Mohon tunggu...
Anis Matta
Anis Matta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Palestina Setelah Deklarasi Trump, "Deal of The Century"

23 Desember 2017   20:42 Diperbarui: 24 Desember 2017   08:13 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kampanye pemilu German, Chansellor Angela Merkel bahkan mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sementara sebelumnya Obama mendeklarasikan beralihnya fokus Amerika ke Asia dan menggagas pendirian Trans Pasific Partnership. Proyek itu bukan saja gagal, tapi juga membuat pesan perceraian dengan Eropa semakin nyata.

Sementara itu, penetrasi China dan Rusia ke Eropa makin dalam. Proyek jalur sutera kini telah menghubungkan China dengan Eropa via darat hanya dalam waktu 18 hari, jauh lebih cepat dari jalur laut yang memerlukan waktu 35 hari. Integrasi ekonomi Eropa dengan Rusia juga makin kuat terutama suplai gas ke Eropa sebagian besar berasal dari Rusia. Itu sebabnya mengapa tekanan Amerika terhadap Eropa dalam sanksi ekonomi kepada Rusia dalam kasus Ukraina sama sekali tidak efektif.

Amerika tidak lagi mampu memobolisasi Eropa dalam agenda-agenda global yang besar. Keadaan ini diperparah oleh konflik elit yang makin tajam baik di internal Eropa maupun di internal Amerika. Konflik ideologi antara kaum Nasionalis Konservatif dan Globalis Liberal mewarnai pemilihan presiden dan anggota legislatif di kedua kawasan itu.

Kemenangan minimalis Merkel di German dan May di Inggris dalam pemilu tahun ini semakin memperkuat trend bahwa era kaum globalis liberal di Eropa. Trend itu sebelumnya telah didahului oleh kemenangan Trump dalam pilpres Amerika tahun 2016 lalu.

Keempat, Turki dan Iran menggantikan Mesir dan Saudi Arabia sebagai pemain kawasan. Itu berarti bahwa Israel makin terisolasi di kawasan, karena pemain utama kawasan sekarang telah beralih dari sekutu utama mereka, yaitu Arab Saudi dan Mesir. Persekutuan baru yang terbentuk antara Turki, Iran dan Rusia makin mengokohkan posisi mereka di kawasan dan tidak lagi memberi ruang manuver yang luas bagi Amerika.

Kelima, perubahan system nilai global setelah gelombang demokratisasi global menyusul runtuhnya Uni Soviet. Kebebasan, demokrasi, persamaan hak asasi manusia dan rasa keadilan telah menjadi nilai-nilai bersama masyarakat global saat ini. Inilah yang kita saksikan dalam voting Sidang Umum PBB terakhir yang menolak Deklarasi Trump dan meruntuhkan legitimasi moral Amerika di mata dunia.

Di mata dunia saat ini, isu Palestina bukan lagi isu domestik Timur Tengah atau isu keislaman yang hanya menjadi perhatian Dunia Islam saja, tapi telah berkembang menjadi isu kemanusiaan yang menodai wajah umat manusia.

Warga dunia tak lagi bisa menerima bukan saja ide "One State Situation", tapi bahkan ide "Two State Solution". Ini adalah serangan dahsyat terhadap legitimasi eksistensi Negara Israel. Trend ini diperkuat oleh demokrasi media setelah munculnya jaringan televisi global baru seperti Aljazeera dan Russia Today di kategori media mainstream dan munculnya era sosial media. Tidak ada lagi fenomena asimetri informasi. Artinya tidak ada lagi negara yang dengan mudah memberikan framing media yang berbeda dengan realitas yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Keenam, semangat perlawanan rakyat Palestina jauh lebih kuat dari semangat bertahan kaum Yahudi di Israel. Sejak Intifada Palestina meletus tahun 1987, pamor kedigdayaan tentara Israel yang pernah mengalahkan gabungan pasukan Arab tahun 1948 seketika sirna. Bahkan dalam perang Israel Palestina terakhir tahun 2008 lalu, pasukan Israel akhirnya ciut sendiri.

Selain itu, jumlah orang Yahudi yang hengkang dari Israel dan kembali negara asalnya lebih banyak dari jumlah orang Yahudi yang masih mau berimigrasi ke Israel. Seorang penulis Yahudi di Israel, Ari Shavit bahkan mengatakan orang-orang Israel kini menyadari bahwa mereka tidak punya masa depan di Palestina. Ini bukan tanah air tanpa bangsa. Itu semua hanya kebohongan kaum Zionist. Israel harus segera mencari solusi lain sebelum terlambat dan Israel harus menghembuskan nafas terakhirnya akibat dikejar kutukan kebohongan Zionist tentang tanah yang dijanjikan.

Boleh jadi Deklarasi Trump adalah lonceng kematian Israel. Sebab ide ini ternyata lahir dari kecemasan akut karena mimpi Israel Raya  tak lagi bisa dituntaskan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun