk menjadi pemilih adalah berusia 17 tahun atau sudah menikah. Menjadi seorang pemilih, warga negara Indonesia harus sudah berusia 17 tahun, tapi jika sudah menikah maka sudah bisa menjadi pemilih. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemilih harus minimal sudah 17 tahun atau sudah menikah?

Tak hanya soal hak memilih, dalam RUU Pemilu juga menimbulkan ambiguitas perihal pasal yang mengatur tentan politik uang. Disebutkan bahwa penerima suap tidak dikategorikan sebagai pelaku politik uang. Hanya yang memberi saja yang dikategorikan sebagai kriminalitas atau masuk dalam politik uang. 

Hal ini malah menunjukkan kemunduran pada Pemilu di Indonesia. RUU Pemilu yang seharusnya menghapus praktik-praktik politik uang yang menjadi isu kuat dalam politik Indonesia, justru tak melakukan pembenahan pasal yang berkaitan dengan politik uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun