“Ibu, aku buat coklat hangat untuk Ibu.”
Si Sulung tiba-tiba datang menyusul, menyodorkan segelas coklat hangat yang masih mengepul. Mereka berdua memang sudah dibiasakan hidup mandiri sejak kecil. Tertegun aku. Menerima coklat hangatnya sepenuh hati.
“Terima kasih Kakak. Kalau Kakak yang buat pasti enak sekali.”
Kuseruput coklat hangat sedikit demi sedikit dengan tetap melihat butiran hujan yang bergulir memanjang. Bukan cairan manis itu yang menghangatkan hati, tapi perhatiannya yang tulus itu,…. Ah tak menyangka bocah ingusan ini bisa bersikap begitu dewasa. Diam-diam kususut air mata yang tak tertahan di sudut mata dengan membelakanginya. Tak mau ia tahu. Malu.
“Ibu…” katanya dari belakang.
“Ya Kak….” Aku menoleh, menatapnya yang terlihat cemberut.
“Kok Ibu sekarang tak terlihat cantik lagi?”
“Oh ya?” Aku tertegun. Diam. Tapi penuh tanda Tanya. Bahkan anakku pun bilang aku tak cantik lagi. Mungkin karena aku makin menua. Tapi seperti tahu yang ada dalam pikiranku, ia bicara lagi.
“Bukan,…bukan karena umur Ibu bertambah. Tapi karena sudah lama Kakak tak melihat Ibu tersenyum lagi.”
Deg! Bocah tanggung ini, yang baru berusia belasan, yang balitanya dulu harus terapi marathon karena gangguan konsentrasi, yang kadang bersikap kolokan dan masih sering berantem dengan adiknya karena masalah-masalah sepele ini bisa bicara begitu? Aku tertegun. Speachless.
Tiba-tiba ia mengelus-elus punggungku pelan. Sama seperti saat aku mengelusnya ketika dagunya harus dijahit karena jatuh, ketika kakinya tertancap paku dari rumah sebelah yang sedang direnovasi, ketika nilainya jelek padahal sudah belajar dan ketika dia merasa lelah karena harus terus terapi.