Mohon tunggu...
Amatul Jannah Sosiadi
Amatul Jannah Sosiadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata-1 Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perusakan Masjid Ahmadiyah Indonesia Sintang: Perspektif Hak Asasi Manusia

3 Desember 2023   11:09 Diperbarui: 3 Desember 2023   11:12 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak beragama sebagai salah satu non-derogable right wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip dasar HAM, seperti state responsibility. Berdasarkan prinsip tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) HAM masyarakat yang berada di daerah teritorinya sesuai dengan norma hukum serta standar yang tercantum dalam instrumen hukum. Perusakan tempat ibadah merupakan pelanggaran konkret atas hak beragama. Sebagai negara yang meratifikasi ICCPR dan ICESCR, Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM negaranya baik atas dasar hukum nasionalnya, maupun hukum internasional.

Perusakan terhadap Masjid Al-Huda dan tempat ibadah JAI lainnya setidak-tidaknya terjadi karena 2 (dua) faktor, yaitu[1]:

  • Faktor sosial

JAI sebagai kelompok minoritas dibandingkan aliran umat islam lainnya (Muhammadiyah, NU, dll) memiliki kekuatan yang cenderung lemah dibandingkan kelompok mayoritas. Seperti yang telah dibuktikan oleh perbuatan Aliansi Umat Islam, tidak seluruh masyarakat di Kabupaten Sintang menerima kehadiraan JAI di lingkungan mereka. Hal ini menimbulkan rentannya terjadi diskriminasi pada umat JAI.

  •  Faktor kebijakan

Melalui proses pembuktian tragedi perusakan Masjid Al-Huda, salah satu saksi menyatakan bahwa sumber terjadinya tindakan pengrusakan tempat Masjid Al-Huda milik JAI (dan tempat ibadah JAI pada umumnya) adalah karena adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa JAI adalah aliran yang menyesatkan. Fatwa MUI sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat besar yang menuntun dan/atau mewakili pendapat mayoritas sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap JAI. Selain itu, dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 yang meminta JAI untuk tidak menyebarkan fahamnya memicu salah tafsir dan penolakan hingga perusakan tempat ibadah JAI.[2] Adapun bunyi dari SKB 3 Menteri tersebut adalah sebagai berikut:

Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

 

Terjadinya berbagai tragedi penyerangan terhadap umat JAI berakar pada intoleransi yang berkembang dalam masyarakat. Terlebih lagi, atas stigma masyarakat mayoritas terhadap umat JAI. Pemerintah sebagai penguasa memiliki kewajiban serta hak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional HAM yang terkait. Sebagaimana telah dinyatakan bahwa pelaksanaan HAM tidaklah bersifat egoistik, pemerintah pada hakikatnya memiliki hak untuk membatasi pelaksanaan hak dan kewajiban HAM masyarakatnya. Hal ini tercantum baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 70 Undang-Undang HAM dinyatakan bahwa:

"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Pemerintah mencoba untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melalui perumusan Surat Keputusan antara 3 menteri, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bukannya menyelesaikan masalah, Surat Keputusan tersebut justru mencetuskan berbagai pertanyaan dan permasalahan baru terhadap kelompok JAI. Pasalnya, suatu Surat Keputusan tidaklah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga muncul pertanyaan apakah norma hukum ini memenuhi unsur formil. Adapun SKB 3 Menteri telah dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 70 Undang-Undang HAM yang menyatakan bahwa pembatasan pelaksanaan HAM masyarakat hanya memungkinkan selama diatur melalui undang-undang karena dasar pembuatan SKB tersebut adalah merujuk pada Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965. Dalam Pasal 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa:

"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu."

Apabila dilihat dari perspektif hukum internasional, Pasal 18 ayat 3 ICCPR menyatakan bahwa negara dapat melakukan suatu pembatasan terhadap manifestasi suatu agama. Merujuk pada Sircausa Principle, penyebaran merupakan suatu bentuk manifestasi yang dapat dikenakan pembatasan.[3] Oleh karena itu, pembatasan yang dilakukan oleh SKB 3 Menteri adalah sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Namun, meskipun pembatasan HAM yang dilakukan terhadap JAI adalah sah dari perspektif hukum nasional dan hukum internasional, perlu dicatat bahwa pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi HAM kelompok JAI. Hal ini dapat pemerintah lakukan melalui peran aktif untuk menghentikan segala perbuatan diskriminasi dan misinterpretasi yang terjadi dalam masyarakat, termasuk yang timbul sebagai akibat dari dikeluarkannya SKB 3 Menteri.

 

Simpulan

Perusakan  Masjid Al-Huda di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Berdasarkan prinsip dasar HAM, negara/pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati melindungi dan memenuhi HAM seluruh masyarakatnya. Selain dari kewajiban tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan pembatasan terhadap HAM, sekalipun hak tersebut merupakan non-derogable right, untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Salah satu upaya pemerintah dalam menyelesaikan pergesekan anatara umat muslim mayoritas dan umat JAI adalah dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri. Substansi SKB 3 Menteri yang membatasi hak umat Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah suatu hal yang sah berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional. Namun, keabsahan surat keputusan tidak bisa menjadi satu-satunya pembenaran dan penyelesaian permasalahan. Pemerintah tetap harus melindungi dan memenuhi HAM umat JAI dalam rangka menjalani kewajibannya yang didasarkan atas prinsip state responsibility dan rule of law.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun