Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah adalah Secangkir Coklat Hangat di Kala Hujan, Sepenggal Cerita Bahagia di Rumah

31 Mei 2016   08:45 Diperbarui: 31 Mei 2016   09:12 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di rumah kami yang sederhana, Bapak dan Ibuk mengajari menjadi orang tua tanpa banyak bicar. Cukup dengan memberi contoh dan teladan. Selalu kami ingat, keduanya selalu membawa pulang apapun makanan yang mereka dapat di kantor, tanpa menyentuhnya sedikitpun. Melihat kami bertiga makan dengan lahap, lalu diam-diam sering kulihat senyum merekah dari kejauhan. Ketika ditanya selalu bilang, mereka sudah makan di kantor. Tapi kami tahu kalau mereka “bohong” sebenarnya.

Sekarang, kebiasaan itu berlanjut ketika telah memiliki anak sendiri. Jika mendapatkan makanan yang selalu diingat adalah wajah anak-anak. Karena acara sekarang, seringnya perjamuan prasmanan, selalu ada rasa bersalah karena tak bisa membaginya dengan anak-anak di rumah. Selalu ada perasaan bersalah ketika pergi ke suatu tempat dan tak bisa menyertakan anak-anak. Selalu terbayang wajah mereka di manapun saya berada, melakukan apapun, dan sedang makan apapun.

“Aku berusaha melakukan yang terbaik yang aku bisa sebagai orang tua, Bapak dan Ibuk tak mengharap kamu membalasnya. Tapi …lakukanlah yang terbaik sebagai orang tua untuk cucu-cucuku nanti.”tak pernah lupa pada pesan Bapak, sesaat menjelang saya melepas status lajang dan melanjutkan tahap kehidupan berkeluarga.

Semua peristiwa yang terjadi dalam rumah sederhana kami dari kecil hingga dewasa, membekas di hati begitu dalam. Membuat saya menyadari betapa agungnya cinta orang tua terhadap anaknya. Kita bisa melakukan apapun demi kebahagiaan anak. Memberi yang terbaik tanpa dituntut, memaafkan tanpa diminta, dan mengiklashkan apapun yang kita beri dan lakukan tanpa menuntut balasan. Betapa Tuhan, begitu indah menciptakan hati bertransformasi menjadi seluas samudera saat kita berperan menjadi orang tua. Melindungi jiwa-jiwa murni yang lahir dari cinta. Sebuah anugerah yang indah.

Malangnya bagi para orang tua yang tak bisa menghargai keberadaan anaknya. Yang menempatkan egonya di atas kebahagiaan anak-anaknya. Yang mencerai-beraikan keluarga demi kesenangan sesaat yang semu. Yang memberikan ruang yang luas bagi nafsu dan egonya, tanpa mempedulikan hati keluarga yang terluka. Yang tak bisa merasakan, bahwa berkorban adalah justru sumber kebahagiaan saat kita menjadi orang tua.

image by tabloid Nova
image by tabloid Nova
Ketika akhirnya menikah dan memiliki anak, saya belajar menjadikan rumah sebagai semesta bagi seluruh penghuninya. Dua anak lelaki yang manis, lahir kemudian. Anak-anak yang lembut hati, yang mudah untuk diingatkan saat berbuat kesalahan hanya dengan dilihat tanpa banyak bicara. Tanpa pukulan.

Rumah bukanlah kumpulan orang-orang yang hanya duduk di meja, makan bersama dan tertawa. Rumah juga bukan kumpulan perabot mewah yang indah terlihat di instagram tapi tak membuat jiwa betah tinggal di dalamnya.

Di rumah, kami kadang berargumen, kadang saling membantah, bersaing berebut perhatian, terkadang bersikap sok tahu dan menyebalkan atau terkadang sikap egois muncul di permukaan. Tapi rumah juga berisi tawa riang, gurauan yang disebarkan untuk membuatnya lebih berwarna. Rumah juga berisi pelukan yang menghangatkan jiwa. Rumah menjadi tempat kita dan anak-anak mungil membangun mimpi masing-masing. Rumah juga tempat kita saling mengingatkan agar tak salah langkah, tempat kita memaafkan tanpa diminta. Tempat kita ingin memberi yang terbaik, pada orang-orang yang kita sayangi.

Saat hati gundah karena sebuah masalah, rumah menjadi obat terbaik untuk menyembuhkan. Melihat tawa anak-anak yang menyambut kepulangan kita dengan riang dan dekapan hangat tangan-tangan mungilnya itu selalu mampu menjadi obat bagi jiwa yang terluka. Menjadi mood booster paling ampuh untuk kembali gagah menapaki hidup.

Dari rumah kami yang mungil, saat anak-anak tertidur lelap terbuai mimpi di pertengahan malam, kupandangi wajah-wajah mereka yang penuh damai. Dan Tuhan mengirimkan kekuatan besar yang terserap begitu saja dalam tubuh dan jiwa bahkan tanpa sentuhan. Hanya dengan cara memandang wajah-wajah mungil yang sedang terlelap itu tiba-tiba aku merasa kembali kuat menghadapi dunia, sekejam apapun di luar sana.

Hujan lebat selalu indah untuk dinikmati, lengkap dengan bau tanahnya yang khas. Tapi hujan juga membuat hati menjadi melankolis tak terkendali. Tempat favorit memandang hujan adalah di depan jendela kamar kami yang lebar, yang kacanya menggulirkan butiran-butiran hujan itu menjadi memanjang. Mematung di sana dalam diam. Tapi hati yang bergemuruh meski tak diungkapkan, akan tetap tertangkap dengan hati seorang anak sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun