Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah adalah Secangkir Coklat Hangat di Kala Hujan, Sepenggal Cerita Bahagia di Rumah

31 Mei 2016   08:45 Diperbarui: 31 Mei 2016   09:12 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Rumah adalah semesta kecil bagi semua orang. Ia menjadikan kita hadir di dunia. Belajar tentang hidup, menghadapi hidup dan menciptakan semesta kecil lainnya.” (quote by Shita Rahutomo)

Rumah ternyaman bukanlah rumah yang indah dalam penampakan, angkuh dalam penglihatan, yang membuat orang berkecil hati memasukinya. Tapi rumah adalah tempat ternyaman untuk kita rasakan. Rumah adalah tempat di mana kita bisa jujur menjadi diri sendiri. Tak perlu polesan dan pencitraan yang melelahkan. Seluruh penghuninya, siap menerima dirimu apa adanya, tak masalah apapun pendapat orang tentang diri kita.

Di rumah, kita bisa memakai daster lusuh ternyaman yang kita punya dengan rambut berantakan dikaret kucir kuda. Atau kaus belel yang terasa makin nyaman di kulit dan memeluk tubuh tanpa perlu dipandang risih atau diprotes oleh penghuni rumah lainnya. Rumah adalah symbol kejujuran paling mendasar dalam sebuah hubungan.

Kita bisa marah pada salah satu penghuninya tanpa tertekan karena suatu sebab, tapi kita bisa pula begitu cepat memaafkan “sang pembuat onar, pengobrak-abrik kenyamanan hati dan badan”. Tapi rumah adalah juga tempat segala pemaafan dan penerimaan. Kita bahkan bisa menghadiahkan “pada pembuat onar itu” sebuah ciuman paling tulus sedetik kemudian. Atau menghadiahinya sebuah pelukan hangat sebagai penanda tak adanya lagi kemarahan dan sebuah ungkapan rasa sayang dan peduli antar penghuni rumah yang tak mengharap imbalan.

Home sweet home itu nyata adanya. Baitii jannati, itu benar adanya. Tanpa perlu riset, semua orang akan mengamininya.

Saya ingat di masa SMP, seorang teman mengajak menginap di rumahnya sepulang sebuah acara yang berakhir petang di sekolah. Kebetulan besok libur, kami ingin pesta pajama para gadis. Saat itu handphone belum ada. Dan ia tak memiliki telepon rumah, begitupun saya. Maka saya titip pesan pada kakak yang kebetulan satu sekolah untuk menyampaikan pada orang tua, kalau saya menginap di rumah seorang teman. Kakak lelaki saya mengangguk. Maka melengganglah saya tanpa beban. Keesokan harinya, saya pulang. Rumah sepi. Tak ada penghuni. Berjam-jam menunggu akhirnya Bapak dan Ibku pulang dengan wajah lusuh kelelahan .

Tanpa menyapa Ibuk membuka pintu rumah mengabaikan saya dan Bapak membawa saya ke kamar. Seribu pertanyaan berkecamuk di dada. Atmosfer yang aneh. Tiba-tiba satu lecutan penggaris yang sangat keras hinggap di paha meninggalkan bilur merah yang panas dan pedas. Dengan tatapan protes, penuh marah saya menuntut penjelasan dari Bapak kenapa saya harus dilecut?

Kami ayah dan anak, bahasa kalbu menjadi sebuah komunikasi tanpa suara. Bapak memandang saya lekat-lekat. Lalu memeluk saya eraaaaat sekali. Dengan suara lirih bergetar, menahan tangis untuk tak keluar demi mempertahankan eksistensinya sebagai laki-laki tegar di depan anaknya, Bapak berkata, “Maaf jika Bapak melecutmu. Hati Bapak sebenarnya sakit melakukannya, tapi Bapak ingin kamu belajar hari ini, jika ingin melakukan sesuatu, berpikirlah yang panjang jangan membuat siapapun mendapat kesulitan . Karena Bapak sayaang padamu.”

Suara bergetar itu mengambrolkan pertahanan saya yang rapuh dan menangis tersedu-sedu. Dipeluknya saya dengan lebih erat dan mencium saya penuh sayang. Menenangkan agar saya tak lagi menangis. Ya, seketika itu kemarahan hilang dan segala rasa pemaafan tercipta. Bapak pasti melakukannya untuk kebaikanku.

Dari Ibuk akhirnya saya tahu kalau Kakak saya juga menginap di rumah temannya malam itu dan lupa menyampaikan pesan kalau saya juga ijin tak pulang. Pesuruh teman Kakak ke rumah mengabarkan Kakak menginap di rumah teman. Tapi tak ada penjelasan tentang saya. Begitu maghrib tak juga pulang, Bapak memutari seluruh tempat yang biasa saya kunjungi untuk mencari keberadaan saya hingga berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Bahkan sampai kota kabupaten tetangga dengan motornya, padahal Bapak bukan lelaki muda. Dari satu kantor polisi ke kantor polisi lainnya, dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, karena khawatir saya menjadi korban kecelakaan. Perasaan merasa bersalah pada Bapak menggunung begitu Ibuk selesai bercerita. Bapak adalah pelindung keluarga, pahlawan anak perempuannya, Bapak selalu berusaha melakukan kewajibannya secara maksimal. Proud of you Bapak.

Bahkan ketika kami masih kecil-kecil, Ibuk sakit dan tak bisa menyediakan makanan buat kami, sementara pasar jauh dan hujan sangat lebat, Bapak turun tangan. Di lemari makan hanya ada sayur dan tempe. Dengan cekatan, Bapak yang memiliki 5 adik itu membuat urapan, menanak nasi dan menggoreng tempe. Bertiga dengan adik kami makan dengan sangat lahap. “Ga nyangka ya,..urap bisa seenak ini,” kata adek saya. Dan diam-diam kulihat Bapak menyusut air bening yang diam-diam menitik di sudut mata. Lelaki yang keras dalam penampakan itu, memiliki hati yang sangat lembut.

Di rumah kami yang sederhana, Bapak dan Ibuk mengajari menjadi orang tua tanpa banyak bicar. Cukup dengan memberi contoh dan teladan. Selalu kami ingat, keduanya selalu membawa pulang apapun makanan yang mereka dapat di kantor, tanpa menyentuhnya sedikitpun. Melihat kami bertiga makan dengan lahap, lalu diam-diam sering kulihat senyum merekah dari kejauhan. Ketika ditanya selalu bilang, mereka sudah makan di kantor. Tapi kami tahu kalau mereka “bohong” sebenarnya.

Sekarang, kebiasaan itu berlanjut ketika telah memiliki anak sendiri. Jika mendapatkan makanan yang selalu diingat adalah wajah anak-anak. Karena acara sekarang, seringnya perjamuan prasmanan, selalu ada rasa bersalah karena tak bisa membaginya dengan anak-anak di rumah. Selalu ada perasaan bersalah ketika pergi ke suatu tempat dan tak bisa menyertakan anak-anak. Selalu terbayang wajah mereka di manapun saya berada, melakukan apapun, dan sedang makan apapun.

“Aku berusaha melakukan yang terbaik yang aku bisa sebagai orang tua, Bapak dan Ibuk tak mengharap kamu membalasnya. Tapi …lakukanlah yang terbaik sebagai orang tua untuk cucu-cucuku nanti.”tak pernah lupa pada pesan Bapak, sesaat menjelang saya melepas status lajang dan melanjutkan tahap kehidupan berkeluarga.

Semua peristiwa yang terjadi dalam rumah sederhana kami dari kecil hingga dewasa, membekas di hati begitu dalam. Membuat saya menyadari betapa agungnya cinta orang tua terhadap anaknya. Kita bisa melakukan apapun demi kebahagiaan anak. Memberi yang terbaik tanpa dituntut, memaafkan tanpa diminta, dan mengiklashkan apapun yang kita beri dan lakukan tanpa menuntut balasan. Betapa Tuhan, begitu indah menciptakan hati bertransformasi menjadi seluas samudera saat kita berperan menjadi orang tua. Melindungi jiwa-jiwa murni yang lahir dari cinta. Sebuah anugerah yang indah.

Malangnya bagi para orang tua yang tak bisa menghargai keberadaan anaknya. Yang menempatkan egonya di atas kebahagiaan anak-anaknya. Yang mencerai-beraikan keluarga demi kesenangan sesaat yang semu. Yang memberikan ruang yang luas bagi nafsu dan egonya, tanpa mempedulikan hati keluarga yang terluka. Yang tak bisa merasakan, bahwa berkorban adalah justru sumber kebahagiaan saat kita menjadi orang tua.

image by tabloid Nova
image by tabloid Nova
Ketika akhirnya menikah dan memiliki anak, saya belajar menjadikan rumah sebagai semesta bagi seluruh penghuninya. Dua anak lelaki yang manis, lahir kemudian. Anak-anak yang lembut hati, yang mudah untuk diingatkan saat berbuat kesalahan hanya dengan dilihat tanpa banyak bicara. Tanpa pukulan.

Rumah bukanlah kumpulan orang-orang yang hanya duduk di meja, makan bersama dan tertawa. Rumah juga bukan kumpulan perabot mewah yang indah terlihat di instagram tapi tak membuat jiwa betah tinggal di dalamnya.

Di rumah, kami kadang berargumen, kadang saling membantah, bersaing berebut perhatian, terkadang bersikap sok tahu dan menyebalkan atau terkadang sikap egois muncul di permukaan. Tapi rumah juga berisi tawa riang, gurauan yang disebarkan untuk membuatnya lebih berwarna. Rumah juga berisi pelukan yang menghangatkan jiwa. Rumah menjadi tempat kita dan anak-anak mungil membangun mimpi masing-masing. Rumah juga tempat kita saling mengingatkan agar tak salah langkah, tempat kita memaafkan tanpa diminta. Tempat kita ingin memberi yang terbaik, pada orang-orang yang kita sayangi.

Saat hati gundah karena sebuah masalah, rumah menjadi obat terbaik untuk menyembuhkan. Melihat tawa anak-anak yang menyambut kepulangan kita dengan riang dan dekapan hangat tangan-tangan mungilnya itu selalu mampu menjadi obat bagi jiwa yang terluka. Menjadi mood booster paling ampuh untuk kembali gagah menapaki hidup.

Dari rumah kami yang mungil, saat anak-anak tertidur lelap terbuai mimpi di pertengahan malam, kupandangi wajah-wajah mereka yang penuh damai. Dan Tuhan mengirimkan kekuatan besar yang terserap begitu saja dalam tubuh dan jiwa bahkan tanpa sentuhan. Hanya dengan cara memandang wajah-wajah mungil yang sedang terlelap itu tiba-tiba aku merasa kembali kuat menghadapi dunia, sekejam apapun di luar sana.

Hujan lebat selalu indah untuk dinikmati, lengkap dengan bau tanahnya yang khas. Tapi hujan juga membuat hati menjadi melankolis tak terkendali. Tempat favorit memandang hujan adalah di depan jendela kamar kami yang lebar, yang kacanya menggulirkan butiran-butiran hujan itu menjadi memanjang. Mematung di sana dalam diam. Tapi hati yang bergemuruh meski tak diungkapkan, akan tetap tertangkap dengan hati seorang anak sekalipun.

“Ibu, aku buat coklat hangat untuk Ibu.”

Si Sulung tiba-tiba datang menyusul, menyodorkan segelas coklat hangat yang masih mengepul. Mereka berdua memang sudah dibiasakan hidup mandiri sejak kecil. Tertegun aku. Menerima coklat hangatnya sepenuh hati.

“Terima kasih Kakak. Kalau Kakak yang buat pasti enak sekali.”

Kuseruput coklat hangat sedikit demi sedikit dengan tetap melihat butiran hujan yang bergulir memanjang. Bukan cairan manis itu yang menghangatkan hati, tapi perhatiannya yang tulus itu,…. Ah tak menyangka bocah ingusan ini bisa bersikap begitu dewasa. Diam-diam kususut air mata yang tak tertahan di sudut mata dengan membelakanginya. Tak mau ia tahu. Malu.

“Ibu…” katanya dari belakang.

“Ya Kak….” Aku menoleh, menatapnya yang terlihat cemberut.

“Kok Ibu sekarang tak terlihat cantik lagi?”

“Oh ya?” Aku tertegun. Diam. Tapi penuh tanda Tanya. Bahkan anakku pun bilang aku tak cantik lagi. Mungkin karena aku makin menua. Tapi seperti tahu yang ada dalam pikiranku, ia bicara lagi.

“Bukan,…bukan karena umur Ibu bertambah. Tapi karena sudah lama Kakak tak melihat Ibu tersenyum lagi.”

Deg! Bocah tanggung ini, yang baru berusia belasan, yang balitanya dulu harus terapi marathon karena gangguan konsentrasi, yang kadang bersikap kolokan dan masih sering berantem dengan adiknya karena masalah-masalah sepele ini bisa bicara begitu? Aku tertegun. Speachless.

Tiba-tiba ia mengelus-elus punggungku pelan. Sama seperti saat aku mengelusnya ketika dagunya harus dijahit karena jatuh, ketika kakinya tertancap paku dari rumah sebelah yang sedang direnovasi, ketika nilainya jelek padahal sudah belajar dan ketika dia merasa lelah karena harus terus terapi.

Aku tak bisa lagi menahan tangis. Seluruh air mata ambrol di depan wajah polosnya. Tergugu tanpa bisa kucegah. Lelaki kecil ini telah dewasa sebelum waktunya. Dewasa ditengah sikap polosnya sebagai bocah. He’s grown up!

Betapa waktu telah berjalan begitu panjang tak terasa. Betapa egois menghabiskan waktu memikirkan hal-hal yang tak perlu dikhawatirkan. Hal-hal yang menyerap begitu besar energy padahal tak sepadan yang kudapatkan. Kupeluk ia sepenuh hati. Berterima kasih pada Tuhan, yang memberiku dua malaikat penjaga hati.

Hujan masih deras di luar sana. Tapi hujanku telah berhenti seketika. Yang ada adalah bahagia. 

Jakarta, 31 Mei 2016

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Blog Competition dalam rangka ulang tahun tabloid Nova, Nova 28 Blog Competition. Novaversary

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun