Ada kesadaran kolektif dalam benak elite dan publik bahwa perubahan-perubahan besar membutuhkan waktu lebih panjang, dan pemimpin yang membawa narasi perubahan itu memang pantas diberi kesempatan.
Kegamangan dalam Transisi Panjang Sistem Global
Jika ditelurusi lebih jauh, fenomena itu sebenarnya merupakan respons terhadap turbulensi geopolitik global setelah krisis ekonomi dunia 2008. Kini, satu dekade setelah krisis itu, dunia memasuki transisi panjang dalam pencarian keseimbangan baru atau bahkan sistem global baru.
Krisis ekonomi 2008 memukul jantung kapitalisme, pasar bebas, dan secara khusus meruntuhkan kepercayaan kepada sistem keuangan global. Satu per satu raksasa keuangan Amerika tumbang, mulai dari Bear Sterns, Lehman Brothers, hingga AIG.Â
Masalah merembet ke beberapa negara Eropa yaitu Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Siprus. Bersamaan itu, mulai timbul krisis gelombang pengungsi ke Eropa. Lebih dari itu, krisis ekonomi itu selanjutnya memukul jantung saudara kembar pasar bebas dalam politik, yaitu demokrasi liberal.
Bagi kebanyakan pemikir strategis dunia, krisis itu merupakan ledakan besar dari akumulasi kontradiksi sistemik yang menandai berakhirnya kapitalisme liberal dan kepemimpinan Amerika Serikat.Â
Tatatan Dunia Baru (New World Order) yang dideklarasikan Presiden George Bush Senior pada 1991 menyusul runtuhnya komunisme di bawah Uni Soviet, dianggap kehilangan relevansi karena tidak lagi mampu menjawab krisis yang terjadi. AS dan Eropa yang pada era Perang Dingin hingga dekade 1990-an menguasai 80% ekonomi dunia, kini hanya menguasai 40% saja.Â
Kue ekonomi mereka makin kecil. Finansialisasi ekonomi atau pembenggelembungan sektor keuangan sejak dekade 1970-an telah mematikan sektor riil dan menggerus kelas menengah pekerja serta memperbesar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.
Itu menyebabkan terjadinya "pembelahan" yang dalam di kalangan elite AS dan Eropa karena tidak ada jawaban yang sama terhadap krisis. Pembelahan itu bahkan tak lagi bisa ditutup-tutupi dalam percaturan politik. Eksistensi Uni Eropa bahkan terancam setelah Inggris memilih check out pada 2016 lalu. Peristiwa besar itu lalu disusul dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, yang jelas-jelas datang dari luar lingkaran utaman elite Amerika.
Brexit dan Trump memberi dorongan kencang bagi kelompok ultranasionalis Kanan Jauh(Far Right) menghadapi kelompok neoliberal. Pada dua pilar utama ideologi neoliberal Eropa, yaitu Jerman dan Prancis, kita menyaksikan hasil yang pemilu yang berbeda pada 2017 lalu.
Di Jerman, Angela Merkel menang untuk keempat kali namun perolehan partainya, Partai Uni Kristen Demokratik (CDU) yang berhaluan liberal-konservatif, merosot drastis. Pada pemilu tersebut pula untuk pertama kalinya, partai ultranasionalisAlternative fr Deutschland (AfD) masuk parlemen dan langsung merangsek dengan perolehan suara ketiga terbesar.Â