Tak usah diperdebatkan kesahihannya, ini kan hanya kepercayaan masyarakat setempat. Bukankah budaya Jawa memang banyak diperkaya nilai-nilai magis dan spiritual?
Menurut penjaga mata airnya, mata air tersebut tak pernah surut dari jaman ditemukan hingga sekarang airnya melimpah ruah. Ia menyediakan jerigen dan botol air mineral bagi peziarah yang hendak membawa pulang.
Airnya jernih dan bersih tanpa ragu kuminum jadi ingat cerita-cerita sinetron Saur Sepuh yang turun dari kuda untuk minum sejenak di mata air. Airnya dingin dan ada manis-manisnya seperti rasa air Le Mineral tapi yang ini tidak mengandung bromat hehe.
Keluar dari makam kami berjalan-jalan di masjid dan sekitar makam yang ramai orang dengan aktivitas 24 jam tanpa henti. Saat salat tiba, para pedagang menutup toko selesai beribadah kembali berjualan. Di kiri kanan jalan toko-toko menjual tasbih, alat garuk punggung, perhiasan imitasi, kalung manik-manik, peralatan makan ala Arab.
Ada juga yang menjual jeruk pomelo yang khas buah di pegunungan Colo, tempat area makam berada dan parijotho, sejenis tanaman semak berbuah kecil berbentuk butiran dalam rangkaian seperti padi berwarna ungu yang cantik dengan rasa asam manis.
Konon ini salah satu bentuk terapi kesuburan. Kalau dari warnanya yang ungu pekat buah parijotho pasti kaya anti oksidan. Bagi ibu hamil yang memakannya diyakini anaknya akan bagus dan cantik. Sekarang sudah ada yang diekstrak dalam bentuk syrup agar lebih awet dan praktis. Sebotolnya seharga 100 ribu rupiah. Kalau buahnya dimakan dengan sambal rujak seperti rujak bebek rasanya enak dan segar.Â
Kami berkumpul di salah satu kedai kopi yang menyediakan tempat untuk makan bersama. Dibukalah bekal, berupa ingkung ayam dan kawan-kawannya. Makanan saling diedarkan untuk berbagi. Dipadu jahe anget dari kedai kopi sunggsungguh nimat. Kami yang lapar makan dengan lahap di udara terbuka.
Sayang pengelolaan sampah belum dimaksimalkan sehingga masih terlihat tumpukan sampah tak jauh dari lokasi kami makan. Meski tak berbau tentu merusak pemandangan. Selesai istirahat kami berberes dan pulang.Â
Kali ini aku memilih turun dengan menuruni tangga bukan dengan ojek. Tangganya terbuat dari tumpukan batu yang di semen. Bagian atas ditutup atap agar pengunjung tak kehujanan. Di kiri kanan jalan dipenuhi warung dan toko yang berjualan aneka rupa barang.