[caption id="attachment_322011" align="aligncenter" width="442" caption="sumber: antara.news"][/caption]
Sore itu sepulang dari kursus, menjelang Maghrib, dalam perjalanan pulang naik angkutan umum yang merayap terjebak kemacetan seorang ibu paruh baya dengan kostum peminta-minta membawa anak kecil yang terlelap dalam gendongannya. Wajah bocah yang terlihat lelah. Si Ibu menunggu. Aku pun ikut kepo, mencari wajah siapa yang ditunggu.
Tak berapa lama, sebuah motor yang dikendarai perempuan muda berumur-an 25 tahun datang dengan selendang terselempang di dadanya. Si Ibu paruh baya mendekat lalu menyerahkan anak umur 2 tahunan dari gendongannya pada si ibu muda yang menerima lalu menggendongnya di dada tanpa turun dari motornya. Si Ibu paruh baya merogoh sakunya dalam-dalam lalu tangannya yang keluar menyembul membawa sejumlah uang kisaran 1000-10.000. Tangannya menghitung sejumlah uang (perkiraan 100 ribuan) lalu menyerahkan uang tersebut pada si perempuan muda. Mereka terlihat bercakap-cakap sebentar, mungkin membuat janji besok bertemu lagi. Si perempuan muda itu melajukan motornya dengan seorang anak yang terlelap sementara si ibuparuh baya, melenggang menjauhi, mungkin ia pulang ke rumahnya. Saya,..seperti mengenal wajah si ibu paruh baya. Tapi siapa? Di mana? Kapan?
Lamunan saya terhenti ketika beberapa lelaki masuk, dengan gayanya yang sembrono berteriak-teriak minta uang pada penumpang dengan wajah mengancam. "Bukan kesombongan om dan tante yang kami harapkan, tapi sedikit uang untuk mengisi perut kami yang lapar!..Bla..bla..bla..!!!" Â Kok yang beginian tak juga selesai diberantas keamanan ya?
Kemacetan Kuningan memang parah, jalan kaki bahkan terasa lebih cepat dibanding angkutan umum. Ah Jakarta, Ah Jokowi,.. ah kemacetan... kapan semua ini berakhir? Waktu bergulir. beberapa hari kemudian ketika melintasi sebuah jembatan penyeberangan di Kuningan saya bertemu lagi dengan ibu paruh baya itu. Oh..makanya saya familiar, karena beberapa kali pernah melihatnya mengemis di jembatan penyeberangan ini. Ia bersama anak kecil itu yang tertidur pulas dalam gendongannya, menunggu mangkuk uangnya diisi para pelintas jembatan. Ah tahulah saya kini. Mungkin anak kecil itu adalah anak si ibu muda yang disewakan untuk mengemis. Diantar ibunya setiap pagi di titik yang sama dan dijemput sore harinya di bawah jembatan fly over Kuningan.
Tidakkah ironis? Anak yang harusnya disayang, diasuh dan dididik agar menjadi manusia hebat itu sejak kecil harus terpaksa bekerja untuk menghidupi ibunya yang hanya mengantar jemput memakai motor yang mungkin dicicil dari hasil kerja si bocah, yang tak punya kuasa untuk menolak. Sepanjang yang kulihat saat berpapasan anak itu selalu tertidur pulas. Tidakkah terasa ganjil? Anak umur 2 tahun harusnya aktif mengeksplore lingkungan sekitar, tak bisa diam. Aku bayangkan, jika anak itu tak diberi obat tidur pasti akan sangat melelahkan bagi penyewanya yang harus mengejarnya kesana kemari agar bisa dipegang dan mengundang iba orang lain.
Bayangkan jika si anak berlari menuruni tangga saat penyewanya lengah, sementara banyak lubang-lubang pagar jembatan yang bisa membuat tubuh mungilnya memberosot dan jika jatuh ke tengah jalan? Aku tak bisa membayangkan peristiwa mengerikan yang akan terjadi. Belum lagi hilangnya kesempatan ia mengembangkan diri dan selalu terpapar udara penuh polusi setiap hari. Apakah orang tuanya begitu tak peduli? Aku sungguh tak mengerti.
Pernah juga melihat pemandangan, ketika hujan deras, si anak dengan berbungkus plastik kresek menggigil kedinginan membawa koran sore untuk dijual sementara ibunya duduk tenang ditemani secangkir kopi panas menunggu di pinggir jalan, berteduh di pos kecil tanpa kebasahan. Saya sungguh tak mengerti, mengapa seorang Ibu bisa melakukan hal seperti itu pada anaknya sendiri?
Bulan puasa tahun kemarin, seorang anak perempuan berumur sekitar 5 tahun menjajakan air mineral kemasan di jalur busway, untuk para pengendara mobil yang tak sempat menepi berbuka puasa. Dan lagi-lagi sang ibu menunggui di pinggir jalan, menjaga karton bungkus air mineral semnetara anaknya bertarung dengan bahaya, melewati mobil yang lalu lalang untuk rupiah yang diserahkan pada orang tuanya. Tidakkah si orang tua berpikir, anak kecil itu bisa tak terlihat pengendara busway yang ground clerance nya tinggi, sehingga berisiko tertabrak dan terlindas? Hati orang tuanya terbuat dari apa?
Atau beberapa waktu lalu ketika seorang artis pendatang baru digugat istrinya untuk menafkahi anaknya, yang sudah dua tahun tak pernah disambangi, tak pernah dinafkahi, seolah-olah dia hilang ingatan kalau sudah punya anak dan asyik bermesraan dengan perempuan lainnya. Lalu ketika kasus ini mencuat ke media massa dan dia dihujat orang banyak, barulah berdalih ragu kalau si anak bukan anak biologisnya, ia baru mau membiayai setelah  tes DNA dulu untuk membuktikan hubungan darah mereka, dan bersedia membiayai anaknya.
Lha dulu, waktu buka celana bikin si bocah, sempat mikir juga ga kalau perbuatannya akan menyebabkan konsekuensi di kemudian hari? Anak-anak korban perceraian kadang memang harus ikut menanggung konsekuensi yang berat juga. Kehilangan kasih sayang salah satu orang tua dan kehilangan kesempatan untuk hidup layak, dihidupi orang tuanya sendii yang sebenarnya mampu menghidupinya.
Sabar ya Nak. Orang-orang dewasa memang susah sekali untuk dimengerti.
Sementara di Jerman, jika anak tidak sekolah orang tua akan dipenjara karena dianggap lalai menjalankan tugasnya sebagai orang tua, di sini, anak-anak kita, calon penerus bangsa disodomi, diekploitasi tenaganya justru untuk membiayai orang tua, yang harus membiayai dirinya. Lalu apa arti diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan anak jika pemerintah pun tutup mata terhadap kesewenang-wenangan orang tua terhadap anaknya sendiri? Alangkah baiknya, mereka yang hanya bisa bikin anak saja tapi tak mampu mempertanggungjawabkan perannya sebagai orang tua dipenjara saja, disuruh kerja paksa lalu upahnya diserahkan untuk pembiayaan hidup anaknya. Agar orang tuanya belajar bertanggungjawab, dididik negara untuk mau bekerja, dan menjalankan fungs sebagai orang tua, bukan jadi makelar tenaga si anak atau memindahkan tugasnya pada pundak si anak yang tak berdaya. Sudah saatnya Undang-undang perlindungan anak diberlakukan dengan tegas.
Semoga presiden kita yang baru nanti memiliki kepekaan yang tinggi terhadap nasib anak-anak kita nanti. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H