Mohon tunggu...
Amatul Jannah Sosiadi
Amatul Jannah Sosiadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata-1 Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perusakan Masjid Ahmadiyah Indonesia Sintang: Perspektif Hak Asasi Manusia

3 Desember 2023   11:09 Diperbarui: 3 Desember 2023   11:12 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan sebuah organisasi aliran islam minoritas Indonesia yang telah menerima perbuatan intoleran di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya adalah perusakan Masjid Al-Huda di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sebagai salah satu non-derogable right, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak beragama umat JAI  Pelaksanaan kewajiban tersebut salah satunya pemerintah laksanakan melalui dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 (SKB 3 Menteri). SKB 3 Menteri mendasarkan bahwa umat JAI dilarang untuk menyebarkan aliran agamanya. Pembatasan hak beragama yang dilakukan SKB 3 Menteri tersebut adalah sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku pada Indonesia. Namun, pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi HAM umat JAI agar menghindari terjadinya pelanggaran terhadap HAM kelompok minoritas.

 

Latar Belakang

Meskipun memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, di Indonesia masih terdapat banyak pertentangan dan protes oleh masyarakat terhadap kelompok minoritas yang memiliki kepercayaan berbeda. Kurangnya rasa toleransi dalam masyarakat menimbulkan pergesekan antara masyarakat mayoritas dan suatu kelompok minoritas. Pergesekan antara masyarakat tersebut seringkali menimbulkan pelanggaran HAM atas kelompok minoritas. Sebagai penguasa, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyelesaikan permasalahn tersebut demi terlindungan HAM seluruh kelompok masyarakat.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan sebuah organisasi aliran islam yang meyakini bahwa Islam akan mengalami kebangkitan melalui adanya Imam Mahdi. Adanya kepercayaan tersebut, beserta keberadaan nabi dan khalifah, para umat JAI menimbulkan banyak pertentangan oleh umat muslim pada umumnya, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Di Indonesia, Jemaat Ahmadiyah telah mengalami beberapa peristiwa persekusi, pengusiran dan tindak kekerasan yang menyebabkan korban jiwa. Intimidasi terhadap kelompok minoritas JAI telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Cikeusik (Banten), Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat.

Permasalahan

  • Bagaimana pelanggaran HAM dalam aksi perusakan Masjid Al-Huda?
  • Bagaiamana korelasi dan implikasi dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia umat Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

Pembahasan

Pada 3 September 2021, peristiwa intoleransi terhadap JAI kembali terjadi dengan dilakukannya perusakan terhadap Masjid Miftahul Huda JAI di Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang oleh Aliansi Umat Islam dan warga lainnya. Peristiwa perusakan masjid tersebut dipersiapkan Kelompok Aliansi Umat Islam sejak 1 (satu) bulan sebelumnya, melalui ditandatanganinya Surat Kesepakatan Bersama Aliansi Umat Islam tertanggal 12 Agustus 2021 yang di dalamnya berisi permintaan kepada aparat untuk menindak tegas Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Sintang dalam waktu 3x24 jam ditandatanganinya surat tersebut. Meskipun Polres Sintang, Kejaksaan Negeri Sintang, Kodim Sintang, DPRD dan Kantor Bupati Kabupaten Sintang telah menerima surat tersebut, tidak terlihat ada tindakan mitigasi oleh pemerintah kepada umat Jemaat Ahmadiyah. Plt. Bupati Sintang bahkan meminta Jemaat Ahmadiyah Sintang untuk menghentikan aktivitas dan operasional pembangunan mesjid Jemaat Ahmadiyah yang sedang berlangsung.

Apabila dilihat baik dari segi hukum nasional maupun hukum internasional, kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat kodrati, tidak bisa dilepaskan dari seorang individu dalam keadaan apapun. Pasal 28I ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga menegaskan hal yang sama, bahwa hak beragama adalah salah satu non-derogable right. Tidak hanya menegaskan adanya hak beragama sebagai non-derogable right, Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Atas adanya Pasal tersebut, dapat dinyatakan bahwa negara mengakui adanya hak beragama dan memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut. Melihat dari segi hukum internasional, instrumen pokok HAM juga mengatur hal yang sama seperti hukum nasional. Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Article 18 ayat 1 International Covenenat on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak beragama, baik sendiri atau dalam masyarakat secara publik maupun pribadi. Secara lebih lanjut juga dinyatakan dalam Pasal 18 ayat 2 ICCPR bahwa tidak seorang pun boleh dipaksa yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut agama atau kepercayaan pilihannya. Selain itu, Pasal 2 ayat 2 International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) bahwa negara berusaha menjamin untuk tidak mendiskriminasi agama seseorang.

Perusakan tempat ibadah suatu golongan merupakan pelanggaran HAM. Meskipun prinsip dasar perlindungan HAM adalah melindungi kebebasan individu, pengutamaan individu dalam HAM tidaklah bersifat egoistik. Hal tersebut berarti bahwa meskipun seseorang dibebani hak untuk menjalani hidupnya, ia juga dibebani kewajiban untuk menghormati hak orang lain.

Hak beragama sebagai salah satu non-derogable right wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip dasar HAM, seperti state responsibility. Berdasarkan prinsip tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) HAM masyarakat yang berada di daerah teritorinya sesuai dengan norma hukum serta standar yang tercantum dalam instrumen hukum. Perusakan tempat ibadah merupakan pelanggaran konkret atas hak beragama. Sebagai negara yang meratifikasi ICCPR dan ICESCR, Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM negaranya baik atas dasar hukum nasionalnya, maupun hukum internasional.

Perusakan terhadap Masjid Al-Huda dan tempat ibadah JAI lainnya setidak-tidaknya terjadi karena 2 (dua) faktor, yaitu[1]:

  • Faktor sosial

JAI sebagai kelompok minoritas dibandingkan aliran umat islam lainnya (Muhammadiyah, NU, dll) memiliki kekuatan yang cenderung lemah dibandingkan kelompok mayoritas. Seperti yang telah dibuktikan oleh perbuatan Aliansi Umat Islam, tidak seluruh masyarakat di Kabupaten Sintang menerima kehadiraan JAI di lingkungan mereka. Hal ini menimbulkan rentannya terjadi diskriminasi pada umat JAI.

  •  Faktor kebijakan

Melalui proses pembuktian tragedi perusakan Masjid Al-Huda, salah satu saksi menyatakan bahwa sumber terjadinya tindakan pengrusakan tempat Masjid Al-Huda milik JAI (dan tempat ibadah JAI pada umumnya) adalah karena adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa JAI adalah aliran yang menyesatkan. Fatwa MUI sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat besar yang menuntun dan/atau mewakili pendapat mayoritas sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap JAI. Selain itu, dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 yang meminta JAI untuk tidak menyebarkan fahamnya memicu salah tafsir dan penolakan hingga perusakan tempat ibadah JAI.[2] Adapun bunyi dari SKB 3 Menteri tersebut adalah sebagai berikut:

Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

 

Terjadinya berbagai tragedi penyerangan terhadap umat JAI berakar pada intoleransi yang berkembang dalam masyarakat. Terlebih lagi, atas stigma masyarakat mayoritas terhadap umat JAI. Pemerintah sebagai penguasa memiliki kewajiban serta hak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional HAM yang terkait. Sebagaimana telah dinyatakan bahwa pelaksanaan HAM tidaklah bersifat egoistik, pemerintah pada hakikatnya memiliki hak untuk membatasi pelaksanaan hak dan kewajiban HAM masyarakatnya. Hal ini tercantum baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 70 Undang-Undang HAM dinyatakan bahwa:

"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Pemerintah mencoba untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melalui perumusan Surat Keputusan antara 3 menteri, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bukannya menyelesaikan masalah, Surat Keputusan tersebut justru mencetuskan berbagai pertanyaan dan permasalahan baru terhadap kelompok JAI. Pasalnya, suatu Surat Keputusan tidaklah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga muncul pertanyaan apakah norma hukum ini memenuhi unsur formil. Adapun SKB 3 Menteri telah dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 70 Undang-Undang HAM yang menyatakan bahwa pembatasan pelaksanaan HAM masyarakat hanya memungkinkan selama diatur melalui undang-undang karena dasar pembuatan SKB tersebut adalah merujuk pada Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965. Dalam Pasal 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa:

"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu."

Apabila dilihat dari perspektif hukum internasional, Pasal 18 ayat 3 ICCPR menyatakan bahwa negara dapat melakukan suatu pembatasan terhadap manifestasi suatu agama. Merujuk pada Sircausa Principle, penyebaran merupakan suatu bentuk manifestasi yang dapat dikenakan pembatasan.[3] Oleh karena itu, pembatasan yang dilakukan oleh SKB 3 Menteri adalah sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Namun, meskipun pembatasan HAM yang dilakukan terhadap JAI adalah sah dari perspektif hukum nasional dan hukum internasional, perlu dicatat bahwa pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi HAM kelompok JAI. Hal ini dapat pemerintah lakukan melalui peran aktif untuk menghentikan segala perbuatan diskriminasi dan misinterpretasi yang terjadi dalam masyarakat, termasuk yang timbul sebagai akibat dari dikeluarkannya SKB 3 Menteri.

 

Simpulan

Perusakan  Masjid Al-Huda di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Berdasarkan prinsip dasar HAM, negara/pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati melindungi dan memenuhi HAM seluruh masyarakatnya. Selain dari kewajiban tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan pembatasan terhadap HAM, sekalipun hak tersebut merupakan non-derogable right, untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Salah satu upaya pemerintah dalam menyelesaikan pergesekan anatara umat muslim mayoritas dan umat JAI adalah dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri. Substansi SKB 3 Menteri yang membatasi hak umat Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah suatu hal yang sah berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional. Namun, keabsahan surat keputusan tidak bisa menjadi satu-satunya pembenaran dan penyelesaian permasalahan. Pemerintah tetap harus melindungi dan memenuhi HAM umat JAI dalam rangka menjalani kewajibannya yang didasarkan atas prinsip state responsibility dan rule of law.

Sumber:

[1] Wijayana, Diah. (n.d.). Violation Human Rights Minority Community of Jemaat Ahmadiyah, Case Study: Destruction Mosque's Al-Kautsar of Jemaat Ahmadiyah in Purworejo, Ringinarum, Kendal Regency 2016. Journal of Politic and Government Studies, 8(3). hlm. 93.

[2] Putusan Nomor 820/Pid.B/2021/PN Ptk; Nomor 822/Pid.B/2021/PN Ptk; 825/Pid.B/2021/PN Ptk;

[3] Rahim, Imral Rizki. (2014). Kontroversi Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia: Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, 1(1). hlm. 28.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun