Akhirnya,…sampai juga di perkampungan Badui dalam yang jadi tujuan. Warga menyambut ramah dengan senyuman, bergerombol di depan pintu rumahnya. Mata mereka mengikuti kami dengan rasa ingin tahu, tapi saya bisa merasakan mereka orang-orang yang tulus. Kami disambut pemilik rumah dengan ramah. Rumahnya berbentuk panggung. Kampungnya rapi. Jalan penghubung diberi batu kali sebagai tatakan kaki. Jarak antar rumah berdekatan. Bentuk rumahnya nyaris sama. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, beratap rumbia.
Hampir sama ukurannya dengan rumah tipe 36. Terbagi atas teras, tempat kami mengobrol dengan tetangga dan penduduk yang menawarkan madu dan baju sebagai baju ganti, ruang tamu yang kami pakai untuk tidur berjamaah, kamar ada dua. Ruang tamu nyambung dengan dapur. Mereka tidur dengan tikar, jangan mengharap empuknya springbed di sini.
Pintu depan satu dan belakang pun satu, tanpa jendela. Karena lapar kami memasak dibantu tuan rumah. Asap sesekali memenuhi ruangan saat tungku baru dinyalakan. Ternyata fungsinya untuk mengusir nyamuk. Ruangan remang-remang karena hanya ada dua minyak lampu. Satu di ruang tamu satu di kamar. Di teras disediakan bambu berisi air yang fungsinya jadi ember cuci kaki.
Karena badan kotor berlumpur akibat lumpur kami ke belakang pemukiman, menuju sungai yng berarus tenang untuk mandi dan bersih-bersih. Tak ada sabun, odol, shampoo atau apapun dari dunia luar yang boleh dipakai. Hargailah, patuhilah aturan itu. Kita tamu, wajar jika harus mengikuti aturan tuan rumah. Sungai bersih tanpa sampah tanpa zat kimia. Penduduk juga mengambil air sungai untuk makan, minum, mencuci, BAK, BAB. Tempat lelaki di bagian atas, jauh dari pemandian wanita. Dan mereka patuh aturan, tak diam-diam mencuri pandang. Tak perlu Badan Sensor, atau polisi pengintip aurat. Semua patuh aturan. Apa tidak membuat kita, yang mengaku sebagai manusia modern jadi malu, yang banyak berprinsip, “Aturan dibuat untuk dilanggar.” Hadeuuh,….
Malam itu kami makan malam bersama dengan akrab. Lauk sederhana tapi semua lahap karena kelaparan. Selesai makan tentu dilanjutkan acara mengobrol. Ternyata kamar yang satunya lagi ditempati anak perempuan pemilik rumah yang sudah menikah tapi belum memiliki rumah dan belum memiliki anak. Si perempuan malu-malu. Tapi sungguh, gadis berusia 16 tahunan itu cantik sekali dan pemalu. Tak terlihat statusnya sebagai istri. Tubuhnya langsing, ramping. Kulitnya kuning langsat. Beruntungnya sang suami hehe…Mereka ternyata juga punya tungku sendiri di kamarnya! Bagaimana rasanya ya punya tungku yang mengeluarkan asap di ruangan sempit tanpa ventilasi? Entahlah, hanya orang Badui dan Tuhan yang tahu…
Jam 4 pagi saya sudah bangun dan langsung menuju sungai untuk mandi sebelum orang-orang bangun. Selain factor kebelet pipis juga, karena rumah memang tanpa kamar mandi. Masih sepi hanya saya dan tiga teman perempuan. Tapi beberapa ibu badui sudah mencuci di sungai. Meski isi perut berontak minta dikeluarkan, tapi entahlah,…sudah beberapa tempat saya pakai buat nongkrong, atur posisi teraman, sembunyi di balik batu besar, tapi saluran pencernaan bawah ogah membuka pintunya. Macet! Mungkin dia malu. Atau,…mungkin tak terbiasa. Ya sutralah.
Pukul 7 pagi setelah sarapan dan berkemas kami bersiap pulang. Beberapa anak kecil datang, menikmati makanan kecil yang kami bawa.Jika diperhatikan banyak anak-anak ini berkulit terang, berambut kepirang-pirangan dan bermata coklat almond. Apakah dulu pernah terjadi pernikahan campur? Entahlah. Tak ada penjelasannya. Sayang kami tak bisa mengabadikan bocah-bocah lucu itu karena larangan memakai gadget di Badui dalam.
Pedagang madu, kain, kaos dan celana kembali gigih menawarkan dagangannya. Celana pendek lurik biru ala Badui pun ditangan. Saya salah kostum dengan datang memakai jeans. Maka pulang memakai lengging yang ringan dan tidak menyumbat aliran darah. Untuk menutupi bentuk tubuh maka celana pendek jadi penyamar. Jadi baju era 80-an hehe.. sutralah.
Kali ini rute yang diambil berbeda. Tapi tetap sama ngos-ngosannya. Naik turun bukit berlumpur dilakoni. Tapi banyak pohon di jalan jadi tak terlalu terik. Tanaman padi mulai menghijau,..beberapa ulat warna hijau hinggap di daun membuatnya berlubang. Hii… beberapa jalan yang sama tingginya dengan sungai berubah jadi kubangan kerbau. Seperti biasa Arjun, Romi, Vijay dan Sanip memegangi tangan kami dengan mesra agar tak jatuh terpelanting ke tanah karena licinnya medan. Begitu sampai di pegunungan kapur tinggi bertebing curam kami berhenti istirahat sambil menunggu rombongan senior yang masih jauh tertinggal di belakang.
Begitu ketua rombongan menyatakan kami sudah keluar dari jalur wilayah larangan memakai hape, seketika semua sibuk menyalakan gadget dan online meski putus-putus, hape mulai menangkap signal. Beberapa teman langsung pasang status di sosmed, sebagian lagi menghubungi keluarga kalau ia baik-baik saja karena hp tak aktif dari kemarin. Sebagian lagi mengambil foto selfie, welfie dan apalah..apalah.. #dan para porter kami yang baik hati rupanya sudah mahfum dengan kebiasaan pendatang ini.
Angin sepoi mengeringkan keringat yang bercucuran. Pemandangan indah ditampilkan di hadapan. Dari bibir jurang nun jauh dari keramaian, kami melihat Gunung Anak Krakatau terlihat anggun di tengah lautan mengepulkan asap. Langit bersih dan awan putih selembut kapas bergulung-gulung membentuk aneka binatang dalam imajinasi. Indah sekali. Kami mengajak Arjun dkk berfoto. Mereka memang tak mau mengoperasikan hape atau kamera, tapi tak menampik berfoto bersama. Dan klik..klik..klik……mereka,…dengan genitnya menampilkan gaya ala Cherrybelle hahaha…..