Menyusul kerusuhan di Ukraina pada 2014 (yang oleh sebagian orang disebut Revolusi Martabat) hinga berujung kaburnya Presiden Victor Yanukoviych, Rusia menguasai Krimea dengan cara mendukung gerakan demonstrasi yang mengambil-alih parlemen. Banyak pihak menuduh, kerusuhan tersebut merupakan buatan Rusia.Â
Bagi EU dan banyak negara, krisis yang oleh banyak media Barat disebut aneksasi Rusia terhadap Krimea ini mengkhawatirkan karena Ukraina merupakan salah satu titik strategis secara geopolitik dengan EU. Ia bersinggungan langsung dengan negara anggota EU eks-komunis seperti Rumania, Slovakia, atau Polandia. Selain itu, krisis Krimea dikhawatirkan menyuburkan separatisme di Eropa.
Hantaman terbesar tentu saja referendum yang menunjukkan rakyat Inggris memilih untuk keluar dari EU alias Brexit. Terlepas dari dugaan rekayasa komunikasi via media sosial, public mood yang tertangkap saat itu adalah tergerusnya rasa berdaulat dan deprivasi akibat terbukanya pasar tenaga kerja intra-EU. Sebagai salah satu negara makmur di Eropa, Inggris menjadi lampu terang yang menarik bagi laron-laron imigran. Â
Data 2016 menunjukkan bahwa dalam tiga tahun sejak 2013, Inggris ketambahan penduduk (imigrasi netto) sebesar 285.000 jiwa, atau sekitar 0.4% dari total populasi tiap tahun (Fortune).Â
Pendukung imigrasi berdalih imigran bermanfaat dalam memperluas basis pajak dan mempertahankan upah murah. Namun, yang dirasakan rakyat adalah, pajak yang dengan susah payah dibayarkan malah dihabiskan untuk menyejahterakan orang asing. Sebagai gambaran, sejak 2016 Polandia menjadi etnis terbesar asal orang yang tidak lahir tapi hidup di Inggris, "mengalahkan" India.
Keseimbangan Baru
Melemahnya legitimasi EU berdampak pada perimbangan kekuatan (balance of power) dunia. Sanksi terhadap Rusia, baik yang bersifat diplomatik maupun ekonomi tidak terlalu digubris Presiden Rusia Vladimir Putin. Sanksi diplomatik salah satunya ditunjukkan dengan mengubah pertemuan G8 di Sochi menjadi G7 di Brussel. Sanksi ekonomi dijalankan dengan melarang impor barang dari Krimea dan Sevastopol serta membatasi akses perusahaan Rusia ke pasar modal Eropa.
Di sisi lain Orban menjadi orang kuat baru di Eropa, terutama karena negara-negara Eropa Timur eks-Soviet tidak merasakan manfaat sebesar yang digembar-gemborkan ketika mereka bergabung dengan kapitalisme global, khususnya EU.
Semangat borderless globalisasi yang salah satunya dicerminkan dengan berdirinya EU semakin memudar. Sebaliknya, pagar-pagar perbatasan kini mulai ditegakkan lagi, baik secara fisik walaupun melalui kampanye militer.
Melemahnya Eropa terjadi seiring dengan menguatnya China dan Asia pada umumnya. Amerika Serikat pun kini condong ke Kanan sejak Donald Trump masuk Gedung Putih. Dunia akan berada dalam suatu ketidakpastian dan kemurungan yang panjang beriringan dengan acaman perang yang bisa terjadi setiap saat.
Pertanyaannya, mampukah EU menghadapi merebaknya sentimen Kanan Jauh yang juga dikenal sebagai "Eurosceptic?" Krisis Eropa ini terjadi pada dimensi ideologis sekaligus geopolitik. Di sisi ideologi, melemahnya EU menunjukkan tertekuknya neoliberalisme berhadapan dengan kepentingan nasional yang partikular. Mengalirnya uang, barang, dan orang ternyata lebih menguntungkan perusahaan multinasional yang menerapkan global supply chain dan menghilangkan keunggulan komparatif negara. Negara hanya menjadi sekrup dalam mesin produksi raksasa tingkat dunia.