Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

[8 Tahun Kompasiana] Gara-gara Gunung Raung, Membuat Pesona Budaya 2015 Penuh Greget!

2 November 2016   10:00 Diperbarui: 2 November 2016   10:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto di depan Museum Antonio Blanco Photo by Shita Rahutomo

Sebenarnya, aku sudah bergabung di Kompasiana sejak 2010. Beberapa kali menulis postingan sebagai ajang curhat dan mengeluarkan uneg-uneg hehe… tapi kesibukan dan banyak peristiwa terjadi dalam hidup, dan tulisannya tak pernah jadi headline haha.. (ternyata ada korelasi positif antara tampil di headline dan menumbuhkan minat menulis) Eh tapi yang ini jangan ditiru ya… bukan motivasi yang baik. Penulis sejati takkan peduli karyanya akan menjadi seperti apa yang penting menulis, menulis, dan menulis. Tapi harus kuakui kalau jadi headline itu seperti dapat hadiah, jadi kebahagiaan tersendiri. Cieeh…

Setelah beberapa tahun vakum, iseng-iseng buka lagi Kompasiana sedang ada kegiatan mengunjungi pabrik Toyota Astra di Sunter dan lomba menulis review. Wah..menarik nih..akhirnya aku daftar dan terpilih. Karena acaranya cukup lama, jadi lumayan kenal Kompasianer lainnya yang kuingat Pak Agung Bali, Andri, Mbak Aulia Gurdi dan Mbak Asita. Alhamdulillah menang juara 2. Ga nyangka sama sekali. Senangnyaaa…. Lalu dari situ (jadi motivasi juga kalau menang lomba hihi) jadi sering ikut acara nangkring. Cuma duduknya paling belakang karena belum pede. Kalau ada yang kenal ya disamperin kalau ga ada ya diem aja mendengarkan pembicara sampai acara selesai terus pulang. Kadang juga bawa muridku, yang kira-kira punya kepedulian sosial atau  suka nulis buat ikut nangkring kalau acaranya Sabtu. Mending kan, daripada keluyuran di mall. Aku bahkan membantunya membuat akun dan mengajarinya  menulis di situ. Dan anaknya seneeeng banget. Sampai nagih, “Ayo Miss, kapan bisa ikut acara Kompasiana lagi?” Ahay…punya bibit penerus aku nanti.

Tapi dari sekian banyak acara yang kujalani bertahun-tahun bersama Kompasiana, acara Pesona Budaya di Bali yang diadakan Kementrian Pariwisatalah yang paling mengesankan. Sudah lama tak liburan ke Bali. Terakhir tahun 2006. Aku semangat ikut seleksi sampai membuat dua tulisan biar terpilih, walaupun transport ke lokasi bayar sendiri tapi yang lain kan sudah ditanggung. Pokoknya ngarep banget alias ngidam pisan dah. Alhamdulillah akhirnya lolos. Horeee…pergi ke Bali…! Sekolah sudah selesai acara akreditasinya jadi Ibu Bos Principal (terimakasih ya Bu Agem) mengijinkan untuk ikut tapi. Sebenarnya sih pengennya datang duluan biar punya waktu buat jalan-jalan sendiri dulu mengenang masa lalu. Weleh.. sok romantis.  Tapi cuma boleh ijin sehari. Yo wes lah (gayanya Widha) daripada ga boleh sama sekali. Senangnya hatiku hu la..la…

Tapi rupanya perjalanan pesona budaya penuh drama. Tiket pesawat sudah beli. Eh,..ndilalah Gunung Raung  batuk-batuk mengganggu penerbangan. Uci, yang baik hati,bersedia ke kantor maskapai tukar jadwal sampai dua kali, itupun masih gambling bisa berangkat. Btw,thanks ya Uci. Kuputuskan lari ke Stasiun Senen, mencari kereta ke Surabaya secepatnya, menempuh jalan darat lalu nyambung naik ferry (padahal trauma) tapi demi acara ini mantap, berangkat. Seperti sinetron alay, dapat tiket sepuluh menit sebelum kereta berangkat. Lari sekuat tenaga, pakai adegan tabrak-tabrak orang sambil minta maaf, begitu kaki menginjak lantai gerbong, kereta jalan. Dalam hati menyanyikan lagu Elvi Sukaesih, jug ijag ijug..ijag ijug….

Masalah lain harus kuhadapi. Sampai sampai Surabaya pukul 02.00 dini hari. Ga mungkin nginep hotel, tambah biaya juga tanggung waktunya. Terakhir ke Surabaya SD, manalah kenal kota ini. Aku terus berkoordinasi dengan grup wa panitia Kompasiana (Widha,Mbak Kiki dan Mas Bangkit) dan teman peserta yang sibuk memberi alternative. Terima kasih ya,.. mbak Maya dan Mbak Tami.

Begitu sampai Stasiun Gubeng, suasana sepi, tapi ada beberapa keluarga yang menunggu keberangkatan kereta buat ke Banyuwangi juga. Sementara aku tak kebagian tiket. Naik bus, mau tak mau ke Stasiun Wonokromo dulu kata Mbak Maya, tapi hati-hati banyak copet! Waduh..! Baiklah aku akan hati-hati. Sambil menunggu Subuh aku sibuk mengamati perkembangan penerbangan. Kok ndilalah lagi,… update berita terbaru, Bandara Ngurah Rai sudah dibuka! Horeee….! Cekatan kucari tiket pesawat via online dan dapat Sriwijaya Air dengan harga yang wajar. Terima kasih Sriwijaya tidak mengambil keuntungan di saat kesempitan. Pesawat berangkat pukul 7 pagi. Jadi harus berangkat ke bandara pukul 4.30 pagi. Celingak celinguk,waktu itu Surabaya belum marak ojek online. Aku takut naik taksi, kalau sopirnya jahat kan tak bisa lari. Ojek? Kucermati seorang bapak berwajah baik hati. Setelah sepakat harga, aku minta syarat sebelum pergi, untuk foto wajahnya, nomer motornya dan foto KTP. Ia setuju hehe. Kukirim foto-foto ke keluargaku, jadi berasa lebih tenang naik ojeknya. Si bapak memang baik di antarkannya aku sampai depan bandara dan dilihat sampai masuk ke dalam baru ia pergi. Thank you ya Pak

kompas4-5819541e7897732711ccb8f2.jpg
kompas4-5819541e7897732711ccb8f2.jpg
 “Woo…kowe bejo..Mak nyuk langsung nyampe! Aku masih lanjut darat ini.” kata Mbak Asita yang berangkat duluan naik kereta langsung sambung bus ke Bali via jalur darat.  “Iya nih..beruntung sekali bisa naik pesawat. Jadi berangkat belakangan malah datang duluan.” Kata yang lain. Alhamdulillah Tuhan sayang padaku. Mbak Kiki langsung kontak, memberi tahu taxi Uber sudah menunggu di depan bandara untuk membawaku ke Hotel JW Marriot tempat kami menginap. Thank you ya say…. Meletusnya Gunung … yang “mengacaukan” jadwal dan proses perjalanan kami, para peserta pesona budaya telah membentuk ikatan emosi di dalamnya. Jadi lebih dekat, lebih akrab. Kalau dulu sama para admin takut-takut, kalau sekarang ketemu para admin sudah berakrab-akrab ya,..gara-gara insiden pesona budaya ini.

Sambil menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan, kami menuju kamar masing-masing untuk beristirahat sejenak sambil siap-siap berangkat menuju obyek wisata pertama dan menjemput para peserta dalam perjalanan ke Ubud. Grup whatapps rame dengan koordinasi pejemputan peserta. Mbak Widha, mas Bangkit, Mbak Kiki dan Mbak Elni yang mewakili kementrian pariwisata benar-benar bertanggungjawab dengan tugasnya. Two tsumb up deh buat kalian semua! Dan untung ada Yozh Adityah… yang rame dengan joke-jokenya sehingga kita terhibur dan perjalanan panjang.

Satu persatu para peserta bergabung. Kita pun menuju Ubud untuk makan siang di restoran Patani milik pakar kuliner terkenal William Wongso menikmati menu nasi raja. Ya memang menu yang dulu dihidangkan bagi para raja Bali. Terdiri dari nasi kerucut, dikelilingi sate lilit Bali, lawar, potongan ayam betutu, dan lain-lain. Rasanya? Tentu saja nikmat.  Apalagi makannya rame-rame.

Di Museum Antonio Blanco. Photo by Shita R
Di Museum Antonio Blanco. Photo by Shita R
Setelah kenyang, lalu perjalan dilanjutkan ke Ubud menuju Museum Antonio Blanco yang sudah kuimpikan. Kami disambut gerbang museum yang megah lalu masuk ke restoran Ni Ronji menikmati  welcome drink yang segar di udara panas. Sepertinya rendaman bunga mawar dicampur air perasan jeruk nipis. Atau sebangsa itulah karena airnya wangi mawar. Perjalanan dilanjutkan menuju museum. Di depannya terdapat rumah Ni Ronji yang khas Bali, dengan halaman teduh dan resik berhias kolam dan burung-burung. Langsung deh dipakai narsis, minta tolong Harry yang junior buat motion hehe…

Berjalan menuju museum dengan pintu gerbang berupa patung dalam posisi khas, yang bisa ditafsirkan aneh-aneh, maklum Antonio Blanco memang pelukis aliran romantic erotis. Tour guide menjelaskan berbagai lukisan yang dipajang juga sejarah hidup Antonio Blanco dan kisah cintanya dengan Ni Ronji. So sweet deh. Lalu kami menuju ruangan tempat lukisan yang belum dipajang dan ruang keluarga tempat foto-foto keluarga Antonio Blanco dan Ni Ronji terekam dalam berbagai peristiwa. Anaknya keceh-keceh. Ya iyalah, lha wong blasteran. Puas rasanya…! “Akhirnya kesampaian juga ya mbak,..keinginanya untuk mengunjungi Museum Antonio Blanco. “Kata mbak Widha. Iya banget! Plus foto sama burung-burung cantik. Top deh Kompasiana.

tari kecak yang atraktif. Photo by Shita R
tari kecak yang atraktif. Photo by Shita R
Perjalanan dilanjutkan untuk menikmati pertunjukan tari kecak di Watubulan.  Tariannya bagus sekali, penuh improvisasi, ada adegan makan api. Dan belajar tentang hidup juga. Kasihan para seniman kecil, bayarannya sedikit tapi mereka rajin latihan dan tampil sepenuh hati. Dua gadis SMP yang menarikan tari pembuka masih SMP, dan mereka membawa buku pelajarannya ke sanggar untuk belajar. “Karena besok ada ulangan,” katanya. Masyarakat Bali, alamnya yang canti  dan tari tak bisa dipisahkan.Itu sebabnya Bali beratmosfer damai. Tari adalah ekspresi untuk berterimakasih pada Pencipta dan alam. Kearifan local yang terpelihara turun temurun. Aku melihat Pak Wayan, sang penari. Kostumnya sudah lusuh, tapi ia tetap semangat menari. Tak memaksa turis memberi tips. “Dikasih ya berterimakasih, berapapun besarnya, tak dikasih juga tak kecewa.” Katanya. Itulah orang tawakal. Apapun istilahnya dalam Hindu. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan ? Hari itu hidupku mendapat banyak pencerahan.

Keeseokan hari sarapan syantik di Seminyak Kitchen. Huu..lala… ini bagian favorit kalau nginep di hotel bintang 4+. Menu Indonesia, berjajar dengan menu Eropa dan menu sehat. Okeh,..aku pilih menu sehat saja. Fresh juice dari show case besar, satu gelas besar, semangkuk salad sayur dan biji-bijian, es krim kacang merah bertopping ice cream yang instagrammable dan penutup, cappuccino. Setelah itu keliling JW Marriot menikmati suasana, sambil foto di arena kolam renang yang cantik. 

Kami meluncur menuju Goa Gajah. Di sini kita harus pakai baju panjang dan tak boleh sedang mens. Kalau tak punya, petugas akan meminjamkan gratis untuk menghormati tempat yang dianggap suci umat Hindu ini. Di Goa Gajah dapat pencerahan lagi dari tour guidenya,“Urip mung mampir ngombe” Hidup di dunia itu sementara. Umat Hindu percaya karma. Jika berbuat baik, maka di kehidupan selanjutnya akan punya hidup yang baik juga. Maka banyak-banyaklah berbuat kebaikan. Masyarakat Bali terkenal dermawan untuk urusan ibadah. Pak tour guide (lupa namanya) menunjukkan beberapa pura kecil yang baru saja dicat ulang. “Itu cat emas asli, makanya warnanya kuning cantik.”

“Wow..berarti biaya restorasinya mahal dong Pak?”

“ Yah pasti, sampai ratusan juta tapi banyak dermawan yang menyumbang. Kita harus percaya kalau Yang Kuasa akan membantu.” Aku manggut-manggut. Harus penuh keyakinan menghadapi hidup dengan tetap berusaha. Kami masuk Gua gajah yang menjadi tempat semedi. Banyak sesajen di sini. Kalau bisa jangan diinjak. Di dalam gelap sekali jadi kami bawa lampu. Bau menyan dan dupa memenuhi gua. Jadi sesak nafas akhirnya milih keluar saja. Perjalanan dilanjutkan ke mata air abadi di sisi lain dari Gua Gajah. Air adalah symbol kesucian bagi umat Hindu, karenanya banyak sekali taman sari (tempat mandi) dibuat di pura untuk mandi, perlambang pembersihan dosa. Saat itu, sedang diadakan pemugaran. Mata air yang dimaksud sudah berusia ratusan tahun dan sampai sekarang masih mengalir jernih dengan rasa yang agak manis, mungkin karena mengandung mineral. “Ini obat awet muda. Saya minum dan basuh muka setiap hari dari sini” Kata si Bapak. Tapi memang sih, di usia 50 tahun muka si Bapak masih kenceng (tanpa botox hihi) dan terlihat bugar. Aku suka pemandangan akar pohon yang menjalar seperti sulur dan minta, lagi-lagi Harry untuk mengabadikannya. Thanks ya Har.

Dari Gua gajah perjalanan dilanjutkan ke Pasar Seni Ubud. Walah,..berasa jadi Julia Roberts di film Eat Pray Love saja. Mengunjungi Ubdy, galeri peralatan makan premium, karena satu mangkuk besar saja bisa seharga Rp 2juta (glek!) dan itu laku di Jepang, karena mereka menghargai hal yang orisinal dan hand made yang dibuat penuh dedikasi. Ceileh bahasanya. Aku sih milih ke pasar seni saja, biasa beli kain, kaus Barong  dan daster Bali yang cantik-cantik dan murah meriah. Tak sampai habis setengah harga mangkuk di Ubdy hii…

Dan terakhiiiir….kita ditraktir Mbak Kiki spa di salah satu tempat Spa di Ubud. Asiiik…! Tahu aja, badan sudah remuk redam sejak perjalanan di Jakarta.  Thank you mbak. Aku sekamar sama mbak asita langsung  semangat pijat. Enaknyaaa setelah spa. Wajah-wajah bugar habis spa langsung pose syantik depan kamera Harry hehe. Yosh si MC adduuh… lagi manicure and pedicurekalah feminim deh Mbak Widha hehe.

Dijamu dinner di Moonlite Roof Top Bali. Photo by Shita R
Dijamu dinner di Moonlite Roof Top Bali. Photo by Shita R
Malamnya kami dijamu di roof top kafe “Moonlite” yang terletak di lantai teratas Hotel Alila, Seminyak. Telah menyambut kedatangan kami dengan ramah, humasnya. Chef pun menyiapkan hidangan. Karena ada instagram competition masing-masing sibuk dengan hapenya. Tak lama makanan tiba. Berbagai jenis hidangan disiapkan seperti salad salmon, pad thai dengan bebek yang dipanggang, bebek tumis barbeque dan juga ice cream dengan kenari sebagai toppingnya. Suara debur ombak, angin yang bertiup, pemandangan malam hari yang indah, berpadu sempurna dengan keakraban kami para Kompasianer yang sibuk memotret apa saja sebagai bahan lomba penulisan blog malam itu. Mas Isjet pun bergabung untuk makan malam.Lalu kami foto bersama di logo Moonlite yang cantik. 

Acara kembali ke Hotel JW Marriot untuk menulis reportase tapi badan ini capeee sekali, mata sudah 5 wat. Sempat “ngrusuhi” Mas Nuz dan Pak Muslich gara-gara laptop ga bisa nyambung internet. Makasih ya..sudah bantu. Begitu nyambung sudah larut, nulisnya sudah ngalor ngidul ga nyambung. Kata Mbak Asita, “Piye sih arek iki, paragraph pertama bagus habis itu kok ga nyambung.” Zzzzz… ZZZzzz…Tertidurlah aku di kasur JW Marriot yang empuk.

Begitulah cerita seru tak terlupakan sepanjang masa bersama Kompasiana. Terima kasih semoga makin berkembang dan jaya di 8 tahun Kompasiana.  Dan para pegawai dan Kompasianernya ikutan sejahtera. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun