Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

[8 Tahun Kompasiana] Gara-gara Gunung Raung, Membuat Pesona Budaya 2015 Penuh Greget!

2 November 2016   10:00 Diperbarui: 2 November 2016   10:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto di depan Museum Antonio Blanco Photo by Shita Rahutomo

tari kecak yang atraktif. Photo by Shita R
tari kecak yang atraktif. Photo by Shita R
Perjalanan dilanjutkan untuk menikmati pertunjukan tari kecak di Watubulan.  Tariannya bagus sekali, penuh improvisasi, ada adegan makan api. Dan belajar tentang hidup juga. Kasihan para seniman kecil, bayarannya sedikit tapi mereka rajin latihan dan tampil sepenuh hati. Dua gadis SMP yang menarikan tari pembuka masih SMP, dan mereka membawa buku pelajarannya ke sanggar untuk belajar. “Karena besok ada ulangan,” katanya. Masyarakat Bali, alamnya yang canti  dan tari tak bisa dipisahkan.Itu sebabnya Bali beratmosfer damai. Tari adalah ekspresi untuk berterimakasih pada Pencipta dan alam. Kearifan local yang terpelihara turun temurun. Aku melihat Pak Wayan, sang penari. Kostumnya sudah lusuh, tapi ia tetap semangat menari. Tak memaksa turis memberi tips. “Dikasih ya berterimakasih, berapapun besarnya, tak dikasih juga tak kecewa.” Katanya. Itulah orang tawakal. Apapun istilahnya dalam Hindu. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan ? Hari itu hidupku mendapat banyak pencerahan.

Keeseokan hari sarapan syantik di Seminyak Kitchen. Huu..lala… ini bagian favorit kalau nginep di hotel bintang 4+. Menu Indonesia, berjajar dengan menu Eropa dan menu sehat. Okeh,..aku pilih menu sehat saja. Fresh juice dari show case besar, satu gelas besar, semangkuk salad sayur dan biji-bijian, es krim kacang merah bertopping ice cream yang instagrammable dan penutup, cappuccino. Setelah itu keliling JW Marriot menikmati suasana, sambil foto di arena kolam renang yang cantik. 

Kami meluncur menuju Goa Gajah. Di sini kita harus pakai baju panjang dan tak boleh sedang mens. Kalau tak punya, petugas akan meminjamkan gratis untuk menghormati tempat yang dianggap suci umat Hindu ini. Di Goa Gajah dapat pencerahan lagi dari tour guidenya,“Urip mung mampir ngombe” Hidup di dunia itu sementara. Umat Hindu percaya karma. Jika berbuat baik, maka di kehidupan selanjutnya akan punya hidup yang baik juga. Maka banyak-banyaklah berbuat kebaikan. Masyarakat Bali terkenal dermawan untuk urusan ibadah. Pak tour guide (lupa namanya) menunjukkan beberapa pura kecil yang baru saja dicat ulang. “Itu cat emas asli, makanya warnanya kuning cantik.”

“Wow..berarti biaya restorasinya mahal dong Pak?”

“ Yah pasti, sampai ratusan juta tapi banyak dermawan yang menyumbang. Kita harus percaya kalau Yang Kuasa akan membantu.” Aku manggut-manggut. Harus penuh keyakinan menghadapi hidup dengan tetap berusaha. Kami masuk Gua gajah yang menjadi tempat semedi. Banyak sesajen di sini. Kalau bisa jangan diinjak. Di dalam gelap sekali jadi kami bawa lampu. Bau menyan dan dupa memenuhi gua. Jadi sesak nafas akhirnya milih keluar saja. Perjalanan dilanjutkan ke mata air abadi di sisi lain dari Gua Gajah. Air adalah symbol kesucian bagi umat Hindu, karenanya banyak sekali taman sari (tempat mandi) dibuat di pura untuk mandi, perlambang pembersihan dosa. Saat itu, sedang diadakan pemugaran. Mata air yang dimaksud sudah berusia ratusan tahun dan sampai sekarang masih mengalir jernih dengan rasa yang agak manis, mungkin karena mengandung mineral. “Ini obat awet muda. Saya minum dan basuh muka setiap hari dari sini” Kata si Bapak. Tapi memang sih, di usia 50 tahun muka si Bapak masih kenceng (tanpa botox hihi) dan terlihat bugar. Aku suka pemandangan akar pohon yang menjalar seperti sulur dan minta, lagi-lagi Harry untuk mengabadikannya. Thanks ya Har.

Dari Gua gajah perjalanan dilanjutkan ke Pasar Seni Ubud. Walah,..berasa jadi Julia Roberts di film Eat Pray Love saja. Mengunjungi Ubdy, galeri peralatan makan premium, karena satu mangkuk besar saja bisa seharga Rp 2juta (glek!) dan itu laku di Jepang, karena mereka menghargai hal yang orisinal dan hand made yang dibuat penuh dedikasi. Ceileh bahasanya. Aku sih milih ke pasar seni saja, biasa beli kain, kaus Barong  dan daster Bali yang cantik-cantik dan murah meriah. Tak sampai habis setengah harga mangkuk di Ubdy hii…

Dan terakhiiiir….kita ditraktir Mbak Kiki spa di salah satu tempat Spa di Ubud. Asiiik…! Tahu aja, badan sudah remuk redam sejak perjalanan di Jakarta.  Thank you mbak. Aku sekamar sama mbak asita langsung  semangat pijat. Enaknyaaa setelah spa. Wajah-wajah bugar habis spa langsung pose syantik depan kamera Harry hehe. Yosh si MC adduuh… lagi manicure and pedicurekalah feminim deh Mbak Widha hehe.

Dijamu dinner di Moonlite Roof Top Bali. Photo by Shita R
Dijamu dinner di Moonlite Roof Top Bali. Photo by Shita R
Malamnya kami dijamu di roof top kafe “Moonlite” yang terletak di lantai teratas Hotel Alila, Seminyak. Telah menyambut kedatangan kami dengan ramah, humasnya. Chef pun menyiapkan hidangan. Karena ada instagram competition masing-masing sibuk dengan hapenya. Tak lama makanan tiba. Berbagai jenis hidangan disiapkan seperti salad salmon, pad thai dengan bebek yang dipanggang, bebek tumis barbeque dan juga ice cream dengan kenari sebagai toppingnya. Suara debur ombak, angin yang bertiup, pemandangan malam hari yang indah, berpadu sempurna dengan keakraban kami para Kompasianer yang sibuk memotret apa saja sebagai bahan lomba penulisan blog malam itu. Mas Isjet pun bergabung untuk makan malam.Lalu kami foto bersama di logo Moonlite yang cantik. 

Acara kembali ke Hotel JW Marriot untuk menulis reportase tapi badan ini capeee sekali, mata sudah 5 wat. Sempat “ngrusuhi” Mas Nuz dan Pak Muslich gara-gara laptop ga bisa nyambung internet. Makasih ya..sudah bantu. Begitu nyambung sudah larut, nulisnya sudah ngalor ngidul ga nyambung. Kata Mbak Asita, “Piye sih arek iki, paragraph pertama bagus habis itu kok ga nyambung.” Zzzzz… ZZZzzz…Tertidurlah aku di kasur JW Marriot yang empuk.

Begitulah cerita seru tak terlupakan sepanjang masa bersama Kompasiana. Terima kasih semoga makin berkembang dan jaya di 8 tahun Kompasiana.  Dan para pegawai dan Kompasianernya ikutan sejahtera. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun