Mohon tunggu...
Shita Rahmawati Rahutomo
Shita Rahmawati Rahutomo Mohon Tunggu... Penulis - Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

a.k.a Shita Rahmawati or Shita Rahmawati Rahutomo, corporate communication, public relation, officer, penulis, gila baca, traveler, blogger, cooking addicted, dreamer, social voluntary, akademisi, BRIN Awardee.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dimana Hatimu, Ayah?

24 April 2013   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Minggu saya ke Bogor menengok rumah yang dikontrakkan pada tetangga sebagai sekolah TK. Sudah lebih dari 6 bulan saya tak ke sana. Terakhir datang katanya kontrak ingin diakhiri, sedang siap2 pindahan. Kutir rekening listrik tak dibayar, saya hubungi ke dua tetangga ini melalui sms, FB dan apapun yang bisa menghubungkan kami. Telepon tak pernah diangkat.

Minggu itu bersama teman yang berniat membeli rumah, kami kunjungi lokasi. Pintu pagar terbuka, begitupun jendela, dan pintu depan. Rumput liar meninggi. Pohon sirsar yang rajin berbuah di halaman di tebang habis, cuma menyisakan pangkal. Ada apakah gerangan? Benar saja. Listrik sudah dicabut oleh PLN. Dua rumah sebelah kiri saya yang dibeli mereka juga tak terawat. Saya kesal, bukankah sudah saya ingatkan untuk mengirimkan nomer rekening listrik agar bisa saya bayar? Saya datangi dua rumah sebelah kanan, tempat keduanya tinggal.

Setelah mengucap salam, seorang wanita keluar membukakan pintu. Tapi bukan pemilik rumah. Melihat wajah bengong saya, si Ibu menjelaskan, "Bu X sudah dijemput orang tuanya pulang ke kampung Bu. Beserta ketujuh anaknya. Saya membeli rumah ini secara murah. Rumah sebelah juga sudah dijual. Rumah Ibu listriknya dibongkar ya? Sama, kita juga harus melunasi jutaan rupiah ke PLN."

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Bu X sampai dijemput keluarganya? Pak X kemana?"

"Pak X di istri muda Bu. Kemarin hasil penjualan dua rumah juga tak ada yang diberikan ke Bu X. Semua dibawa sama Pak X. Beliau beli rumah mewah buat istri mudanya. Sampai mempekerjakan sopir untuk istrinya itu. Sementara istri pertama dan tujuh anaknya sama sekali tak dinafkahi kelaparan di sini. Tak pernah ditengok. Terakhir, saya lihat Pak X datang dan bertemu anak-anaknya juga pandangannya datar saja, tidak kangen. Tidak sayang, tidak kasihan."

Saya bukannya tak tahu kalau Pak X yang jidatnya hitam banget, entah digosok di tembok mana, selalu berpakaian hitam dan selalu menundukkan pandangan itu memang berpoligami. Dan selama ini saya lihat keduanya rukun, mungkin karena istri pertamanya begitu baik, ngalah dan terimo sebagai bagian dari berbakti pada suami. Taat ketika suami nikah lagi bahkan menganggap madunya sebagai saudara. Apa mungkin tiba-tiba si madu ini ngelunjak lalu merebut segala materi yang saat itu sedang menanjak naik dari usaha bisnis rental mobil? Teganya...

"Ini istri baru Bu, yang ke tiga. Baru dinikahi beberapa bulan ini. Semua usaha dan kekayaannya Pak X sudah diserahkan istri ke tiga ini. Istri keduanya sudah diceraikan atas permintaan istri ke 3. Ini saya dengar sendiri dari Bu X saat terakhir kali kami bertemu. "

Oh, jadi ini istri yang ke tiga????? Sesak dada saya mendengarnya. Kurang baik apa coba Bu X sebagai istri. Saya ingat wajahnya yang cantik dan selalu tersenyum di balik cadarnya saat saya bertamu. Saya ingat bagaimana si Ibu yang menolak KB ini setiap satu setengah tahun hamil dan lalu melahirkan. Saya ingat bagaimana sayang dan perhatiannya pada anak-anaknya yang tujuh orang. Ia mampu menjadikan mereka anak-anak yang soleh, rajin belajar, baik ahlaknya, tak pernah berteriak keras menuntut sesuatu dari orang tua, selalu menjadi juara kelas, apa namanya kalau semua itu bukan dari Ibu yang selalu penuh perhatian dan sayang pada anak-anaknya? Saya masih ingat ketika Bu X sedang hamil besar, sambil menggendong anaknya yang baru setahun, mendorong berjerigen-jerigen air di gerobak yang dengan susah payah ditariknya sendiri, saat PAM di perumahan kami mati. Subhanallah, betapa baiknya ia sebagai istri dan ibu. Penuh pengorbanan tanpa pamrih.   Itu di saat ekonomi mereka masih di bawah. Begitu ekonomi  merangkak naik karena suaminya mulai sukses menjadi pengusaha kecil, si Bapak menikah lagi, dan meminta istrinya yang melamarkan istri ke duanya. Dan Ibu X meski sedih melakukannya juga. "Apa Ibu tidak terluka? Atau Ibu sudah menyiapkan hati jauh-jauh hari siap dipoligami?" Tanya saya yang malah jadi galau.

"Ya..saya juga tak pernah membayangkan suatu saat akan dipoligami oleh suami. Tapi kalau keadaannya seperti ini, daripada suami zina ya sudah saya ikhlaskan saja. Kebahagiannya adalah kebahagian saya juga."

Memang bukan urusan saya, tapi saya pernah mengutarakan pada Pak X, "Pak, istri Bapak kurang apa lagi ya? Kok harus nambah lagi. Bukankah kalau ekonomi sudah membaik harusnya Bapak membahagiakan istri dulu, membalas segala kebaikan yang telah dilakukannya selama ini, baru setelah itu bapak boleh menikah tapi tentu dengan memperhatikan perasaannya." Si Bapak diam tapi raut mukanya menunjukkan ia tak suka pertanyaan saya. Dan saya pun tak suka kelakuannya. Sungguh. Ketika dua istri ini bisa rukun dan saling menerima maka ramailah si Pak X berkicau di social media betapa beruntungnya beristri dua. Sementara si Bu X yg diam-diam sering curhat, bisik-bisik berkata," Terkadang saya juga lelah menghadapi pernikahan ini. Tapi saya harus terima apapun kondisinya. "

Rupanya dua istri yang baik tak cukup buat Pak X. Istri ke tiga pun muncul. Dan tragedi datang. Bukanlah Pak X yang menjadi korban dari sinetron khas Indonesia ini, Tapi istri pertama dan 7 anak mereka yang tak pernah menikmati enaknya punya tiga istri. rasullulah tak pernah mengajarkan untuk menelantarkan anak istri. Rasululah selalu menyatakan jika "Sebaik-baiknya mukmin adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya."

Apa Pak X lupa ya kalau Bu X dan istri keduanya juga punya hati dan perasaan? Bukan sekedar mahluk bernyawa yang hanya merasa lapar? Mereka juga rindu dihargai, disayangi, diprioritaskan, dilindungi, dinafkahi lahir dan batinnya. Anak-anak yang tak pernah meminta dilahirkan itu juga butuh kasih sayang, perhatian dan terpenuhinya kebutuhan jasmani rohaninya. Mengapa justru orang-orang yang secara atribut keagamaan begitu mengidentikkan dengan Islam tapi dalam pelaksanaannya justru jadi suami dan ayah yang egois, tak punya hati, tak bertanggung jawab dan tak tahu batas dan kemampuan dirinya sendiri?" Lalu apa arti ibadahnya selama ini jika ada anak istrinya saja ia tak berlaku baik? Bukankah perlakuannya pun merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga?

Saya sedih, saya geram, saya benci. Perempuan, para istri yang menyerahkan hidupnya bulat-bulat dalam lembaga perkawinan mulai kini harus belajar mandiri. Entah kerja di rumah atau apapun, harus mulai mandiri dalam keuangan. Karena kesetiaan dan hati suami itu tak punya garansi, tak bisa kita pastikan expire date-nya. Setidaknya menabunglah untuk kepentingan anak-anak nanti. Membayangkan Bu X, Umar si sulung yang baru berusia 13 tahun beserta 6 adiknya hati saya perih. Tapi saya yakin, Allah pasti akan memberikan pertolongan bagi mereka.

Tolonglah mereka ya Allah, cukupkanlah dan baikkanlah hidupnya dengan cara ajaibMu yang penuh misteri. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun