Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Parijotho Dipercaya Ibu Hamil Membuat Bayi Cantik Ada di Makam Sunan Muria

6 Maret 2024   08:08 Diperbarui: 8 Juni 2024   13:53 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan makan bersama setelah ziarah. Foto koleksi Shita R

Bagi umat muslim, tradisi ziarah kubur terutama golongan kaum Nadliyin adalah hal yang rutin dilaksanakan. Dari kelompok pengajian, arisan RT, lingkungan sekolah, teman sekerja dan lain-lain banyak yang melaksanakannya terutama bagi kaum santri yang terdapat di wilayah Pantura.

Tradisi ini dilakukan pada bulan-bulan baik  atau di bulan Ruwah dalam kalender Jawa Islam ciptaan Sultan Agung. Ruwah atau Sya'ban dalam kalender Hijriyah berasal dari kata arwah, yaitu bulan dimana kita menengok makam para leluhur dan mendoakan arwahnya.

Ruwahan adalah kegiatan berdoa bersama dan membuat sajian makanan dalam bentuk nasi berkat yang dibagikan pada para tetangga sebagai bagian dari berbagi sedekah untuk mendapatkan keberkahan yang diharapkan bisa berdampak baik pada para leluhur yang telah tiada di alam baka. 

Masyarakat Pantura rela mengeluarkan biaya cukup besar untuk akomodasi dalam melakukan ziarah pada makam Wali Songo atau pemuka agama lainnya yang dianggap memberikan keberkahan.

Mengunjungi kubur dalam pandangan syariat Islam hukumnya diperbolehkan, termasuk kegiatan mendoakan arwah mereka yang telah meningggal dunia. Yang dilarang adalah membuat permintaan pada makam yang bisa masuk kategori perbuatan syirik. 

Ketika sedang pulang kampung saya berkesempatan untuk mengikuti ziarah ke Makam Sunan Muria bersama saudara dan para pekerja di workshop Joglo. Istilahnya ngalap berkah. Mereka antusias sekali melakukan perjalanan spiritual ini. Begitu jam kerja berakhir mereka pamit pulang untuk bersih bersih dulu dan pamitan pada orang rumah, beberapa membawa serta anaknya.

Dua mobil sudah disiapkan. Mba Gani asisten Tomy dan para pekerja perempuan telah memasak ingkung ayam dan lauk pauk kelengkapannya seperti sambel goreng ati, sambal terasi, urap dan telur pindang yang akan disantap setelah ziarah nanti.

Ingkung adalah masakan khas Jawa berupa ayam utuh yang diambil jerohannya untuk dibumbui lalu dimasukkan lagi dalam dada ayam lalu diikat rapat dengan tali bambu dan dimasak dengan bumbu mirip opor tapi lebih lengkap hingga santannya habis meresap ke dalam daging ayam untuk menciptakan cita rasa gurih dan menjaga ayam lebih tahan lama dari basi.

Bumbu kental ingkung disebut areh yang nanti jadi teman makan nasi yang dibuat gunungan. Masakan ini familiar dalam ritual sedekah atau syukuran bagi masyarakat Jawa Tengah khususnya. 

Perjalanan lancar memakan waktu 1,5 jam. Begitu sampai di kompleks makam pengunjungnya cukup ramai karena mendekati Ramadhan tradisi ini memang dilakukan.

Setelah parkir mobil, kami dihampiri pasukan motor ojek . FYI, motornya tak ada yang jelek. Berbeda dengan belasan tahun lalu ketika ke sini masih lupa-lupa ingat, tapi dulu motornya butut-butut.

Semua ojek tertib berbaris menunggu giloiran,  tak ada rebutan penumpang, saling menghormati sesuai urutan. Sebagian memilih jalan kaki yang jalannya mendaki. Aku memilih yang memakai motor Tiger haha... biar cepet.

Begitu aku duduk werrr..motor melaju kencang meliuk-liuk di jalan sempit dan curam mendaki yang dipenuhi pemotor juga dari arah berlawanan. Mana tak dikasih helm lagi. Sial..beberapa kali saya terpekik ngeri berasa jadi pemain sirkus tong setan. Terpaksa harus berpegangan erat menjaga keseimbangan. Seketika wajah anak-anakku terbayang. Wah...tanggungjawabku belum selesai kalau ada apa apa bagaimana ini ? haha...segitu parnonya.

Dalam hati kulantun doa dan zikir keselamatan. Dari bawah terlihat lampu temaram saat azan maghrib berkumandang dari Masjid dari kawasan pemakaman di antara kabut yang mulai menutup malam dan udara yang mulai dingin. Indah ..dan ngeri! Untunglah spot jantung hanya 15 menitan kami sampai di pangkalan. Lalu meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuju masjid menunaikan Maghriban sambil menunggu anggota rombongan yang belum sampai tujuan. 

Selesai salat Maghrib berjamaah, kami menuju makam, alas kaki disimpan dalam plastik keresek. Kami berjalan beriringan dengan tertib menunggu giliran mendapat tempat menderaskan doa pada yang terhormat salah satu Waliyullah Sunan Muria yang bijaksana.

Sayangnya doa di tempat ini dilaksanakan dengan suara nyaring bersahut-sahutan dari beberapa rombongan hingga menghilangkan kekhusyukan. Seandainya doa dilantunkan dalam lirih karena Allah Maha Mendengar, maka suasana akan lebih hening, hikmat dan tenang.

Saya rasa ini salah satu yang harus diperbaiki pengelola. Makan Sunan Muria ditutup dengan tirai kayu jati yang dihias ukir-ukiran perpaduan langgam Kudus yang halus dengan motif daun dan melati membentuk kerancang dan motif Jepara yang penuh sulur, bunga berbentuk besar dan buah-buahan. Kita masih bisa melihat samar-samar ke dalam makam dibalik pembatas ukiran.

Ternyata aktivitas ziarah berlangsung 24 jam! Pengunjung datang silih berganti. Berjalan mengular menunggu giliran untuk dipandu berdoa bersama. 

Keberkahan makam ini di antaranya ya berlangsungnya kegiatan ekonomi tanpa henti yang menghidupi penduduk sekitar dari perdagangan, jasa dan hasil pertanian. 

Masjid cukup luas menampung para jamaah meski saya merasa agak pengap karena kecilnya saluran ventilasi udara. Semoga ke depan ada perbaikan. Bandingkan jika yang datang berbondong berdesakan, akan cukup beresiko menimbulkan kericuhan dan sesak nafas. 

Selesai berdoa kami keluar makam, memasukkan sumbangan pemeliharaan dan menuju mata air alami pegunungan yang konon ditemukan Sunan Muria yang penuh karomah. Jika airnya diminum membuat sehat, jika digunakan untuk membasuh muka menjadi lebih cemerlang sehingga enteng jodoh.

Tak usah diperdebatkan kesahihannya, ini kan hanya kepercayaan masyarakat setempat. Bukankah budaya Jawa memang banyak diperkaya nilai-nilai magis dan spiritual?

Menurut penjaga mata airnya, mata air tersebut tak pernah surut dari jaman ditemukan hingga sekarang airnya melimpah ruah. Ia menyediakan jerigen dan botol air mineral bagi peziarah yang hendak membawa pulang.

Airnya jernih dan bersih tanpa ragu kuminum jadi ingat cerita-cerita sinetron Saur Sepuh yang turun dari kuda untuk minum sejenak di mata air. Airnya dingin dan ada manis-manisnya seperti rasa air Le Mineral tapi yang ini tidak mengandung bromat hehe.

Keluar dari makam kami berjalan-jalan di masjid dan sekitar makam yang ramai orang dengan aktivitas 24 jam tanpa henti. Saat salat tiba, para pedagang menutup toko selesai beribadah kembali berjualan. Di kiri kanan jalan toko-toko menjual tasbih, alat garuk punggung, perhiasan imitasi, kalung manik-manik, peralatan makan ala Arab.

Ada juga yang menjual jeruk pomelo yang khas buah di pegunungan Colo, tempat area makam berada dan parijotho, sejenis tanaman semak berbuah kecil berbentuk butiran dalam rangkaian seperti padi berwarna ungu yang cantik dengan rasa asam manis.

Konon ini salah satu bentuk terapi kesuburan. Kalau dari warnanya yang ungu pekat buah parijotho pasti kaya anti oksidan. Bagi ibu hamil yang memakannya diyakini anaknya akan bagus dan cantik. Sekarang sudah ada yang diekstrak dalam bentuk syrup agar lebih awet dan praktis. Sebotolnya seharga 100 ribu rupiah. Kalau buahnya dimakan dengan sambal rujak seperti rujak bebek rasanya enak dan segar. 

Kegiatan makan bersama setelah ziarah. Foto koleksi Shita R
Kegiatan makan bersama setelah ziarah. Foto koleksi Shita R

Kami berkumpul di salah satu kedai kopi yang menyediakan tempat untuk makan bersama. Dibukalah bekal, berupa ingkung ayam dan kawan-kawannya. Makanan saling diedarkan untuk berbagi. Dipadu jahe anget dari kedai kopi sunggsungguh nimat. Kami yang lapar makan dengan lahap di udara terbuka.

Sayang pengelolaan sampah belum dimaksimalkan sehingga masih terlihat tumpukan sampah tak jauh dari lokasi kami makan. Meski tak berbau tentu merusak pemandangan. Selesai istirahat kami berberes dan pulang. 

Tangga batu menuju dan pulang dari makam, curam dan panjang. Foto koleksi Shita R
Tangga batu menuju dan pulang dari makam, curam dan panjang. Foto koleksi Shita R

Kali ini aku memilih turun dengan menuruni tangga bukan dengan ojek. Tangganya terbuat dari tumpukan batu yang di semen. Bagian atas ditutup atap agar pengunjung tak kehujanan. Di kiri kanan jalan dipenuhi warung dan toko yang berjualan aneka rupa barang.

Pengunjung terbagi dua arus naik dan turun dari makam. Tangga batu memiliki jarak lumayan tinggi sehingga harus hati-hati melangkah. Dan sungguh curam.

Dengan aplikasi olah raga kumulai menuruni anak tangga. Awalnya terasa ringan namun lama-lama berat juga apalagi jalan licin kalau jatuh bisa terseret atau menyeret orang ikut jatuh. Tingkat kemiringan sekitar 45 derajat.

Kulihat ada beberapa anak kecil yang menaiki tangga dengan santai meski pijakan cukup tinggi. Asem tenan! Haha..aku ngos-ngosan. Teringat ucapan Ibu, ia menaiki tangga itu saat hamil adik bontotku. Whaaat? Kalau aku sih sudah nyerah, takut brojol di tengah jalan.

Keringat mnegucur deras dan beberapa kali harus berhenti mengatur nafas. Akhirnya dengan perjuangan yang cukup keras sampailah aku di basecamp. Alhamdulillah. Kulihat appsku, aku telah menempuh 9.500 an langkah lumayanlah sebagai olah raga. Sampai di basecamp kubeli wedang ronde sebagai penghangat badan. Maklum dingin malam membuat badan kurang fit, begitulah nasib remaja jompo, kalau Gen Z bilang. 

Akhirnya...sampai juga di basecamp, lelah tapi seneng. Foto koleksi Shita R
Akhirnya...sampai juga di basecamp, lelah tapi seneng. Foto koleksi Shita R

Apa aku kapok ke sini? Tidak juga. Tapi mending naik motor ala tong setan daripada sok-sokan turun tangga curam hehe

Depok, 05032024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun